Selasa, 15 Agustus 2017

PROPOSAL BEKICOT




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah di muka bumi ini pada asalnya adalah halal dan mubah. Tidak ada satu pun yang haram, kecuali karena ada nash yang sah dan tegas dari syari’at yaitu Allah dan Rasul-Nya yang mengharamkannya. Jadi, makanan yang halal adalah makanan yang dibolehkan untuk dimakan menurut ketentuan syari’at islam, yaitu segala sesuatu baik berupa tumbuhan, buah-buahan, ataupun binatang yang pada dasarnya adalah makanan halal.[1] Sebagaimana firman Allah Surat Al- Baqarah ayat 168 yang berbunyi sebagai berikut :
ياايها الناس كلوا مما فى الأرضى حللا طيبا ولا تتبعوا خطوات الشيطن إنه لكم عدومبين
Artinya: “Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Karena sesungguhnya, setan itu musuh yang nyata bagimu”.[2]
 

Dan firman Allah Surat Al- Maidah ayat 88 yang berbunyi sebagai berikut:
وكلوا مما رزقكم الله حللا طيبا واتقوا الله الذى أنتم به مؤمنون
Artinya: “Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang halal dan baik dan bertaqwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya”.[1]
Lawan dari halal adalah haram. Segi halal dan haram banyak digunakan dalam aspek kehidupan. Dan penggunaan yang paling umum dalam ketentuan ini adalah merujuk kepada produk-produk daging, bahan-bahan makanan, dan farmasi yang kebanyakan dikonsumsi oleh manusia. Dan makanan yang dikonsumsi oleh manusia itu ada bermacam-macam jenisnya, Setiap jenisnya digolongkan menjadi dua bagian. Penggolongan ini biasanya terdiri dari makanan yang dihalakan dan diharamkan untuk dikonsumsi. 
Salah satu makanan dari jenis binatang yang menjadi polemik terkait status kehalalannya adalah bekicot. Dan bekicot itu ada dua macam, ada bekicot darat dan bekicot air. Adapun bekicot darat yang dalam bahasa arabnya adalah Halzuun Barriy digolongkan sebagai hasyarot (hewan kecil di darat seperti tikus, kumbang, dan kecoak yang tidak memiliki darah mengalir. Adapun bekicot air (disebut keong/tutut) digolongkan sebagai hewan air. Antara kehalalan bekicot darat dan bekicot air ini berbeda, Bekicot air yang disebut Tutut (Keong/Bellamya javanica/Viviparus javanicus) adalah hewan yang mirip dengan bekicot namun habitatnya adalah di air. Akan tetapi hewan jenis ini termasuk dalam keumuman dalil yang menunjukkan halalnya hewan air.
Sebagaimana Allah berfirman dalam surat al-Maidah ayat 96:   
أحل لكم صيد البحر وطعامه
Artinya: Dihalalkan bagimu binatang buruan air dan makanan (yang berasal ) dari air. (Qs. Al-Maidah: 96).
As-Syaukani Rahimahullah mengatakan yang dimaksud dengan air dalam ayat di atas adalah setiap air yang didalamnya terdapat hewan air untuk diburu (ditangkap), baik itu sungai atau kolam.[2]
Mengenai bekicot darat, ada perbedaan pendapat mengenai halal atau tidaknya untuk dikonsumsi oleh manusia. Adapun pendapat yang menghalalkan bekicot untuk dikonsumsi adalah ulama malikiyah dan syeikh sholeh Al-Munajjid.
Dalam kitab Al-Mudawanah dinyatakan,
سئل مالك عن شيء يكون في المغرب يقال له الحلزون يكون في الصحارى يتعلق بالشجر أيؤكل ؟ قال : أراه مثل الجراد ، ما أخذ منه حيّاً فسلق أو شوي : فلا أرى بأكله بأساً , وما وجد منه ميتاً : فلا يؤكل
Imam Malik ditanya tentang binatang yang ada di daerah maroko, namanya bekicot. Biasanya berjalan di bebatuan, naik pohon. Bolehkah dia dimakan? Imam Malik menjawab: Saya berpendapat, itu seperti belalang. Jika ditangkap hidup-hidup, lalu direbus atau dipangggang. Saya berpendapat, Tidak masalah dimakan, namun jika ditemukan dalam keadaan mati, jangan dimakan.”[3]
Al-Baji dalam kitab Al-Muntaqa Syarh Muwatha’ juga pernah menukil keterangan Imam Malik tentang bekicot,
ذكاته بالسلق ، أو يغرز بالشوك والإبر حتى يموت من ذلك ، ويسمَّى الله تعالى عند ذلك ، كما يسمى عند قطف رءوس الجراد
Cara menyembelihnya adalah dengan dimasak, atau ditusuk kayu atau jarum sampai mati. Dengan dibacakan nama Allah (bismillah) ketika itu. Sebagaimana membaca bismillah ketika memutuskan kepala belalang.”[4]
Sedangkan Syaikh Sholeh Al-Munajjid dalam fatawa al-islam sual wa jawab No.114855 berkata:[5]
جواز أكل الحلجون بنوعه: البري والبحري، ولو طبح حيا حرج. لأن البري منه ليس له دم حتى يقال بوجوب تذكيته وإخراج الدم منه، ولأن البحري منه يدخل في عموم حل صيد البحر وطعامه.
Boleh saja memakan dua jenis bekicot yaitu bekicot darat dan bekicot air. Sekalipun dimasak hidup-hidup, tidaklah masalah. Karena bekicot darat itu tidaklah memiliki darah yang mengalir, lantas bagaimana mungkin dikatakan wajib disembelih. Sedangkan bekicot air termasuk dalam keumuman ayat “ dihalalkan bagimu binatang buruan air dan makanan (yang berasal) dari air.
 Sedangkan MUI menetapkan bekicot haram untuk dikonsumsi. Hal ini dapat dilihat dalam Fatwa MUI No.25 Tahun 2012 Tentang Hukum Mengonsumsi Bekicot. Akan tetapi, meskipun MUI mengharamkan bekicot untuk dikonsumsi masih banyak terdapat masyarakat di suatu daerah yang mengonsumsinya. Seperti yang terdapat di daerah dusun sei meranti kecamatan pujud kabupaten rokan hilir. Kebanyakan masyarakat yang tinggal di daerah dusun sei meranti kecamatan pujud kabupaten rokan hilir yang mayoritas masyarakatnya adalah muslim, terdapat beberapa anggota masyarakatnya yang mengonsumsi Bekicot.
Masyarakat daerah dusun sei meranti Kecamatan Pujud Kabupaten Rokan Hilir mengonsumsi bekicot dengan cara: mereka mencari bekicot-bekicot yang akan dimasak dipohon-pohon pisang atau di pohon-pohon yang tumbuh disekitar rumah dan lahan mereka, atau daerah lain yang lembap. Banyaknya bekicot yang mereka ambil tergantung berapa bekicot yang mereka dapatkan karena Bekicot jarang dijumpai pada siang hari dan kebanyakan dijumpai pada waktu malam hari dikarenakan Bekicot ini lebih suka ditempat yang lembab.
Masyarakat Dusun Sei Meranti Kecamatan Pujud Kabupaten Rokan Hilir tidak setiap harinya mengonsumsi Bekicot. Dalam sebulan mereka mengonsumsinya hanya 2-3 kali saja dikarenakan Bekicot tersebut susah didapatkan apalagi jika musim kemarau tiba. Daerah yang panas sebagai salah satu faktor yang menyebabkan Bekicot tersebut jarang dijumpai di daerah ini.
Ketika penulis mewawancarai Ibu Atik salah seorang masyarakat Dusun Sei Meranti yang mengonsumsi Bekicot tersebut, ia mengatakan bahwa ia mengonsumsi bekicot karena ia menyukainya, daging Bekicot itu rasanya enak dan kenyal seperti ampela ayam. Selain rasanya yang enak Bekicot juga mempunyai banyak gizi dan mempunyai banyak khasiat seperti untuk mengobati sakit gigi, sesak nafas dan masih banyak lagi khasiatnya. Ia juga mengatakan bahwa keluarga mereka sudah membuktikan khasiatnya sewaktu salah satu anggota keluarganya merasakan sakit gigi. Daging Bekicot dapat diolah dengan berbagai variasi masakan sesuai selera masyarakat, seperti disate digoreng tetapi biasanya mereka lebih suka disambal.[6]
MUI mengeluarkan fatwa tentang hukum mengonsumsi bekicot ini dengan pertimbangan bahwa Seiring dengan dinamika yang sering terjadi di masyarakat, ada sekelompok masyarakat dan rumah makan yang memanfaatkan bekicot sebagai salah satu menu untuk pangan. Berdasarkan dari hal tersebut MUI pada tanggal 31 Mei 2012 menetapkan Fatwa Tentang Hukum Mengonsumsi Bekicot. Dengan ketentuan:
1.      Bekicot merupakan salah satu jenis hewan yang masuk kategori hasyarat.
2.      Hukum memakan hasyarat adalah haram menurut Jumhur Ulama (Hanafiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, Zhahiriyyah), sedangkan Imam Malik Menyatakan kehalalannya jika ada manfaat dan tidak membahayakan.
3.      Hukum memakan bekicot adalah haram, demikian juga membudidayakan dan memanfaatkannya untuk kepentingan konsumsi.[7]
Jadi, MUI mengharamkan Bekicot untuk dikonsumsi dikarenakan Bekicot merupakan jenis hewan hasyarat. Bukan hanya mengonsumsinya saja yang haram akan tetapi membudidayakan dan memanfaatkannya untuk kepentingan konsumsi juga diharamkan oleh MUI.
Fatwa MUI ini ditetapkan dengan memperhatikan berbagai pendapat ulama  yang menerangkan mengenai status hukum hewan yang masuk dalam kategori hasyarat. Seperti pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, Daud Ad-Dhahiri, dan Syafiiyah An-nawawi. Mereka mengatakan bahwa:
مذاهب العلماء في حشرات الأرض كالحيات واالعقارب والجعلان وبنات وردان والفأر ونحوها مذهبنا أنها حرام ، وبه قال أبو حنيفة وأحمد وداود . وقال مالك : حلال
Madzhab-madzhab para ulama tentang hewan melata bumi Pendapat ulama mazhab tentang binatang kecil bumi seperti ular, kalajengking, kecoa, tikus dan sejenisnya, mazhab Syafi’i mengharamkannya, demikian pula Imam Abu Hanifah dan imam Ahmad, sedangkan imam Malik berpendapat halal.”[8]
Ibnu Hazm dalam kitab al-muhalla juga mengatakan bahwa bekicot haram untuk dikonsumsi.
ولا يحل أكل الحلزون البري , ولا شيء من الحشرات كلها : كالوزغ ، والخنافس , والنمل , والنحل , والذباب , والدبر , والدود كله – طيارة وغير طيارة – والقمل , والبراغيث , والبق , والبعوض وكل ما كان من أنواعها ؛ لقول الله تعالى : (حرمت عليكم الميتة) ؛ وقوله تعالى إلا ما ذكيتم
Tidak halal makan bekicot darat, tidak pula binatang melata semuanya, seperti: cicak, kumbang, semut, lebah, lalat, cacing dan yang lainnya, baik yang bisa terbang maupun yang tidak bisa terbang, kutu kain atau rambut, nyamuk, dan semua binatang yang semisal. Berdasarkan firman Allah, yang artinya: “Diharamkan bagi kalian bangkai, darah” kemudian Allah tegaskan yang halal, dengan menyatakan, “Kecuali binatang yang kalian sembelih.
Kemudian Ibn Hazm menegaskan,
وقد صح البرهان على أن الذكاة في المقدور عليه لا تكون إلا في الحلق ، أو الصدر , فما لم يقدر فيه على ذكاة : فلا سبيل إلى أكله : فهو حرام ؛ لامتناع أكله ، إلا ميتة غير مذكى
Dan dalil yang shahih telah menegaskan bahwa cara penyembelihan yang hanya bisa dilakukan pada leher atau dada. Untuk itu, hewan yang tidak mungkin disembelih, tidak ada jalan keluar untuk bisa memakannya, sehingga hukumnya haram. Karena tidak memungkinkan dimakan, kecuali dalam keadaan bangkai yang tidak disembelih.[9]
Dengan demikian, maka praktek masyarakat yang mengonsumsi Bekicot di Dusun Sei Meranti Kecamatan Pujud Kabupaten Rokan Hilir haram menurut Fatwa MUI No 25 Tahun 2012. Maka dari itu, berdasarkan latar belakang yang sudah dipaparkan diatas,  penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut terkait ANALISIS FATWA MUI NO 25 TAHUN 2012 TENTANG HUKUM MENGONSUMSI BEKICOT (STUDI KASUS MASYARAKAT DUSUN SEI MERANTI KECAMATAN PUJUD KABUPATEN ROKAN HILIR.

A.    Perumusan Masalah
Untuk selanjutnya dalam penelitian ini, dapat dikemukakan beberapa rumusan masalah antara lain adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana hukum Mengonsumsi Bekicot Menurut Fatwa MUI No.25 Tahun 2012 dan alasannya?
2.      Bagaimana pandangan masyarakat Dusun Sei Meranti terhadap Hukum mengonsumsi Bekicot serta alasannya?

B.     Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui hukum mengonsumsi Bekicot Menurut Fatwa MUI beserta alasannya?
3.      Untuk mengetahui pandangan masyarakat Dusun Sei Meranti Kecamatan Pujud Kabupaten Rokan Hilir terhadap Hukum mengonsumsi Bekicot serta alasannya?

C.    Manfaat Penelitian
Sedangkan manfaat penulisan skripsi ini selanjutnya diharapkan untuk memberikan kontribusi bagi penulis sendiri maupun pembaca serta manfaatnya secara teoritis dan praktis. Manfaat  tersebut antara lain adalah sebagai berikut :
1.      Secara Teoritis
Penelitian dalam penulisan ini memberikan khazanah bagi peneliti dan peneliti akan memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu hukum islam, terutama yang berkaitan dengan hukum mengonsumsi Bekicot.
2.      Secara Praktis
a.       Untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat di Dusun Sei Meranti Desa Tanjung Medan terhadap permasalahan yang diteliti.
b.      Agar memberikan solusi pendapat kepada masyarakat di Dusun Sei Meranti Desa Tanjung Medan terhadap permasalahan yang diteliti.
c.       Agar dapat memberikan bahan referensi atau rujukan dalam permasalahan yang diteliti.


D.    Kerangka Pemikiran
Bagi umat islam mengonsumsi yang halal dan baik merupakan manivestasi dari ketaatan dan ketaqwaan kepada Allah. Hal ini terkait dengan perintah Allah kepada manusia, sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an surat al-Maidah ayat 88.
وكلوا مما رزقكم الله حللا طيبا واتقوا الله الذى أنتم به مؤمنون
Artinya: Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang halal dan baik dan bertaqwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya”.
Memakan yang halal merupakan perintah dari Allah yang harus dilaksanakan oleh setiap manusia yang beriman. Bahkan perintah ini disejajarkan dengan bertaqwa kepada Allah, sebagai sebuah perintah yang sangat tegas dan jelas. Perintah ini juga tercantum dalam ayat lain, seperti yang terdapat pada surat al-Baqarah ayat 168.
ياايها الناس كلوا مما فى الأرضى حللا طيبا ولا تتبعوا خطوات الشيطن إنه لكم عدومبين
Artinya: “Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Karena sesungguhnya, setan itu musuh yang nyata bagimu”.
Makna dari segala yang baik adalah:
Segala yang baik adalah lezat/enak, tidak membahayakan, bersih atau halal.[10]
Sedangkan makna segala yang buruk berarti sesuatu yang menjijikkan seperti barang-barang najis, kotoran atau hewan-hewan sejenis ulat, kumbang, jangkrik, tikus, tokek/cecak, kalajengking, ular dan sebagainya. sebagaimana pendapat Abu Hanifah dan Syafi'i dalam kitab Al-Mughni “Dan sesuatu yang membahayakan seperti racun, narkoba dengan aneka jenisnya, rokok dan sebagainya”.[11]
Mengonsumsi yang halal akan berbenturan dengan keinginan syetan yang menghendaki agar manusia terjerumus kepada yang haram. Oleh karena menghindari yang haram merupakan sebuah upaya yang harus mengalahkan godaan syetan tersebut, Mengonsumsi makanan halal dengan dilandasi iman dan taqwa karena semata-mata mengikuti perintah Allah merupakan ibadah yang mendatangkan pahala dan kebaikan dunia dan akhirat. Sebaliknya mengonsumsi yang haram, apalagi diikuti dengan sikap membangkang terhadap ketentuan Allah adalah perbuatan maksiat yang mendatangkan dosa dan keburukan. Sebenarnya yang diharamkan atau dilarang memakan (tidak halal) jumlahnya sedikit. Selebihnya, pada dasarnya apa yang ada dimuka bumi ini adalah halal, kecuali yang dilarang secara tegas dalam al-Qur’an dan Hadits.
Dalam hal makanan, ada yang berasal dari binatang dan ada pula yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Ada binatang darat dan ada pula binatang laut. Ada binatang suci yang boleh dimakan dan ada pula binatang najis dan keji yang terlarang memakannya. Demikian juga makanan yang berasal dari bahan-bahan tumbuhan.
Bekicot darat juga termasuk salah satu kategori binatang yang menurut MUI haram mengonsumsinya dikarenakan tergolong kepada salah satu jenis binatang hasyarat, sehingga hukum mengonsumsinya haram sama seperti hewan hasyarat lainnya. secara umum hasyarat adalah hewan-hewan bumi baik yang melata seperti tokek, kadal, cicak, ular, kalajengking, iguana dan selainnya, maupun yang terbang (serangga terbang) seperti capung, kumbang, laron, semut terbang, dan sebagainya. Atau hewan lain semisal tikus, jerboa dan landak.  
Mengenai haramnya Bekicot ini tercantum dalam fatwa MUI No.25 Tahun 2012. Keharamannya dapat tercantum dalam poin:
Menetapkan:
1.      Bekicot merupakan salah satu jenis hewan yang masuk kategori hasyarat.
2.      Hukum memakan hasyarat adalah haram menurut Jumhur Ulama (Hanafiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, Zhahiriyyah), sedangkan Imam Malik Menyatakan kehalalannya jika ada manfaat dan tidak membahayakan.
3.      Hukum memakan bekicot adalah haram, demikian juga membudidayakan dan memanfaatkannya untuk kepentingan konsumsi
Dengan demikian terdapat hal yang bertolak belakang antara praktek masyarakat Dusun Sei Meranti dengan konsep yang dinyatakan dalam Fatwa MUI No. 25 Tahun 2012.

E.     Hipotesis
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis mempunyai hipotesis bahwa praktek konsumsi bekicot yang dilakukan oleh masyarakat Dusun Sei Meranti kecamatan pujud kabupaten rokan hilir haram menurut fatwa MUI No.25 Tahun 2012. Dan penulis lebih cenderung kepada pendapat MUI yang mengharamkan bekicot untuk dikonsumsi dengan alasan bahwa bekicot termasuk salah satu kategori hewan hasyarat yang haram dikonsumsi.
F.     Metode Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan metode sebagai berikut:
1. Pendekatan Penelitian
          Dalam penelitian skripsi ini penulis menggunakan pendekatan kewahyuan (hukum islam), pendekatan empiris (realita masyarakat), Pendekatan Sosiologis (kehidupan masyarakat) dan peneliti langsung meneliti kelapangan dengan menggunakan metode Kualitatif.[12]
Dalam rangka pelaksanaan penelitian ini, penulis mengambil dan megumpulkan materi yang bersumber dari data primer dan data sekunder.
a.       Data Primer yaitu masyarakat Dusun Sei Meranti Kecamatan Pujud Kabupaten Rokan Hilir.
b.      Data Skunder yaitu Fatwa MUI No.25 Tahun 2012, kitab-kitab fiqih islam dan buku-buku yang berhubungan dengan penelitian seperti: Al-Muhalla, Al-Mudawwanah, Al-Majmu’, Departemen Agama RI dan Terjemahan.
2. Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data penulis menggunakan beberapa teknik yaitu:
a.       Angket adalah merupakan kegiatan mengumpulkan data yang dilakukan penulis untuk mendapatkan informasi dengan cara menyebarkan angket kepada masyarakat yang menjadi objek penelitian.
b.      Wawancara adalah merupakan kegiatan mengumpulkan data yang dilakukan penulis untuk mendapatkan informasi dengan cara bertanya langsung kepada objek penelitian dan melalui responden. Pada penelitian ini dilakukan wawancara dengan pihak-pihak terkait dengan objek penelitian.
c.       Observasi adalah memerhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul.
3. Metode Analisis Data
Dalam menganalisa data dan berfikir, penulis memakai metode induksi deduksi dan komparatif.
4. Metodologi Penulisan
Dalam penelitian ini penulis menggunakan buku pedoman penulisan skripsi dan karya ilmiah tahun 2014 Fakultas Syari’ah IAIN SU.


G.    Sistematika Pembahasan
Agar penulisan ini lebih sistematis, maka penulis membuat sistematika pembahasan sebagai berikut :
Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka pemikiran, hipotesis, metode penelitian, sistematika pembahasan.
Bab kedua  merupakan profil Dusun Sei Meranti Kecamatan Pujud Kabupaten Rokan Hilir yang terdiri dari keadaan geografis, keadaan demografis, agama pendidikan dan sosial budaya .
Bab ketiga merupakan kajian teoritis dari kriteria makanan yang halal dan haram dalam islam. Konsep islam tentang makanan halal dan haram, syarat-syarat dan kriteria makanan halal dalam islam, konsep makanan haram dalam islam, pengertian makanan haram, jenis-jenis makanan yang diharamkan.
Bab keempat merupakan temuan penelitian yang terdiri dari fatwa MUI terhadap hukum mengonsumsi bekicot serta alasannya, pemahaman masyarakat di Dusun Sei Meranti Kabupaten Rokan Hilir terhadap praktik mengonsumsi bekicot terhadap Fatwa MUI yang mengharamkan Bekicot untuk dikonsumsi, pendapat serta alasan masyarakat  di Dusun Sei Meranti Kabupaten Rokan Hilir terhadap praktik konsumsi Bekicot, dan analisa penulis.
            Bab kelima merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.

DAFTAR PUSTAKA

Abi Zakariya Muhidin Ibn Syarf an-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhazzab,
Jilid 9, Jeddah: Al-Irsyad, 1996.
Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm, Al-Muhalla bi al-Asar, Jilid
6, Beirut: Dar al Hikmah, 2003.
Al Baji, al Muntaqa Sarh Muwatha al Imam Maliki, Jilid 6, Beirut: Darul Kitab al
Arabi, 1332 H.
Alqur’an al-karim
Hasan. Sofyan. Sertifikasi Halal Dalam Hukum Positif, Regulasi dan
Implementasi di Indonesia. Yogyakarta : Aswaja Presindo. 2014
Ibnu Qudamah, al-Mughni, Jakarta: Pustaka Azzam, 2011.
Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, Jilid 9, Beirut : Dar al Hikmah, 2003.
Imam Malik bin Anas Al Ashbahi , Al-Mudawwanah Al-Kubro, Jilid 1, Beirut:
Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1994.
Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, Fathul Qodir, Jilid 2,
Beirut: Darul Ma'rifah, 2007.
Sugianto, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Grafindo, 2003.


[1]Ibid,  h. 88

[2] Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, Fathul Qodir, Jilid 2,(Beirut: Darul Ma'rifah, 2007), hal. 361.
[3] Imam Malik bin Anas Al Ashbahi , Al-Mudawwanah Al-Kubro,Jilid 1,( Beirut : Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1994), hal.542.
[4] Imam Abu Walid Sulaiman bin Khallaf bin Sa‟id bin Ayyub bin Waras al Baji, al-Muntaqa Sarh Muwatha, Jilid 3, (Beirut: Dar ul Kitab al Arabi, 1332 H), hal. 110.
[5] http://islamqa.info/ar/114855.
[6]Wawancara dengan Ibu Atik masyarakat Dusun Sei Meranti km.0 pada 17 Maret 2015.
[7] Fatwa MUI No.25 Tahun 2012
[8] Abi Zakariya Muhidin Ibn Syarf an-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhazzab, Jilid. 9,(Jeddah: Al-Irsyad, 1996), hal. 16.
[9] Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm , Al-Muhalla bi al-Asar, Jilid, 6, (Beirut: Dar al Hikmah, 2003), hal. 76-77.
[10] Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, Jilid 9, (Beirut : Dar al Hikmah, 2003), hal. 518.
[11]Ibnu Qudamah, al-Mughni, jilid.13, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2011), hal. 317. 
[12] Bambang sugianto, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Grafindo, 2003), hal. 231