Minggu, 16 Juli 2017

JURNAL Sejarah Seni



I.    PENDAHULUAN
Suku Jawa atau Suku Bangsa Jawa adalah suku bangsa terbanyak jumlahnya dalam populasi penduduk Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik dalam sensus penduduk tahun 2010 saja jumlah orang Jawa telah mencapai 41,7 persen dari seluruh populasi penduduk Indonesia yang mencapai angka 237,56 Juta jiwa. Di Provinsi Sumatera Utara sendiri populasi suku bangsa Jawa mencapai sepertiga dari 12,98 juta populasi penduduk Provinsi Sumatera Utara. Catatan sejarah mengatakan bahwa migrasi suku bangsa Jawa ke Sumatera Timur mulai ramai pada abad 19 dan abad 20.Tepatnya pada tahun 1863 dimana banyak para pengusaha Belanda yang membuka perkebunan-perkebunan baru di Sumatera Timur.Mereka bermigrasi ke-luar Pulau Jawa dikarenakan semakin banyaknya keperluan tenaga kerja perkebunan di Sumatera Timur.
Awalnya para pemilik kebun mendatangkan orang Cina dari Pulau Pinang dan Singapura sebagai buruh perkebunan. Namun kesulitan-kesulitan dalam cara memperoleh pekerja Cina akhirnya menyebabkan pemilik perkebunan beralih menggunakan pekerja Jawa. Pada pertengahan 1890-an para kuli Jawa dengan cepat melampaui jumlah kuli Cina di perkebunan-perkebunan Deli (Reid, 2011:220). Salah satu penyebabnya adalah upah kuli Jawa jauh lebih murah daripada upah kuli Cina (Breman, 1997:66-67).
Gelombang migrasi orang Jawa pasca Indonesia merdeka kian ramai.Orang-orang Jawa khususnya yang berasal dari Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta banyak yang bermigrasi, merantau ke Tanah Sumatera Utara.Maka tidak heran jika banyak sekali berdiri kampung-kampung orang Jawa di Sumatera Utara.Salah satunya Desa Kolam yang berada di Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang.Mereka, yakni orang-orang Jawa membawa serta kebudayaan dari daerah asal mereka ke tanah rantau ini, termasuk kesenian leluhur mereka.Salah satu kesenian yang berkembang di Desa Kolam adalah Seni Pertunjukan Tradisional Tari Angguk.Tari Angguk adalah tari rakyat yang berasal dari Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya dari Kabupaten Kulon Progo.Tradisi Tari Angguk ini awalnya dikenal dengan istilah Terbangan.Tradisi ini mirip dengan tradisi Barzanji dalam budaya Melayu yang melantunkan lagu-lagu syiar Islam yang dinyanyikan oleh beberapa orang laki-laki dan diiringi dengan tabuhan alat musik rebana, bedug, tamborin dan kendang.
Kesenian Tari Angguk awalnya merupakan perkembangan dari tradisi Terbangan.Kesenian terbangan sendiri masuk di Indonesia khususnya di pulau Jawa dibawa oleh wali songo sebagai penyebar agama Islam (Lelono, 2012:12). Tradisi terbangan diperkenalkan oleh para Wali Songo untuk memperkenalkan Islam di Jawa pada sekitar abad 15-16 M. Seiring perkembangan waktu, maka tradisi terbangan mendapat pengaruh unsur tari dan tembang-tembang atau tradisi lisan Jawa yang akhirnya memunculkan sebuah kesenian baru yang dikenal dengan Tradisi Shalawatan Angguk. Kesenian ini diperkenalkan oleh Ki Kasan Dimejo pada tahun 1920 Di Jogjakarta. Dari Jogjakarta kemudian kesenian tradisional ini menyebar ke beberapa daerah lain semisal di Purworejo dan Magelang serta ke Desa Kolam Kecamatan Percut Sei Tuan.
Agar lebih mudah untuk melihat dan menganalisis perubahan seni pertunjukan tradisional Tari Angguk di Desa Kolam, maka penulis membagi tahap-tahap perubahan kesenian ini dalam tiga periodesasi antara lain: Masa Orde Lama, Masa Orde Baru dan Masa Reformasi (Hingga Sekarang). Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: bagaimana sejarah munculnya Seni Pertunjukan Tradisional Tari Angguk Di Desa Kolam, bagaimana perkembangan Seni Pertunjukan Tradisional Tari Angguk Di Desa Kolam dan bagaimana pula upaya pelestarian Seni Pertunjukan Tradisional Tari Angguk Di Desa Kolam.
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian deskriptif-kualitatif dengan metode sejarah.Sebagaimana yang dinyatakan Kartodirdjo (Priyadi, 2012:2) bahwa Metode Penelitian Deskriptif Kualitatif sering dipakai dan diberlakukan pada ilmu-ilmu kebudayaan (Geisteswissenschaften) yang mencakup humaniora, sejarah, dan ilmu-ilmu sosial.Sementara menurut Sugiyono (2010:7-8) jenis penelitian deskriprif kualitatif disebut juga metode interpretatif karena data hasil penelitian lebih berkenaan dengan interpretasi terhadap data yang ditemukan di lapangan. Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan (field research) yakni upaya memperoleh data dengan melakukan wawancara, observasi dan dokumentasiserta penelitian kepustakaan (library research) yakni upaya memperoleh data dari buku-buku atau literatur-literatur yang berkaitan dengan judul penelitian. Data digali dari berbagai sumber yakni dari pengelola sanggar atau paguyuban seni tari angguk di Desa Kolam, serta pihak-pihak yang memiliki perhatian terhadap Kesenian Tari Angguk di Desa Kolam.Dalam penelitian ini juga penulis melakukan wawancara dengan pihak pemerintah terkait atau dalam hal ini pemerintah Desa Kolam.

II.  PEMBAHASAN
A.    Sejarah Seni Pertunjukan Tari Angguk Di Desa Kolam
Seni pertunjukan terbangan atau yang kini kita kenal dengan kesenian Tari Angguk merupakan seni pertunjukan yang berkembang pada masa Islam.Kesenian ini termasuk ke dalam seni pertunjukan tari dan musik yang dianggap bercorak Islam karena perkembangannya bertaut dengan sejarah penyebaran agama Islam (Paeni, 2009:77).
3
Kesenian Tari Angguk telah ada di Desa Kolam sejak tahun 1959. Kesenian ini diperkenalkan oleh seorang perantau dari desa Pripih, Kabupaten Kulon Progo yang bernama Kartosari. Hingga hari ini kesenian Tari Angguk dijaga dan dilestarikan di Desa Kolam Kecamatan Percut Sei Tuan. Namun Tari Angguk dewasa ini telah dikemas dalam bentuk yang sedikit berbeda namun tetap tidak menghilangkan keaslian Tari Angguk itu sendiri.
Beberapa kesenian tradisional yang ada di Indonesia memang selalu mengalami perkembangan dari masa ke masa dikarenakan perkembangan jaman dan tuntutan masyarakatnya. Bastomi (Lelono, 2012:5) berpendapat bahwa perkembangan kesenian berasal dari dua faktor yaitu faktor dari dalam dan faktor dari luar. Faktor dari dalam yaitu perkembangan kesenian yang berasal dari pertumbuhan kreasi baru, sedangkan faktor dari luar yaitu faktor lingkungan yang meliputi lingkungan alam dan lingkungan sosial tersebut.Dewi (2007:1) menyatakan bahwa seni pertunjukan dapat diartikan sebagai “tontonan” yang bernilai seni seperti drama, tari dan musik yang disajikan sebagai pertunjukan di depan penonton. Secara umum seni pertunjukan dibagi dua menjadi yakni seni pertunjukan tradisional dan seni pertunjukan modern.
Perkembangan yang paling tampak dalam kesenian Tari Angguk Desa Kolam adalah pada kostum yang dipakai yang mirip dengan baju serdadu Belanda. Ini menunjukan bahwa pengaruh budaya Eropa telah masuk dalam kesenian tradisional di Indonesia sebagaimana pendapat Sedyawati (2009:117) yang menyatakan bahwa “The youngest acculturation process known in Indonesia has been with the western (European) culture. It was after this process that the notion of modern art has entered into Indonesian scene”.
Dalam perkembangannya Seni pertunjukan tradisioal Tari Angguk ini telah mengalami  beberapa  perubahan. Perubahan  itu  antara  lain  tampak    pada format pertunjukannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Lelono (2012:1) yang menyatakan bahwa berbagai macam kesenian tradisional telah mengalami perkembangan dari fungsi maupun organologi. Perkembangan tersebut terjadi akibat perkembangan jaman dan teknologi modern. Selain itu perkembangan kesenian tradisional dapat diliat dari fungsinya. Kesenian tradisional sekarang tidak hanya berfungsi sebagai pengiring ritual acara keagamaan saja, akan tetapi sudah berfungsi sebagi hiburan. Sebagai salah satu contoh adalah kesenian terbangan yang mengalami pergeseran fungsi dan mengalami perkembangan
Jika pada awalnya Tari Angguk adalah murni berfungsi sebagai media syiar agama Islam dengan menyanyikan lagu-lagu pujian dan shalawatan terhadap Nabi Muhammad, kini ditemukan pula sesaji-sesaji dan pemanggilan roh-roh halus untuk menarik minat para penonton. Tujuan disediakannya sesaji-sesaji ini adalah untuk menjadikan para penarinya in trance atau ndadi (kesurupan). Dalam setiap pementasan ada beberapa tembang dan tarian yang sering berakhir dengan kondisi penarinya (salah satu atau beberapa) menjadi ndadi atau kesurupan (intrance), sehingga dalam menari pun mereka seperti lupa diri atau dianggap kesetanan (Widayat, 2008:8). Semakin ramai yang ndadi maka membuat pertunjukkan Tari Angguk semakin meriah. Bahkan para penonton menganggap kondisi ndadi ini sebagai inti dari acara.
Seni Pertunjukan Tradisional Tari Angguk merupakan salah satu kesenian tradisional yang berkembang di Desa Kolam.Hingga hari ini kesenian Tari Angguk dijaga dan dilestarikan khususnya oleh masyarakat etnis Jawa di Desa Kolam Kecamatan Percut Sei Tuan.Tari Angguk adalah tari rakyat yang berasal dari Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya dari Kabupaten Kulon Progo.Tradisi Tari Angguk ini awalnya dikenal dengan istilah Terbangan.Tradisi ini mirip dengan tradisi Barzanji dalam budaya Melayu yang melantunkan lagu-lagu syiar Islam yang dinyanyikan oleh beberapa orang laki-laki dan diiringi dengan tabuhan alat musik rebana, bedug, tamborin dan kendang.
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Ketua Sanggar Seni Remaja, Bapak Painen (Selasa, 27 Desember 2016) Kesenian Tari Angguk telah ada di Desa Kolam sejak tahun 1959. Kesenian ini diperkenalkan oleh seorang perantau dari desa Pripih, Kabupaten Kulon Progo yang bernama Kartosari.Awalnya, beliau merupakan seorang Guru Mengaji yang mengajar anak-anak sekitar Pasar XII, Dusun IV Desa Kolam. Dikarenakan kerinduaannya akan kesenian tradisional dari kampung halamannya di Kulon Progo maka beliau mulai memikirkan sebuah ide untuk mengembangkan kesenian tersebut di daerah rantau ini. Kemudian Kartosari mengadakan rapat terbatas dengan para orang tua dan tokoh masyarakat setempat perihal hajatnya itu.Beruntung, hajatnya tersebut diamini oleh para hadirin rapat tersebut.Maka mulailah beliau melatih anak-anak didiknya untuk belajar Tari Angguk.Dua kali dalam seminggu, yakni setiap Rabu Malam dan Sabtu Malam sehabis mengaji, Kartosari mengajarkan anak-anak didiknya perihal kesenian Tari Angguk.
Seiring perkembangan waktu, tidak hanya anak-anak saja yang tertarik terhadap kesenian ini, namun remaja sekitar tampak tertarik untuk belajar Tari Angguk.Hal inilah yang menjadi cikal-bakal berkembangnya kesenian Tari Angguk di Desa Kolam. Sebuah kesenian akan terus berkembang ketika masyarakatnya secara sadar mempunyai keinginan untuk terus melestarikan dan mengembangkannya. Sejak saat itu maka Seni Pertunjukan Tradisional Tari Angguk menjadi salah satu alternatif  hiburan yang digemari masyarakat untuk mengisi berbagai acara di Desa Kolam mulai dari acara pesta pernikahan, khitanan, perayaan kemerdekaan Republik Indonesia dan menyambut Tahun baru Islam (1 Muharram) atau yang lebih dikenal dengan suroan dalam istilah Jawa.

B.     Perkembangan Seni Pertunjukan Tradisional Tari Angguk Di Desa Kolam Masa Orde Lama
Salah satu aspek kajian budaya adalah yang pendekatannya dari arah sejarah. Suatu kajian sejarah kesenian dapat pula mengambil satu diantara dua macam corak, yaitu yang memusatkan perhatian pada perkembangan gaya seni secara kronologis dengan analisis rinci atas segi-segi teknik, atau mengkaji perkembangan seni dengan perhatian yang lebih rinci atas harapan-harapan dan kewenangan-kewenangan dari golongan-golongan masyarakat yang menghajatkannya. Cara yang disebut terakhir itu telah diberi label “Sejarah Sosial Kesenian” (Hauser dalam Sedyawati, 2006:132-133).
Cara manapun yang akan diambil oleh peneliti, niscaya konsep sentral yang akan dilihat perkembangannya, terutama adalah sejarah lahirnya kesenian tersebut dan seputar gaya seni itu sendiri. Konsep-konsep keagamaan para pegiat seni dan kekuatan sosial-masyarakat yang turut “bermain” dan mempengaruhi perkembangan suatu kesenian tradisional juga tidak luput dari penelitian ini.
Penulis sadar bahwa Kajian Sejarah Kesenian khususnya Kajian Sejarah Tari harus didasari dengan kemampuan dasar dalam metode penelitian sejarah. Dalam hal ini penulis sebisa mungkin akan melacak sumber data pada himpunan literatur dan dokumen yang relevan serta yang utama data-data dari lembaga-lembaga atau sanggar terkait sebagai sumber informasi. Hal ini tampak sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Sedyawati (2006:302-303) bahwa saksi-saksi sejarah dalam perkembangan tari dapat pula dijadikan narasumber dan dapat diwawancarai sepanjang itu relevan dengan pokok bahasan.
Perkembangan Seni Pertunjukan Tari Angguk di Desa Kolam hingga pada hari ini tidak terlepas dari usaha para pegiat seni ini yang terus berupaya memelihara dan melestarikan kesenian Tari Angguk.Dalam perjalanannya tentu banyak ditemui kendala ataupun masalah-masalah yang dihadapi, namun tampaknya mampu diatasi sehingga kesenian ini bisa terus berkembang hingga sekarang.Salah satu upaya pelestarian seni pertunjukan tradisional Tari Angguk adalah dengan banyaknya didirikan paguyuban-paguyuban atau sanggar seni Tari Angguk.
Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwasannya kesenian tradisional Tari Angguk dikenal masyarakat Desa Kolam sejak tahun 1959.Pada masa ini pulalah paguyuban Tari Angguk Sanggar Seni Remaja berdiri didirikan oleh Kartosari, Painen dan Jaimen bersaudara. Selama melakukan penelitian, kesenian Tari Angguk yang berkembang di Desa Kolam memang kental sekali menjiplakgaya Tari Angguk khas Kulon Progo. Satu hal yang paling menonjol dan kentara sekali adalah seputar kostum dan adanya kondisi ndadi atau keadaan dimana si Penari kesurupan roh-roh halus sehingga hilang kendali atas dirinya sendiri.
Sebagai bukti keidentikkan Tari Angguk Desa Kolam dengan Tari Angguk Kulon Progo, penulis memaparkan hasil penelitian Widayat (Asosiasi Tradisi Lisan, 2008:8) tentang Kesenian Tari Angguk di Kulon Progo bahwa dalam setiap pementasan ada beberapa tembang dan tarian yang sering berakhir dengan kondisi penarinya (salah satu atau beberapa) menjadi ndadi atau kesurupan (intrance), sehingga dalam menari pun mereka seperti lupa diri atau dianggap kesetanan.  Ndadi, pada dasarnya memang kesurupan roh lain, sehingga penari yang bersangkutan tidak sadar atau setengah sadar pada keberadaannya.Ia seakan hanya sebagai wadhag (tempat) saja, adapun yang menggerakkan tubuhnya adalah roh lain.Adapun pada kurun 1959-1965 format pertunjukan kesenian tradisional tari angguk hanya menggunakan instrumen music pengiring yang terdiri dari rebana, genjring, jidur dan beduk.Pada masa ini belum dikenal penggunaan alat pengeras suara.

C.    Perkembangan Seni Pertunjukan Tradisional Tari Angguk Masa Orde Baru
Penulis, dalam meneliti perkembangan kesenian Tari Angguk di Desa Kolam lebih bertumpu kepada sumber-sumber lisan dan folklore yang hidup di dalam ingatan kolektif masyarakat Desa Kolam.Metode seperti yang penulis lakukan di atas kiranya cukup akademis dalam kaitannya meneliti perkembangan atau sejarah kesenian. Hal ini tampak sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Sedyawati (2012:302-303) bahwa lembaga-lembaga yang berurusan dengan kehidupan tari dapat digunakan sebagai sumber informasi, sepanjang relevan dengan pokok bahasan penelitian. Selain itu saksi-saksi sejarah dalam perkembangan tari dapat pula dijadikan narasumber dan dapat diwawancarai.
Dalam kaitannya dengan perkembangan kesenian tradisional Tari Angguk di Desa Kolam selama masa orde baru saja misalnya, penulis tidak bisa menemukan literatur ataupun dokumen-dokumen perihal kesenian ini.Bahkan penulis telah mencoba memeriksa dokumen-dokumen baik yang sifatnya pribadi ataupun dokumen sanggar-sanggar Tari Angguk yang ada di Desa Kolam, namun hasilnya nihil.Bahkan tidak ditemukan dokumen berupa secarik foto sekalipun.Pernah memang di adakan suatu kompetisi antar-kesenian tradisional yang di selenggarakan di Balai Desa Kolam pada tahun 1977.Namun sejauh penelusuran penulis tidak berhasil mendapati atau menemukan bukti-bukti ataupun dokumen perihal kegiatan tersebut.
Masih awamnya penduduk Desa Kolam dalam menggunakan teknologi semisal kamera atau hal-hal lainnya yang berkaitan dengan fotografi mungkin menjadi salah satu penyebab tidak tersedianya arsip-arsip berupa dokumen berbentuk foto.Selain itu, perihal ketiadaan literatur kemungkinan sekali di sebabkan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat di Desa Kolam masa itu. Di sisi lain, sebelum masa reformasi, Desa Kolam merupakan sebuah desa yang begitu terpencil bahkan bisa dikatakan terisolir. Keadaan ini diperparah dengan stigma Desa Kolam sebagai basis Partai Komunis Indonesia pasca 1965.
Perkembangan seni pertunjukan tradisional Tari Angguk di Desa Kolam pada masa orde baru hanya dapat ditelusuri melalui tradisi lisan yang bersumber dari para pegiat seni ini.Menurut mereka, ada beberapa perkembangan dalam seni pertunjukan tradisional Tari Angguk di Desa Kolam pada masa orde baru yang meliputi instrumen pengiring, penari dan tanggapan masyarakat Desa Kolam sendiri.
Pada masa orde baru, seni pertunjukan tradisional Tari Angguk di Desa Kolam mengalami perkembangan dalam hal instrumen musik pengiringnya. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Bapak Painen (73 tahun) yang merupakan Ketua Sanggar Seni Remaja (27 Desember 2016) jika awalnya hanya dikenal instrumen musik tradisional semisal rebana, genjring, jidur dan kendang, namun memasuki tahun 1991 telah dikenal instrumen musik baru seperti keyboard (masyarakat Desa Kolam lebih senang menyebutnya dengan istilah organ)dan alat pengeras suara atau speaker dan microphone.
Pada perkembangan selanjutnya, masih pada masa orde baru, telah dikenal pula penggunaan disket rekaman tembang-tembang pengiring Tari Angguk.Perkembangan ini kiranya sangat membantu para Dalang dikarenakan tidak perlu lagi nembang selama pertunjukan berlangsung.Dalang biasanya nembang sambil diiringi organ.
Seni pertunjukan tradisional Tari Angguk di Desa Kolam seakan lebih menarik lagi dikarenakan adanya penggunaan alat pengeras suara (speaker).Menurut Bapak Painen Ketua Sanggar Seni Remaja (Selasa, 27 Desember 2016) penggunaan speaker kian memeriahkan pertunjukan ini, dikarenakan dengan jangkauan suaranya yang lebih jauh maka memungkinkan penduduk desa sekitar untuk turut serta ”nonton” pertunjukan ini.
Memasuki tahun 1990-an ada beberapa perkembangan dalam pementasan seni pertunjukan tradisional Tari Angguk di Desa Kolam.Salah satu yang paling mencolok adalah dalam hal penarinya.Pada masa ini di kenal dengan hadirnya penari wanita dalam kesenian Tari Angguk.Hadirnya penari wanita ini merupakan salah satu usaha para pegiat seni ini agar kesenian Tari Angguk semakin menarik di hati dan di mata masyarakat Desa Kolam.
Menurut keterangan Bapak Sugiman, Ketua Sanggar Pacas Wahyu Sekar Manunggal (30 Desember 2016) hadirnya para penari wanita ini hanya sebagai pengiring para penari pria dan tidak turut in trance atau kesurupan roh-roh lain. Pemilihan wanita sebagai media atau wadagh sangat di tentang oleh para pegiat seni ini dikarenakan akan bertentangan dengan norma-norma kesopanan dan susila yang ada di Desa Kolam. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan beberapa ketua sanggar Tari Angguk di Desa Kolam menyatakan bahwa tidak etis kiranya seorang Dalang yang notabene pria untuk menyadarkan penari wanita yang in trance dengan cara menyentuh beberapa bagian tubuh yang sifatnya vital.
D.    Perkembangan Seni Pertunjukan Tradisional Tari Angguk Masa Reformasi (Hingga Sekarang)
Memasuki millennium kedua, kesenian Tari Angguk di Desa Kolam seakan memiliki nafas baru.Hal ini terbukti dengan berdirinya beberapa sanggar yang eksistensinya bisa kita saksikan hingga sekarang.Perkembangan Seni Pertunjukan Tradisional Tari Angguk di Desa Kolam pada masa ini tidak lagi berkutat pada masalah perkembangan instrumen musik pengiring, teknik tari ataupun dalam hal kostum.Namun lebih penting dari semua itu, ada suatu kabar yang menggembirakan dimana pada masa ini muncul beberapa paguyuban atau sanggar kesenian Tari Angguk di Desa Kolam.Pada masa ini juga mulai dirasakan adanya perhatian dari pemerintah terkait dalam upayanya menjaga dan melestarikan kesenian tradisional ini.Pada masa ini juga mulai berdiri beberapa sanggar tari angguk baru seperti Sanggar Kenanga (2000) dan Sanggar Pacas Wahyu Sekar Manunggal (2004).Sanggar Pacas Wahyu Sekar Manunggal merupakan sanggar teraktif yang ada di Desa Kolam.
Sejauh penelitian penulis, Sanggar Pacas Wahyu Sekar Manunggal merupakan sanggar yang paling aktif mengikuti festival kesenian tradisional yang diadakan oleh Pemerintah.Hal ini terbukti dengan keikutsertaan mereka dalam acara Festival Seni Tradisional yang diadakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Kabupaten Deli Serdang.Bahkan pada Oktober 2016, sanggar ini menjadi penampil favorit kedua pada Festival yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Kabupaten Deli Serdang tersebut.
Namun, ada hal yang lebih penting dan cukup mengancam eksistensi seni pertunjukan tradisional Tari Angguk di Desa Kolam selain perihal dana di atas. Dewasa ini, tantangan perkembangan kesenian Tari Angguk di Desa Kolam bukan lagi berkutat pada masalah pendanaan, melainkan hal lain yakni masuknya pengaruh kebudayaan modern di Desa Kolam.Ancaman modernisasi merupakan permasalahan serius terhadap eksistensi kesenian tradisional. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Nurudin (Sutrisno, 2010:331) bahwa Seni Tradisional memiliki beberapa kelebihan, yakni: tumbuh dan berkembang di masyarakat, bisa dinikmati semua lapisan masyarakat, bersifat menghibur sehingga bisa mempengaruhi sikap masyarakat. Namun dalam perkembangan masyarakat yang semakin maju dan modern, eksistensinya dapat terancam.
Setidaknya, begitulah realita yang ada saat ini di Desa Kolam. Pengaruh modernisasi semisal maraknya seni pertunjukan modern seperti Keyboard yang juga sering di pentaskan pada cara hajatan pernikahan, khitanan ataupun acara-acara besar seperti peringatan kemerdekaan Republik Indonesia cukup mengancam eksistensi kesenian Tari Angguk itu sendiri sebagai seni pertunjukan tradisional milik masyarakat Desa Kolam. Salah satu yang menjadi pertimbangan para penanggap adalah biaya menanggap Grup musik Keyboard jauh lebih murah ketimbang menanggap Tari Angguk.

E.     Upaya Pelestarian Oleh Masyarakat
Salah satu upaya pelestarian kesenian Tari Angguk di Desa Kolam adalah dengan didirikannya beberapa komunitas seni Tari Angguk oleh masyarakat atau dalam hal ini para pegiat kesenian Tari Angguk. Komunitas-komunitas seni Tari Angguk ini lebih dikenal dengan istilah sanggar ataupun paguyuban. Sejauh ini setidaknya ada tiga sanggar atau paguyuban yang masih eksis di Desa Kolam yakni Sanggar Seni Remaja, Sanggar Kenanga dan Sanggar Pacas Wahyu Sekar Manunggal.
Biasanya agenda inti dalam setiap pertemuan anggota paguyuban seni Tari Angguk di Desa Kolam adalah untuk latihan bersama serta membahas konsep pertunjukan yang akan ditampilkan.Kegiatan semacam inimerupakan sebuah kelaziman yang dilakukan oleh para pegiat seni pertunjukan tradisional Tari Angguk di Desa Kolam.Setidaknya setiap dua kali dalam seminggu mereka melakukan latihan rutin, yakni setiap rabu malam dan sabtu malam. Hal diatas sejalan dengan pendapat Paeni (2009:2) yang menyatakan bahwa sudah tentu seorang atau sekumpulan orang yang akan mempergelarkan seni pertunjukannya, lebih dahulu perlu mengadakan kegiatan-kegiatan pra-pertunjukan yang pada dasarnya terbagi kedalam dua tahap, yaitu: perancangan&penciptaan serta latihan.
Seperti yang telah penulis paparkan diatas bahwa paguyuban seni Tari Angguk di Desa Kolam tidak melulu membahas masalah kesenian.Namun lebih dari itu, terkadang menyinggung bidang sosial dan ekonomi.Sebagaimana yang dinyatakan oleh Taryati (1999:4) bahwa paguyuban memiliki beberapa peranan dalam menciptakan suasanan komunikatif antar anggota dalam memecahkan permasalahan sosial, ekonomi dan budaya para anggota paguyuban. Dalam bidang sosial, hal-hal yang menjadi kegiatan para anggota paguyuban antara lain: gotong-royong dalam musibah kematian, menjenguk sesama anggota paguyuban yang sakit, gotong-royong dalam acara suka semisal pesta pernikahan, khitanan ataupun acara pesta ulang tahun.Tidak hanya sebatas kegiatan diatas, paguyuban ini juga sedikit banyak membantu mengurangi penyakit masyarakat khususnya bagi kalangan remaja yang terjerumus dalam hal penyalahgunaan narkoba serta anak yang putus sekolah.
Perkembangan kesenian ini juga membawa dampak yang cukup positif terhadap keadaan sosial masyarakat Desa Kolam.Selama melakukan penelitian, Ketua Sanggar Pacas, Bapak Sugiman banyak bercerita tentang kekhawatirannya melihat kondisi sosial masyarakat di sekitar lingkungannya, khususnya pada kaum remaja.Beliau menuturkan kesedihannya melihat banyak kaum remaja sekitar yang putus sekolah dikarenakan minimnya biaya untuk mengeyam pendidikan.Kesedihan dan keprihatinannya bertambah melihat kondisi sosial kaum remaja yang terjerumus memakai Narkoba dan obat-obatan terlarang.
Berangkat dari kekhawatiran, keprihatinan dan berujung pada kesedihan akan kondisi sosial masyarakatnya, maka Bapak Sugiman merangkul mereka untuk bergabung dengan sanggar tarinya. Mencoba mengisi waktu luang mereka agar tidak terjerumus dalam penyalahgunaan obat-obatan terlarang lagi dan lebih penting dari itu, memberikan mereka bekal keterampilan seni kepada kaum remaja sekitar lingkungannya agar kelak berguna bagi hidupnya.
Kesenian Tari Angguk di Desa Kolam, selain memberikan keterampilan seni bagi kaum remaja yang putus sekolah dan terjebak dalam penggunaan narkoba ternyata juga memberikan manfaat yang lebih penting daripada hal yang disebutkan di atas.Dengan belajar kesenian Tari Angguk maka para remaja ini seakan mendapat suntikan atau pencerahan secara spiritual.Bukan hanya raga saja yang terlatih menari, namun jiwapun ikut terlatih.Setidaknya kita perlu memberikan penghargaan terhadap usaha para pegiat seni ini dalam upaya mereka memperbaiki permasalahan sosial dalam masyarakat Desa Kolam.
Dalam bidang ekonomi para anggota paguyuban biasanya mengadakan acara arisan. Biasanya disetiap acara arisan dikumpulkan iuran untuk dana perawatan dan peremajaan instrumen-instrumen pendukung kesenian Tari Angguk. Namun berdasarkan penuturan Ketua Sanggar Pacas dan Sanggar Seni Remaja, iuran itu sifatnya tidak rutin dan besarannya tidak ditentukan.Bahkan bisa dikatakan hanya sumbangan sukarela saja.
Adapun yang menjadi iuran wajib untuk sanggar hanya dilakukan jika mereka mendapat tanggapan dari masyarakat yang mengadakan pesta atau hajat.Tanggapan adalah istilah yang merujuk kepada undangan si empunya hajatan kepada sanggar Tari Angguk.Dalam sekali nanggap biasanya mereka dibayar mulai dari Rp. 600.000 hingga Rp. 1.200.000 tergantung kepada kesepakatan.Besaran uang di atas belum dipotong dengan biaya transportasi senilai Rp. 150.000 hingga Rp. 300.000 sesuai dengan jarak tempuh.Lalu sisanya dibagi rata kepada anggota sanggar yang berjumlah 18-20 orang.Biasanya besaran bersih yang mereka terima setelah dipotong iuran wajib tidak lebih dari Rp. 40.000 per anggota.
Para pegiat seni Tari Angguk, baik Ketua sanggar maupun anggotanya merasa cukup puas dengan besaran rupiah yang relatif kecil yang mereka dapatkan selama pertunjukan semalam-suntuk.Bagi mereka yang terpenting bukanlah besaran rupiahnya melainkan kepuasan bathin karena telah menghibur masyarakat selama pertunjukan kesenian tradisional Tari Angguk.
F.     Upaya Pelestarian Oleh Pemerintah
Sejauh wawancara penulis dengan beberapa ketua Sanggar Tari Angguk di Desa Kolam, peran pemerintah dalam pelestarian kesenian Tari Angguk di Desa Kolam tidak pernah dirasakan sedemikian nyata sebelum tahun 2016. Sejak tahun 2016 kesenian ini telah menjadi perhatian pemerintah daerah dengan dikeluarkannya Peraturan Bupati Deli Serdang No.721 Tahun 2016 tentang Kewenangan Lokal Berskala Desa tentang Pembinaan Kesenian dan Sosial-Budaya Masyarakat.
Sanggar-sanggar kesenian Tari Angguk di Desa Kolam bersama dengan sanggar-sanggar kesenian lain semisal kesenian Reog Ponorogo dan Kuda Kepang yang ada di Desa Kolam dan umumnya di daerah Kabupaten Deli Serdang sejak tahun 2013 dihimpun dalam satu payung organisasi yang diberi nama Kriyo Manunggal Budaya (KMB. Kriyo Manunggal Budaya merupakan organisasi yang dinaungi oleh Dinas Kebudayaan Kabupaten Deli Serdang yang berperan dalam hal bantuan pendanaan beberapa kesenian tradisional yang ada di Desa Kolam dan kesenian tradisional di desa lain di Kabupaten Deli Serdang.
            Upaya pelestarian kesenian Tari Angguk di Desa Kolam juga tampak diamini oleh Pemerintah Desa Kolam. Dalam Buku Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Kolam (RPJM Desa Kolam) Tahun 2016-2017, berdasarkan Peraturan Desa No. 2 Tahun 2016 Pasal 6 Tentang Program Pemberdayaan Lembaga Kesenian dan Adat, sanggar Tari Angguk di Desa Kolam yang berjumlah 3 serta beberapa sanggar kesenian lain semisal Reog Ponorogo dan Kuda Kepang akan mendapat bantuan baik dana ataupun keperluan yang di butuhkan oleh sanggar-sanggar kesenian tersebut.

III.   PENUTUP
Perkembangan seni pertunjukan tradisional Tari Angguk di Desa Kolam bisa kita periodesasikan ke dalam tiga masa yakni masa orde lama, masa orde baru dan masa reformasi.Pada masa orde lama merupakan tahap awal perkembangan seni pertunjukan tradisional Tari Angguk di Desa Kolam.Pada masa ini merupakan tahap perkenalan masyarakat Desa Kolam dengan kesenian Tari Angguk.Pada awal masa orde baru merupakan masa-masa kritis dikarenakan vakumnya kesenian Tari Angguk dikarenakan peristiwa Gerakan 1 Oktober 1965.Namun memasuki tahun 1967 kesenian ini mulai hidup kembali dibuktikan dengan berdirinya Sanggar Tari Angguk Seni Remaja yang didirikan oleh Bapak Painen dan Bapak Jaimen.Memasuki tahun 1991 kesenian ini berkembang menjadi sedikit modern dikarenakan masuknya instrumen musik keyboard serta disket dan pengeras suara atau speaker yang berdampak positif terhadap perkembangan kesenian ini.Namun terjadi kelesuan nanggap menjelang tahun 1998 hingga beberapa tahun setelahnya.
Pada masa reformasi merupakan masa keemasan perkembangan kesenian ini.Tepat pada tahun 2000 berdiri Sanggar Tari Angguk Kenanga yang didirikan oleh Bapak Erwin Syahputra.Memasuki tahun 2004 berdiri pula Sanggar Tari Angguk Pacas Wahyu Sekar Manunggal.Pada masa reformasi ini pula kesenian Tari Angguk mendapatkan perhatian pemerintah dengan dikeluarkannya Peraturan Bupati Deli Serdang Nomor.721 Tahun 2013 Tentang Kewenangan Lokal Berskala Desa.Dengan dikeluarkannya peraturan ini maka kegiatan seni yang ada di Deli Serdang khususnya kesenian yang berasal dari Jawa dibina oleh Dinas Kebudayaan Deli Serdang di bawah payung Krido Manunggal Budaya.
Kesenian Tari Angguk di Desa Kolam memiliki beberapa fungsi seni diantara lain: fungsi religi, fungsi sosial dan fungsi hiburan. Adapun usaha-usaha yang dilakukan untuk melestarikan seni pertunjukan tradisional Tari Angguk di Desa Kolam dilakukan oleh Masyarakat maupun Pemerintah.Masyarakat mendirikan sanggar-sanggar tari atau paguyuban untuk melestarikan kesenian ini.Sementara upaya yang dilakukan pemerintah adalah membantu dalam urusan pendanaan. Hal ini dibuktikan dengan adanya bantuan dana bagi sanggar Tari Angguk di Desa Kolam yang tertuang dalam BukuRencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Kolam (RPJM Desa Kolam) Tahun 2016-2017 berdasarkan Peraturan Desa No. 2 Tahun 2016 Pasal 6 Tentang Program Pemberdayaan Lembaga Kesenian dan Adat.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda