Kamis, 10 Oktober 2024

Skripsi Bab I Program Studi Bimbingan Dan Konseling

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1 Latar Belakang

Kepercayaandiri merupakan salah satu aspek kepribadian individu yang dapat mempengaruhi kualitas hidupnya (Lauster 2006, hl. 4). Kepercayaan diri juga dapat diartikan sebagai keyakinan yang dimiliki individu terhadap kemampuan yang dimiliki dan tidak mudah oleh orang lain.(Wiranatha & Supriyadi 2015 ,hl. 108) menjelaskan bahwa kepercayaan diri adalahhal penting dalam pertumbuhan dan perkembangan pada masa remaja. Penampilan merupakan faktor pentingyang akan membentuk kepercayaan diri pada remaja. Setiap individu akan memiliki kepercayaan diriyangberbeda-beda. Ada individu yang memiliki kepercayaan diri penuh dan individu yang merasa kurang memiliki kepercayaan diri, tingkatan tersebut tergantung pada tanggapan orang lain mengenai kondisifisik, moral,dan sosialnya.

Kita sebagai makhluk sosial tentunya tidak akan lepas dari berhubungan dengan orang dilingkungan sekitar Salah satu factor yang dapat mempengaruhi individu diterima dilingkungan social nya yaitu kepercayaan diri, hal tersebut mendorong individu untuk berani berhubungan dengan orang lain (Santrock,2002, hl. 108). Individu yang kurang memiliki kepercayaan diri cenderung menganggap bahwa dirinya tidak berharga dan memandang diri nya rendah ketika menghadapi respon dari lingkungannya. Rema jayang memiliki sikap demikian akan merasa takut jika membuat kesalahan,takut diremehkan,dan takut mendapat kritikan dari orang di sekitarnya. Tetapi sebaliknya, remaja yang memiliki kepercayaan diri akan


lebih mudah bergaul dengan orang lain, dapat mengontrol perilaku, dan cenderung lebih mudah untuk menikmati hidup. (Lilishanty & Maryatmi 2019, hl. 9). Terdapat empat factor yang dapat mempengaruhi kepercayaan diri, yaitu pola asuh (pola asuh demokratis merupakan polaasuh yang paling memiliki pengaruh terhadap kepercayaan diri, hal ini dikarenakan pola asuh ini melatih untuk memiliki tanggung jawab dan mengatasi masalah secara mandiri), jenis kelamin (perempuan dianggap kurang memiliki kepercayaan diri karena memiliki sifat lemah dan harus dilindungi), pendidikan (individu yang berpendidikan rendahakan merasa tersudutkan dan tidak yakin atas kemampuan yang dimiliki, tetapi individu yang berpendidikan tinggi memiliki sifat yang lebih optimis dan yakin terhadap kemampuan yang dimiliki), dan penampilan fisik (individu yang berpenampilan menarik cenderung diperlakukan lebih baik, sehingga kepercayaan diri meningkat, salah satu hal yang berhubungan dengan penampilan fisik yaitu citra tubuh.

            Dalam penelitian yang di lakukan oleh (wiranatha dan supriyandi 2015, hl.109) menyatakan bahwa fisik dari seorang remaja merupakan salah satu unsur yang mempengaruhi kpercayaan dirinya. Penampilan fisik akan mendorong timbulnya penilaian individu tentang apa yang dia pikirkan dan rasakan tentang keadaan tubuhnya, serta tentang bagaimana orang lain menilai dirinya yang disebut citra tubuh. Remaja dengan citra tubuh yang positif akan lebih mudah berinteraksi dengan lingkungan dan memiliki pandangan yang baik terhadap diri mereka sendiri maupun orang lain.

Penelitian tentang citra tubuh ini juga di lakukan oleh (ifdil, 2017, hl 112) dengan judul “Hubungan Citra Tubuh Dengan Kepercayaan Diri Remaja Putri” dengan mengikut sertakan  77 remaja putri sebagai subjek penelitian. Hasil menunjukkan bahwa ada hubungan positif dan signifikan antara tubuh maka akan semakin rendah pula kepercayaan diri nya, begitu juga sebalinya, semakin rendah citra tubuh maka akan semakin rendah pula kepercayaan dirinya. Dalam penelitian  ini, Ifdil (2017,hl. 111) juga mengungkap bahwa sebuah upaya perlu di  lakukan untuk menciptakan dan membangun kepercayaan diri dan citra tubuh remaja putri melalui layanan bimbingan dan konseling. Hal tersebut sesuai dengan hasil studi pendahuluan terdapat permasalahan kepercayaan diri siswa kelas XI di        . Hal ini dibuktikan peneliti saat melaksanakan PPL di sekolah tersebut dengan menggunakan asessmen dari hasil analisis Alat Ungkap Masalah (AUM) dimana diperoleh hasil sebanyak 51% Rendah diri atau kurang percaya diri, 37% Badan terlalu kurus atau terlalu gemuk, 29% Badan terlalu pendek atau terlalu tinggi, 23% Secara jasmaniah kurang menarik, 17% Kurang terbuka terhadap orang lain. Hal ini juga di pengaruhi oleh penampilan dan citra tubuhnya.

Dengan  mewawancarai beberapa siswa kelas XI di         pada 25 Mei 2023 di mana di peroleh data bahwa kepercayaan diri mereka di pengaruhi oleh penampilan dan citra tubuhnya. Dari keterangan beberapa siswa tersebut, disimpulkan bahwa masalah yang mereka miliki adalah perasaan memiliki tubuh kurang bagus karena berat dan tinggi badan yang tidak sesuai dengan keinginannya, memiliki kulit kusam dan wajah berjerawat, dan penampilan yang kurang menarik. Perasaan semacam itu membuat mereka sering fokus pada penampilan orang lain dan membandingkan nya dengan diri mereka sendiri. Ini adalah faktor yang membuat mereka memiliki pandangan buruk tentang diri mereka sendiri.

Dilihat dari beberapa hal tersebut, terlihat siswa membutuhkan citra tubuh yang positif untuk mengembangkan rasa percaya diri mereka. Oleh karena itu diperlukan suatu strategi, salah satunya melalui layanan bimbingan konseling dengan metode bimbingan kelompok teknik self instruction.Bimbingan kelompok adalah suatu kegiatan yang di lakukan oleh beberapa orang dengan memanfaatkan dinamika kelompok, di mana semua anggota dalam kelompok tersebut dapat saling berinteraksi, memberikan pendapat serta masukan dan lain sebagainya (Prayitno, 2004, hl. 309). Sedangkan self instruction merupakan suatu teknik dalam pendekatan Cognitif Behafior Therapy (CBT) yang di kembangkan oleh (Donald Meinchenbeum) yang dianggap tepat untuk meningkatkan rasa percaya diri siswa, inti dari metode ini adalah untuk membangun kembali kerangka mental konseli dengan berpusat pada perubahan verbalisasi overt dan convert (Habiba, 2013, hl. 189).Melihat dari gambaran permasalahan dan fakta-fakta yang ditemukan di lapangan, maka peneliti merasa penting untuk melakukan penelitian mengenai “Pengaruh Layanan Bimbingan Kelompok Teknik Self Instruction Terhadap Kepercayaan Diri Siswa Kelas XI ”.


Label:

Skripsi Latar Belakang Masalah Pengembangan Modul Ajar Berbasis Contextual Teaching And Learning

 

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah

Salah satu  bahan ajar yang digunakan guru untuk mengajar adalah modul.modul pembelajaran adalah bahan ajar yang disusun secara sistematis dan menarik yang mencakup isi materi,metode dan evaluasi yang dapat digunakan secara mandiri untuk mencapai kompetensi yang diharapkan (Anwar,2010). Dengan adanya modul ini siswa akan memiliki sumber belajar yang dapat diimplementasikan secara mandiri,dan dapat aktif dalam pembelajaran yang di ikutinya. modul atau buku ialah salah satu sumber informasi yang dipakai siswa untuk mengembangkan ataupun menambah wawasan dan menjadi motivasi dalam kegiatan pembelajaran. Kegiatan belajar yang dilaksanakan disatuan Pendidikan melibatkan siswa dan guru,guru menyajikan materi Pelajaran untuk siswa sehingga mereka mendapatkan materi pembelajaran.pada penyampaian materi pembelajaran dibutuhkan media atau bahan ajar yang harus diselaraskan Bersama strategi belajar yang dilaksanakan guru kepada siswa. Media pembelajaran ialah elemen yang tidak bisa dipisahkan dari aktivitas belajar,dalam rangka mencapai tujuan Pendidikan dengan kualitas yang baik maka dibutuhkan media pembelajaran yang baik untuk mendukung berhasilnya proses Pendidikan (Arsyad,2011 hal : 3).

          Kurikulum Merdeka adalah kurikulum yang memiliki pembelajaran yang beragam,dimana kurikulum Merdeka memfokuskan pada konten-konten esensial agar peserta didik memiliki cukup waktu untuk mendalami konsep dan  menguatkan kompetensi.struktur dari kurikulum Merdeka terbagi menjadi tiga fase,yakni fase A untuk kelas I dan II, fase B untuk kelas III dan IV, dan fase C untuk kelas V dan VI,berdasarkan keputusan  tahun 2022,pada kurikulum Merdeka kriteria ketuntasan minimal (KKM)sudah tidak diberlakukan lagi dan diganti dengan capaian pembelajaran (CP).capaian pembelajaran adalah kompetensi minimum (pengetahuan,keterampilan,dan sikap) yang dirangkaikan sebagai satu kesatuan yang harus dicapai oleh siswa untuk setiap mata Pelajaran.capaian pembelajaran ini diketahui dengan cara mengidentifikasi ketercapaian tujuan belajar.guru diberikan keleluasaaan untuk menentukan kriteria ketercapaian pembelajaranyang sesuai dengan pembelajaran.

            Terdapat beberapa hal-hal esensial pada kurikulum Merdeka jenjang Sekolah Dasar (SD),salah satunya adalah penggabungan mata Pelajaran IPA dan IPS menjadi Ilmu Pengetahuan Alam dan Sosial (IPAS).penggabungan mata Pelajaran IPA dan IPS ini diharapkan dapat  memicu siswa untuk dapat mengelola lingkungan alam dan sosialnya dalam satu kesatuan.pembelajaran IPAS ini mulai diajarkan pada fase B.penerapan mata Pelajaran IPAS ini sendiri memiliki beberapa tujuan,salah satunya adalah mengembangkan ketertarikan dan rasa ingin tahu siswa,sehingga mereka terpicu untuk mengkaji fenomena yang ada disekitar mereka,memahami alam semesta dan kaitannya dengan kehidupan manusia serta mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep siswa dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari,dalam hal ini,seorang guru memiliki peran untuk menumbuhkan rasa keingin tahuan siswa terhadap setiap materi dalam muatan Pelajaran IPAS melalui modul ajar,guru sebagai fasilitator seidealnya harus sudah mampu mengembangkan modul ajar.Namun, pada kenyataannya masih banyak guru yang belum menguasainya,sehingga dalam melaksanakan proses pembelajaran masih banyak yang bersifat tradisional dan tidak dilaksanakan dengan contextual teaching and learning,sehingga dampak yang diperoleh antara lain siswa cenderung menjadi pendengar dan guru lebih dominan menguasai kelas.

          Untuk mengajar mata Pelajaran IPAS guru dapat menggunakan model pembelajaran yang aktif,menyenangkan dan berkaitan langsung dengan kehidupan sehari-hari siswa,seperti model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan model pembelajaran yang tepat untuk pembelajaran IPAS,hal ini dikarenakan pada penerapannya model pembelajaran Contextual Teaching and Learning ini dapat membantu siswa untuk mengaitkan materi pelajarannya dengan dunia nyata siswa atau lingkungan sekitarnya.

        Depdiknas (2002) menyatakan bahwa model pembelajaran Contextual Teaching and Learning atau yang sering disebut dengan pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru untuk mengaitkan materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong untuk dapat membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan mereka sehari-hari,dengan melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran kontekstual, yakni kontruktivisme (contructivisme),bertanya (questioning), menemukan (inquiry),Masyarakat belajar (learning community),pemodelan (modelling), refleksi (reflection) dan penilaian sebenarnya (authentic assessment) (perdana,2020)

      Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan oleh peneliti di ditemukan bahwa proses kegiatan belajar mengajar (KBM) yang dilakukan hanya menekankan pentrasnferan pengetahuan (memberi tahu), yang terlihat dari pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam kelas yang Sebagian besar masih menekankan pertanyaan apa (what),bukan mengapa (why) dan bagaimana (how) dan bergantung pada satu buku paket saja.padahal yang diharapkan,peserta didik tidak saja tahu apa (ranah kognitif),tetapi juga tahu mengapa(ranah afektif),dan tahu bagaimana (ranah psikomotor) dengan proses pembelajaran yang “memberdayakan”, dan berdasarkan hasil observasi peneliti modul ajar tersebut sudah baik namun cara mengajar guru dikelas IV tersebut masih monoton memakai 5 W+ 1H saja,maka peneliti akan mengembangkan suatu produk pengembangan modul ajar berbasis contextual teaching and learning agar modul tersebut dapat terealisasikan dengan konsep belajar yang sesuai dengan contextual teaching and learning

       Berdasarkan wawancara,guru mengakui bahwa salah satu Upaya membuat pembelajaran IPAS menjadi pengalaman yang berkesan adalah dengan memotivasi serta mengajak peserta didik untuk terlibat aktif dalam pembelajaran yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.sehingga dengan pemahaman yang benar akan dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik terhadap  manfaat IPAS dalam kegiatan sehari-hari.sehingga dengan pemahaman yang benar akan dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik yang sering kali belum mampu memenuhi kriteria ketercapaian tujuan pembelajaran (KKTP).Hasil ujian akhir semester gasal tahun 2023/2024 untuk kelas IV menunjukkan persentase peserta didik yang mampu mencapai KKTP hanya sebesar 45,9%.oleh karena itu,pelaksanaan pembelajaran IPAS menggunakan pendekatan kontekstual menjadi penting karena berbagai fenomena dalam kehidupan sehari-hari sangat berkaitan dengan IPAS.

       Berangkat dari data tersebut dan beberapa penjelasan yang telah diuraikan diatas maka peneliti perlu untuk melakukan penelitian tentang

 

Label: