Jumat, 07 Juli 2017

hukum ekonomi syariah



1.0. PEMBAHASAN.
1.1 (a) Maksud jual beli:
            Jual beli dari segi bahasa ialah menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain dan dari segi syarak (istilah) ialah menukar harta dengan harta  mengikut cara-cara yang tertentu
Maksud jual beli menikut pandangan ulama.
1. jual beli menurut ulama Hanafiyah ialah pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus ( yang dibolehkan)
2. Menurut nawawi dalam al-majmu’ jual beli ialah pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan.
3. Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab Al,Mugni jual beli ialah pertukaran harta dengan harta untuk saling menjadikan milik.
      (b)Hukum Jual Beli Serta Dalil.
            Asal  jual beli itu ialah semuanya harus, sekiranya redha meredhai oleh kedua belah pihak  (pembeli dan penjual),kecuali pada perkara-perkara yang dilarang oleh Rasullah S.A.W. Antara dalil yang membolehkan jual beli ialah :
Dalil Al-quran :
وَأَحَلَّ اُللّهُ اُلْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَوأ......
Artinya : Allah menghalalkan Jual Beli dan mengharamkan riba’.
(QS. Al-Baqarah : 275)
As-sunnah :
سُءِلَ  النَّبِيُ  ص.م : اَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَب ؟ فَقَلَ : عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ.
(روه البزار وصحه الحاكم عن رفاعة ابن الرافع)
Artinya : Nabi SAW, Ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik. Beliau Menjawab, ‘seseorang berkerja dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur.(HD.Baihaqi dan Ibn Majjah)
1.2 Rukun dan  Syarat  Jual Beli.
(a) Rukun-rukun jual beli
             Dalam  menetapkan rukun  jual beli , di antara para ulama terjadi perbedaan pendapat. Menurut ulama hanafiyah ,rukun jual beli  adalah  ijab dan qabul yang menunjukkan pertukaran barang secara rida, baik dengan ucapan maupun perbuatan.
            Adapun rukun jual beli menurut jumhur ulama ada empat iatu :
            (a)Bai’(penjual)
            (b)Mustari(pembeli)
            (c)shighat(ijab dan qabul)
            (d)Ma’qud’alaih(bende atau barang)
(b) Syarat-syarat jual beli.
            Dalam  jual beli  terdapat empat macam syarat, yaitu syarat terjadinya akad (in’iqad),syarat sah nya akad, syarat  terlaksananya akad (nafadz),dan syarat lujum.
            Secara umum tujuan adanya semua syarat tersebut antara lain untuk menghindari pertentangan diantara manusia, menjaga kemaslahatan orang yang sedang akad, menghindari jual beli gharar (terdapat unsur penipuan) dan lain-lain.
            Jika jual beli tidal memenuhi syarat terjadinya akad, akad tersebut batal. Jika tidak memenuhi syarat sah, menurut ulama hanafiyah, akad yang cenderung boleh , bahkan menurut ulama, malikiyah, cenderung kepada kebolehan. Jika tidak memenuhi syarat lujum, akad tersebut mukkhayir(pilih-pilih), baik khiyar untuk menetapkan maupun membatalkan.[6]
            Di anatar ulama fiqih berbeda pendapat dalam menetapkan pensyaratan jual-beli . dibawah ini akan dibahas sekilas pendapat   mazhab tentang pensyaratan jual beli tersebut iaitu ulama mazhab hanafi :
            1. menurut pendapat ulama hanafiyah
               Pensyaratan yang ditetapkan oleh ulama hanabila berkaitan dengan syarat jual beli adalah:
            a. Syarat Terjadinya Akad (In,iqad)
                adalah syarat-syarat yang telah ditetapkan syara’. Jika persyaratan ini tidak terpenuhi. Jual beli batal. Tentang syarat ini, ulama Hanafiyah menetapkan empat syarat. Yaitu berikut ini.
1. Syarat Aqid (orang yang akad)
·         Berakal dan mumayiz.
Ulama hanafiyah tidak mensyaratkan harus baligh. Tasharruf yang boleh dilakukan oleh anak mumayiz dan berakal secara umum terbahagi kepada tiga.
  1. Tasharruf yang bermanfaat secara murni, seperti hitbah.
  2. Tasharruf yang tidak bermanfaat secara murni,seperti tidak sah talak oleh anak kecil.
  3. Tasharruf yang berada diantara kemanfaatan dan kemadaratn, yaitu aktivitas yang boelh dilakukan , tetapi atas seizin wali.  
·         Aqid harus berbilang, sehingga tidak sah lah akad dilakukan seorang diri. Minimal dilakukan dua orang, yaitu pihak yang menjual dan membeli.
2.Syarat dalam Akad.
            Syarat ini hanya satu, yaitu harus sesuai antara ijab dan qabul. Namun demikian, dalam ijab dan qabul terdapat tiga syarat berikut ini.
·         Ahli akad
Menurut ulama hanafiyah, seorang anak yang berakal dan mumayiz ( berumur tujuh tahun,tetapi belum baligh) dpat menjadi ahli akad. Ulama malikiyah dan hanabilah berpendapat bahwa akad  anak mumayiz bergantung pada izin walinya. Adapun menurut ulama syafi’iyah, anak mumayiz yang belum baligh [7]tidak dibolehkan melakukan akad sebab ia belum dapat menjaga agama dan hartanya(masih bodoh)
·         Qabul harus sesuai dengan ijab
·         Ijab dan qabul harus bersatu: yakni berhubungan antara ijab dan qabul walaupu tempatnya tidak bersatu.
3.Tempat Akad.
            Harus bersatu atau berhubungan antara ijab dan qabul.
4. Ma’qud ‘alaih (objek Akad) : ia mempunyai empat syarat yaitu:
·         Ma’qud alaih harus ada, tidak boleh akad atas barang-barang yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada, seperti jual beli buah yang belum tampak, atau jual beli anak haiwan yang masih dalam kandungan.
·         Harta harus kuat, tetap dan bernilai yakni bende yang mungkin dimanfaatkan dan disimpan.
·         Bende tersebut milik sendiri
Dapat diserahkan
(b) Syarat perlaksanaan Akad (Nafadz)
            1. benda dimiliki aqid atau berkuasa untuk akad
            2. pada benda tidak terdapat milik orang lain.
                        Oleh kerana itu, tidak boleh menjual barang sewaan atau barang gadai, sebab barang tersebut bukan milikinya sendiri, kecuali dizinkan  oleh pemilik sebenarnya, yakni jual beli yang ditangguhkan (mauquf).
            Berdasarkan nafadz dan waqaf  ( penangguhan), jual beli terbagi dua :
·         Jual beli nafidz
Jual beli yang dilakukan oleh orang yang telah memenuhi syarat dan rukun-rukun jual beli sehingga jual beli tersebut dikategorikan sah.
·         Jual beli mauquf
Jual beli yang dilakukan oleh orang yang tidak memenuhi syarat nafdz. Yakni bukan miliknya dan tidak berkuas untuk menggunakan akad, seperti jual beli fudhul ( jual beli bukan milik orang lain tanpa izin) namun demikian jika pemiliknya mengizinkan ia dianggap sah dan kalau pemiliknya tidak mengizinkan maka jual beli dianggap batal.
(c) Syarat Sah Akad: syarat terbahagi atas dua bahagian, yaitu umum dan khusus :
            1. syarat umum : adalah syarat-syarat yang berhubungan dengan semua bentuk jual beli yang telah ditetapkan syara’. Di antaranya adalah syarat-syarat yang telah disebutkan diatas. Juga harus terhindar kecacatan jual beli, yaitu ketidakjelasan, keterpaksaan dan pensyaratan yang merusak lainya.
            2. syarat khusus : adalah syarat-syarat yang hanya ada pada barang-barang tertentu. Jual beli ini harus memenuhi pensyaratan berikut :
·         Barang yang diperjualkanbelikan  mestilah dapat dipegang , yaitu pada jual beli bende yang harus dipegang sebab apabila dilepaskan akan rusak atau hilang.
·         Harga asal harus diketahui, yaitu pada jual beli amanat.
·         Serah terima benda dilakukan sebelum berpisah yaitu pada jual beli yang bendenya ada ditempat.
·         Terpenuhi syarat penerimaan
·         Harus seimbang dalam ukuran timbangan yaitu dalam jual beli yang memakai ukuran atau timbangan
·         Barang yang diperjualkanbelikan sudah menjadi tanggung jawabnya. Oleh kerana itu , tidak boleh menjual barang yang masih ditangan penjual.
(d) Syarat Lujum
            Syarat ini hanya ada satu, yaitu akad jual beli harus terlepas atau terbebas dari khiyar ( pilihan ) yang berkaitan dengan kedua pihak yang akad dan akan menyebabkan batalnya akad.[8]
1.3.  Bai’ yang Berkaitan dengan Harga dan Barang setelah Akad  Bai’.
            Penjual mempunyai hak untuk  ber tasharuf terhadap harga barang yang dijual sebelum menyerahkan barang tersebut. Jika barang yang dijual itu sebuah barang yang tidak bergerak . pembeli dapat langsung menjual barang yang tidak bergerak itu kepada pihak lain sebelum penyerahan barang tersebut . namun , hal itu tidak berlaku bagi barang yang bergerak. Penambahan dan pengurangan harga, serta jumlah barang yang dijual setelah akad, dapat diselesaikan sesuai dengan kesepekatan para pihak[9].
1.4. Bai’ kesepekatan penjual dan pembeli:
            Berikut ini ada beberpa ketentuan kesepakatan antara penjual dan pembeli :
1. penjual dan pembeli wajib menyepakati nilai objek jual beli yang diwujudkan dalam harga.
2. penjual wajib menyerahkan objek jual beli sesuai dengan harga yang disepakati.
3. pembeli wajib menyerahkan uang atau benda yang setara nilainya dengan objek jual beli.
4. jual beli terjadi dan mengikat ketika objek jual beli diterima pembeli, sekalipun tidak dinyatakan secara langsung.[10]
5. penjual boleh menawarkan penjualan barang dengan harga borongan, dan persetujuan pembeli atas tawaran itu mengharuskanya untuk membeli  untuk membeli  keseluruhan barang yang telah disepakati.
6. penjual di bolehkan menawarkan beberapa jenis barang dagangan secara terpisah dengan harga yang berbeda.
1.4. Bai’ dengan syarat khusus.
Bai’ ini adalah syarat khusus yang dikaitkan dengan akad jual beli dipandang sah dan mengikat jika menguntungkan pihak-pihak. Apabila jual beli bersyarat hanya menguntungkan satu pihak sahaja sahaja maka jual beli itu sah tapi syaratnya terbatal.[11]
1.5 Bai’ yang Dilakukan oleh Orang yang Sedang Menderita Sakit Keras.
            Berikut ini adalah ketentuan mengenal Bai’ yang dilakukan oleh orang yang sedang menderita sakit yaitu :
1.jika orang yang sedang menderita sakit keras menjual suatu barang kepada salah seorang ahli waris nya, keabsahan jual beli itu bergantung pada izin ahli warinya yang lain.
2. jika ahli waris memberi izin setelah orang yang sakit keras itu meninggal , penjualan itu dapat dilaksanakan dan sah.
3. jika seseorang yang sedang menderita sakit keras menjual suatu barang kepada pihak lain yang tidak termasuk ahli warisnya dengan harga yang yang sesuai dengan nilai barang tersebut ,jual beli itu sah.
4. jika barang yang dijual lebih dari sepertiga hartanya ,ahli waris dapat membatalkan penjualan tersebut.
5. jika jumlah kekayaan seseorang yang sakit kurang dari jumlah utangnya , dan menjual seluruh kekayaan dengan harga yang lebih rendah , kemudian orang itu meninggal , para pemberi pinjaman dapat meminta untuk menyesuaikan harga jual beli barang tersebut sesuai dengan harga yang sebenarnya .
6. jika pembeli tidak mau melakukan penesuaian harga barang , para pembeli pinjaman dapat mengajukan pemohonan ke pengadilan untuk membatalkan penjualan tersebut.[12]
1.6. Berakhrnya Akad  Bai’
            Ketentuan berakhirnya akad  bai’adalah sebagai berikut:
1.penjual dan pembeli dapat mengakhiri akad jual beli.
2. mengakhiri akad jual beli  dilaksanakan dengan kesepakatan para pihak.
3.selesainya akad jual beli harus dilakukan dalam satu rangkaian kegitan forum.
1.7.  Serah Terima Barang
            Berikut ini adalah ketentuan mengenai serah terima barang :
1. setelah akad dipersutujui, pembeli wajib menyerahkan uang seharga barang kepada penjual , dan  penjual terikat untuk menyerahkan barang yang dijualnya kepada pembeli.
2. pembeli berhak atas berharga atas barang.
3. penjual berhak atas uang
4. tata cara penyerahan bergantung pada sifat , jenis dan  kondisi barang yang dijual tersebut
5. tatacara penyerahan wajib memperhatikan kebiasaan dan kepatutan dalam masyrakat.
6. jika pembeli berada pada pelataran atau di tanah yang akan dijual , atau jika pembeli dari jarak dekat bias melihat sebidang tanah atau tempat tersebut , setiap izin yang diberikan oleh penjual untuk menerima penyerahan barang dianggap sebagai penyerahan barang tersebut.
7. dalam pembayaran tunai , penjual berhak menahan barang sampai pembeli membayar keseleruhan harga yang disepakati.[13]
1.8 Bai’ Salam.
            Bai’ salam atau disingkatkan salam adalah juga sesuatu jasa pembiyaan yang didasarkan kepada transaksi jual beli barang. Bai’ salam merupakan bentuk kuno dari forward contract dimana harga barang dibayar di muka ketika kontrak dibuat sedangkan penyerahan barang dilakukan kemudian. Untuk istilah bai’salam digunakan salaf yang dipakai secara saling menggantikan. Selain salaf digunakan juga istilah taslif yang secara harfiah keduanya bereti pembayaran di muka.[14]
            Dengan itu salam dari segi istilah syarak pula ialah menjual sesuatu barang yang tidak dilihat dengan ditentukan sifat-sifatnya dan barang itu adalah tanggungjawab penjual.
            Rukun jual beli salam: rukun jual beli salam disisi hanafiyah ialah  ijab dan qabul, ijab qabul disis hanafiyah malikiyah dan hanbali boleh dilakukan dengan lafaz salam,salaf , bai’. Sementara Syafi’e tidak sah akad jual salam itu kecuali dengan lafaz salam dan salaf sahaja.
            Dengan itu rukun jual beli salam mengikut jumhur ulama adalah seperti berikut:
                        1.penjual 2.pembeli salam 3.barang jualan salam 4.wang atau harga 5.sighat (ijab dan qabul)[15]


1.9 Bai’ Istisna’
            Istishna’ merupakan jasa pembiyaan dengan mengambil bentuk transaksi jual –beli. Istishna’ berarti minta dibuatkan /dipesan. Akad yang mengandung tuntutan agar tukang/ahli membuatkan suatu pesanan dengan ciri-ciri khusus. Dengan itu istishna’adalah jual beli antara pemesan dan dan penerima pesanan, dimana spesifikasi dan harga barang disepakati di awal sedangkan pembayaran dilakukan seacara bertahap sesuai kesepakatan.[16]
            Fatwa tentang jual beli Istishna’: Fatwa DSN-MUI No.06/DSN-MUI/VI/2000 tentang jual beli istishna’ memberkan ketentuan sebagai berikut:
            Pertama : ketentuan tentang pembayaran
            1.Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang ,barang atau manfaat.
            2.Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan .
            3.pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan utang.
            Kedua : Ketentuan Tentang Barang
            1.Harus jelas ciri-ciri nya dan dapat diakui sebagai utang.
            2.Harus dapat dijelaskan spesifiknya
            3. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
            4.Penyerahan dilakukan kemudian
            5.Pembeli tidak boleh menjual barang tersebut sebelum menerimanya.
            6.Tidak boleh menukar barang , kecuali dengan barang sejenis sesuai dengan kesepakatan.
            7.Dalam hal ini terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan  pemesan boleh memiliki hak khiyar (hak memlih) untuk melanjutkan atau membatlkan akad[17]
            Ketiga: Ketentuan Lain
            1.Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan hukumya mengikat
            2.semua ketentuan dalam jual beli salam yang tidak disebutkan di atas berlaku pula pada jual beli istishna’.
            3. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibanynya atau jika terjadinya perselisihan dianatar kedua belah pihak , maka penyelasaianya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
1.10 Bai’ Wafa’
            Ialah orang yang butuh, menjual sesuatu barang dengan janji, bila pembayaran nya telah dipenuhi (dibayar kembali), barang dikembalikan lagi. Hukum jual beli semacam gadai, menurut pendapat yang paling rajah.[18]
1.11 Bai’ Murabahah
            Murabahah merupakan produk finansial yang berbasis bai’ atau jual beli . murabahah adalah produk pembiyaan yang paling banyak digunakan oleh perbankan syariah di dalam kegiatan usaha. Menurut pengetahuan Ashraf Usmani, pada dewasa ini murabhah menduduki porsi 66% dari semua transaksi investasi bank-bank syariah (Islamic bank) di dunia .
            Merubahah juga merupakan produk pembiyaan perbankan syariah yang dilakukan dengan mengambil bentuk transaksi jual beli (bai’ atau sale). Namun murabahah bukan transaksi jual beli biasa anatara satu pembeli dan satu penjual saja sebagaimana yang kita kenal di dalam dunia bisnis  perdagangan di luar perbankan syariah. Pada perjanjian murabahah , bank membiyai pembelian barang atau asset yang dibutuhkan oleh nasabnya dengan membeli terlebih dahulu barang itu dari pemasuk barang dan setelah kepemilikan barang itu secara yuridis berada ditangan bank, kemudian bank tersebut menjualnya kepada nasabah dengan menambahkan suatu margin atau keuntungan di mana nasabah harus diberitahu oleh bank beberapa harga beli bank dari pemasok dan menyepakati berapa besar keuntungan yang ditambahkan ke atas harga harga beli bank tersebut. Dengan kata lain penjualan barang oleh bank kepada pihak nasabah dilakukan atas dasar cost plus profit.[19]
1.12.Jual beli yang Dilarang di Dalam Islam
            1. Membeli barang dengan harga yang lebih mahal dengan harga pasaran biasa sedangkan dia bukanlah benar-benar mahukan barang itu. Hanya bertujuan supaya orang lain tidak dapt membeli barang itu. Sebab pengaharamn ini adalah menyakitkanorang lain.
            2. Menyekat Pedagang-pedagang  dari desa dipertengahan jalan: yaitu pembeli menyekat pedagang yang datang dari desa dipertengahn jalan sebelum mereka sampai ke kota dan tidakn tahu harga dipasar. Lalu dibeli barang-barang itu dengan harga yang murah.lalu perbuatan seperti ini menyebabkan kerugian terhadap pendagang-pendagang yang datang dari desa.
            3. Membeli barang keperluan untuk disorok: yaitu membeli barang keperluan ramai untuk disorok sedangkan masyarakat memrlukanya. Dilakukan begitu untuk dijual dengan harga yang lebih tinggi d an mendapat keuntungan dengan berlipat kali ganda.[20]
1.13. Aplikasi jual beli di lembaga  keuangan Islam.
            Antara salah satu sistem jual beli yang digunakan dalam lembaga keuangan islam adalah sistem mudhrabah yaitu sistime ini adalah satu perjanjian yang dilakukan antara pemodal (bank) dan pengusaha dimana pemodal bersetuju membiayai projek yang sedang atau akan diusahakan oleh pengusaha  secara berkongsian untung mengikut nisbah pembahagian yang terlebih dahulu dipersetujui bersama. Konsep ini dikenali dalam penulis barat sebagai (profit and loss sharing-PLS) dalam kontek operasi bank. Dan ianya bermaksud pembiyaan sepenuhnya tanpa campur tangan pemodal dalam pengurusan perniagaan.[21]

2.0 KESIMPULAN
Bai’ atau pun jual beli bermaksud suatu transaksi atau pun suatu penukaran berdasarkan cara-cara tertentu yang telah ditetapkan oleh hukum syara’. Jual beli ini juga sangat penting di dalam kehidupan seharian kerana ianya sering dipakai atau sering diaplikasikan kepada penjual pembeli maupun bank yang berdasarkan konsep kuangan islam. Jual beli di dalam rangka syariah ini membentuk satu ekonomi yang adil tanpa adanya riba’atau ketidakseimbangan di dalam perniagaan atau suatu transaksi semasa jual beli berlaku.


[1] Abdul Razak Muhammad,FEKAH,Pustaka Hj Abd Majid(Kuala Lumpur,1997),h3
[2] Rachmat Syafei’,MA,Fikih Muamalah,Pustaka Setia Bandung(Bandung,2001),h73
[3] Ibid,h74
[4] Ibid,75
[5] H Sulaiman Rasjid,Fiqh Islam,Sinar Baru,(jakarta:1992,)h263
[6] Rachmat Syafei’,MA,Fikih Muamalah,Pustaka Setia Bandung(Bandung:2 001),h76
[7] Rachmat Syafei’,MA,Fikih Muamalah,Pustaka Setia Bandung(Bandung,2001),h77
[8] Rachmat Syafei’,MA,Fikih Muamalah,Pustaka Setia Bandung(Bandung,2001),h80
[9] Ahmad Ifham Sholihin,Buku Pintar Ekonomi Syariah,Granmedia Pustaka Utama(Jakarta :2010)h137
[10] Ibid,137
[11] Ibid,136
[12] Ahmad Ifham Sholihin,Buku Pintar Ekonomi Syariah,Granmedia Pustaka Utama(Jakarta :2010)h136
[13] Ahmad Ifham Sholihin,Buku Pintar Ekonomi Syariah,Granmedia Pustaka Utama(Jakarta :2010)h138
[14] Sutan Remy Sjahdeini,Perbankan Syariah,Kencana Prenada Media Group( Jakarta :2014),h251
[15] Abdul Razak Muhammad,FEKAH,Pustaka Hj Abd Majid(Kuala Lumpur,1997),h44
[16] Sutan Remy Sjahdeini,Perbankan Syariah,Kencana Prenada Media Group( Jakarta :2014),h257
[17] Ibid,258
[18] Sayyid Sabiq,Fikih Sunnah,Pt.Al Ma’arif (Bandung:1988),h85
[19] Sutan Remy Sjahdeini,Perbankan Syariah,Kencana Prenada Media Group( Jakarta :2014),h190
[20] Abdul Razak Muhammad,FEKAH,Pustaka Hj Abd Majid(Kuala Lumpur,1997),h14
[21] Ibid,84

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda