Hadits Rasulullah Dalam Kehidupan Sosial
BAB I
PENDAHULUAN
Rasulullah SAW diutus
oleh Allah SWT sebagai syahidan, mubasysyiran, dan nadziron[1]bagi segenap manusia. Ajaran Islam ad-Din al-Haq yang
dibawanya kesemua dasarnya adalah wahyu Allah SWT dalam Al-Qur’an . Sebagai
seorang uswat al-Hasanah beliau SAW adalah penyampai, penafsir, dan penjelas
firman-firman Allah dalam Al-Qur’an lewat qoul beliau, fi’liyah beliau, dan
taqrir beliau SAW.
Islam adalah Rahmat li al-‘Alamin, di dalam
ajaran-ajarannya terkandung nilai-nilai cinta kasih yang telah nyata
dicontohkan oleh baginda Muhammad SAW lewat akhlak mulia beliau. Berikut
ini adalah sedikit pembahasan berkaitan dengan realisasi iman dalam kehidupan
sosial berdasarkan uswah Rasulullah SAW dalam sunah beliau SAW.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Cinta sesama muslim adalah sebagian dari kesempurnaan Iman
Cinta adalah sesuatu yang
niscaya ada dalam peri kehidupan makhluk berakal seperti manusia baik
berbangsa, bernegara, maupun dalam kehidupan beragama. Rasulullah SAW sebagai
suri tauladan agung bagi manusia telah menjelaskan tentang betapa pentingnya
cinta dan kasih sayang terhadap sesama insan dalam hadits berikut ini:
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ
شُعْبَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَنْ حُسَيْنٍ الْمُعَلِّمِ قَالَ حَدَّثَنَا
قَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ
يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَِخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِه ِ)رواه
البخاري ومسلم وأحمد والنسائى([2]
.Artinya: “Musaddad telah menceritakan
kepada kami, ia berkata bahwa Yahya telah menceritakan kepada kami dari Syu’bah
dari Qatadah dari Anas r.a berkata bahwa Nabi saw. telah bersabda : “Tidaklah
termasuk beriman seseorang di antara kamu sehingga mencintai saudaranya
sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (H.R. Bukhari, Muslim,
Ahmad, dan Nasa’i)
Hadis di atas
menegaskan bahwa di antara ciri kesempurnaan iman seseorang adalah bahwa ia
mencintai sesamanya seperti mencintai dirinya sendiri. Kecintaan yang
dimaksudkan di sini termasuk di dalam rasa bahagia jika melihat sesamanya
muslim mendapatkan kebaikan yang ia senangi, dan tidak senang jika sesamanya
muslim mendapat kesulitan dan musibah yang ia sendiri membencinya. Ketiadaan
sifat seperti itu menurut hadis di atas menunjukkan kurang atau lemahnya
tingkat keimanan seseorang.
Hadis di atas tidaklah berarti bahwa seorang mu’min
yang tidak mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya berarti tidak beriman
sama sekali. Pernyataan ُ أَحَدُكُمْ يُؤْمِنَ لا pada hadis di
atas mengandung makna “tidak sempurna keimanan seseorang” jika tidak
mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Jadi, harf nafi لا
pada hadis tersebut bermakna ketidaksempurnaan buka ketidakberimanan.
Prinsip tersebut mengantar kita untuk ikut merasakan
apa yang dirasakan oleh saudara sesama muslim yang dalam hadis lain diibaratkan
sebagai satu bangunan.
B. Ciri-ciri Seorang Muslim yang
Tidak Mengganggu Orang Lain
Seorang muslim yang baik keislamannya adalah orang
yang tidak mengganggu orang lain. Artinya setiap gerak dan tingkah lakunya
adalah tidak menghalangi hak-hak orang lain, lebih-lebih sampai mendzaliminya.
Rasulullah menjelaskan dalam hadisnya sebagai berikut:
حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ قَالَ حَدَّثَنَا
شُعْبَةُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي السَّفَرِ وَإِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي
خَالِدٍ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُسْلِمُ
مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ
مَا نَهَى اللَّهُ عَنْه. ُ) رواه البخاري وأبوداودوالنسا ئى(
Artinya : “Adam bin Abi Isa telah mengabarkan kepada kami,
ia berkata bahwa Syu’bah telah mengabarkan kepada kami dari ‘Abdullah bin Abi
al-Saffar dan Isma’il bin Abi Khalid dari al-Sya’biy dari ‘Abdullah bin Umar
r.a. berkata bahwa Nabi SAW. telah bersabda: “Seorang muslim adalah orang
yang orang-orang Islam (yang lain) selamat dari lisan dan tangannya dan orang
yang berhijrah adalah orang yang hijrah dari apa yang telah dilarang Allah SWT.(H.R.
Bukhori , Muslim dan Ahmad)[3]
Pesan pertama yang tekandung dalam hadis di atas adalah memberi
motivasi agar umat Islam senantiasa berlaku baik terhadap sesamanya muslim dan
tidak menyakitinya, baik secara fisik maupun hati. Mengingat pentingnya
hubungan baik dengan sesama muslim, maka Rasulullah saw. menggambarkannya
sebagai ciri tingkat keislaman seseorang. Orang yang tidak memberikan rasa
tenang dan nyaman terhadap sesamanya muslim dikategorikan orang muslim sejati.
Inilah ciri-ciri muslim yang tidak mengganggu orang lain
Oleh sebab itu, seorang muslim yang sejati harus mampu
menjaga dirinya sehingga orang lain selamat dari kezaliman atau perbuatan jelek
tangan dan mulutnya. Dengan kata lain, ia harus berusaha agar saudaranya sesama
muslim tidak merasa disakiti oleh tangannya, baik fisik seperti dengan
memukulnya, merusak harta bendanya, dan lain-lain ataupun dengan lisannya.
Pesan Kedua ,secara tekstual hadis di atas menyebutkan bahwa hijrah
yang sesungguhnya adalah meninggalkan apa yang dimurkai Allah swt. Pengertian
itu pulalah yang terkandung dalam hijrah Rasulullah saw., yaitu meninggalkan
tanah tumpah darahnya karena mencari daerah aman yang dapat menjamin
terlaksananya ketaatan kepada Allah swt. Oleh sebab itu, orang yang
meninggalkan kampung halaman dan berpindah ke daerah yang tidak ada jaminan
bagi terlaksananya ketaatan kepada Allah tidak termasuk dalam pengertian hijrah
dalam pengertian syariat, meskipun secara bahasa mengandung pengertian
tersebut.
C. Realisasi Iman Dalam
Menghadapi Tamu, Tetangga, dan Bertutur Kata
Seperti telah disebutkan
oleh Sayyidina Ali bin Abi Talib K.w. : “Iman itu ucapan dengan lidah
dan kepercayaan yang benar dengan hati dan perbuatan dengan anggota”.
Konsekuensi bagi orang yang mengaku dirinya telah beriman Kepada Allah SWT,
adalah keharusan untuk membuktikan keimanannya kepada Allah SWT. Rasulullah
menyinggung hal ini dalam hadis berikut:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا أَبُو
الأَحْوَصِ عَنْ أَبِي حَصِينٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ )رواه
البخارى( [4]
Artinya: Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan
kepada kami, Abu al-Ahwash telah menceritakan kepada kami, dari Abu Hashin,
dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah r.a, ia berkata: Rasulullah saw. telah
bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah
memuliakan tamunya; barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir,
hendaklah berbuat baik kepada tetangganya, dan barangsiapa yang beriman kepada
Allah dan hari akhir, hendaklah berkata baik atau diam”(HR. Al-Bukhari
dan Muslim)
Hadis di atas
menyebutkan tiga di antara sekian banyak ciri dan sekaligus konsekuensi dari
pengakuan keimanan seseorang kepada Allah swt. dan hari akhirat. Ciri – cirri
orang beriman yang disebutkan dalam hadis di atas, adakalanya terkait dengan
hak-hak Allah swt., yaitu melaksanakan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan
larangan-larangan, seperti diam atau berkata baik, dan adakalanya terkait
dengan hak-hak hamba-Nya, seperti tidak menyakiti tetangga dan memuliakan tamu.
- Memuliakan Tamu
Yang dimaksud dengan
memuliakan tamu adalah memperbaiki pelayanan terhadap mereka sebaik mungkin.
Pelayanan yang baik tentu saja dilakukan berdasarkan kemampuan dan tidak
memaksakan di luar dari kemampuan. Dalam sejumlah hadis dijelaskan bahwa batas
kewajiban memuliakan tamu adalah tiga hari tiga malam. Pelayanan lebih dari
tiga hari tersebut termasuk sedekah. Hal itu didasarkan pada sabda Rasulullah
saw.:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ
عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِي شُرَيْحٍ الْعَدَوِيِّ أَنَّهُ قَالَ
سَمِعَتْ أُذُنَايَ وَأَبْصَرَتْ عَيْنَايَ حِينَ تَكَلَّمَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ جَائِزَتَهُ قَالُوا وَمَا جَائِزَتُهُ
يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ يَوْمُهُ وَلَيْلَتُهُ وَالضِّيَافَةُ ثَلاَثَةُ
أَيَّامٍ فَمَا كَانَ وَرَاءَ ذَلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ عَلَيْه ) متفق عـليه(
Artinya : “Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan
kepada kami, Laits telah menceritakan kepada kami, dari Sa’id bin Abi Sa’id,
dari Abi Syuraih al-’Adawiy, berkata, Saya telah mendengar Rasulullah saw.
bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, ia harus
menghormati tamunya dalam batas kewajibannya. Sahabat bertanya, “yang manakah
yang masuk batas kewajiban itu ya Rasulullah? Nabi menjawab, batas kewajiban
memuliakan tamu itu tiga hari tiga malam, sedangkan selebihnya adalah
shadaqah.”(Mutafaq Alaih)
Jika
ketentuan-ketentuan seperti disebutkan di atas dilaksanakan oleh segenap umat
Islam, maka dengan sendirinya terjalin keharmonisan di kalangan umat Islam.
Keharmonisan di antara umat Islam merupakan modal utama dalam menciptakan
masyarakat yang aman dan damai.
- Memuliakan Tetangga
Dalam hadis lain yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Nabi SAW. menggambarkan pentingnya memuliakan
tetangga sebagai berikut:
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي أُوَيْسٍ قَالَ
حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو بَكْرِ
بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ عَمْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا زَالَ يُوصِينِي
جِبْرِيلُ بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُه
Artinya :Isma’il bin Abi Uways
telah menceritakan kepada kami, ia berkata bahwa Malik telah menceritakan
kepadaku, dari Yahya bin Sa’id, ia berkata Abu Bakr bin Muhammad telah
mengabarkan kepadaku dari ‘Amrah, dari ‘A’isyah r.a. bahwa Nabi saw. bersabda: “Malaikat
Jibril senantiasa berwasiat kepadaku (untuk memuliakan) tetangga sehingga aku
menyangka bahwa Jibril akan memberi keada tetangga hak waris”.(H.R.Bukhori).
Diantara akhlak yang
terpenting kepada tetangga adalah :
ü Menyampaikan ucapan selamat
ketika tetangga sedang bergembira.
ü Menjenguknya tatkala sakit.
ü Bertakziyah ketika ada
keluarganya yang meninggal.
ü Menolongnya ketika memohon
pertolongan
3. Berbicara
Baik atau Diam
Orang yang menahan
banyak berbicara kecuali dalam hal-hal baik, lebih banyak terhindar dari dosa
dan kejelekan, daripada orang yang banyak berbicara tanpa membedakan hal yang
pantas dibicarakan dan yang tidak pantas dibicarakan. Sehubungan dengan hal ini
Rasulullah SAW. bersabda:
َوَعَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( اَلصَّمْتُ حِكْمَةٌ وَقَلِيلٌ فَاعِلُهُ )
أَخْرَجَهُاَلْبَيْهَقِيُّ فِي اَلشُّعَبِ بِسَنَدٍ ضَعِيفٍ وَصَحَّحَ أَنَّهُ
مَوْقُوفٌ مِنْ قَوْلِ لُقْمَانَ اَلْحَكِيمِ
Dari Anas Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: Diam itu bijaksana namun sedikit
orang yang melakukannya. Riwayat Baihaqi dalam kitab Syu’ab dengan sanad lemah
dan ia menilainya mauquf pada ucapan Luqman Hakim. [6].
Sesungguhnya ucapan seseorang
menentukan kebahagiaan dan kesengsaraan dirinya. Orang yang selalu menggunakan
lidahnya untuk berbicara baik, memerintah kepada kebaikan dan melarang kepada
kejelekan, membaca Al-Qur’an,membaca ilmu pengetahuan,dan lain-lain,ia akan
mendapatkan kebaikan dan dirinya pun terjaga dari kejelekan. Sebaliknya orang
yang apabila menggunakan lidahnya untuk berkata-kata jelek atau menyakiti orang
lain,ia akan mendapat dosa dan tidak mustahil orang lain pun akan berbuat
demikian kepadanya. Maka perintah Rasulullah untuk berkata baik atau diam
merupakan suatu pilihan yang akan mendatangkan kebaikan.
Bagaimana pun juga,lebih baik
diam dari pada berbicara yang tiada berguna dan tidak karuan[7]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Sebagai sosok
tauladan umatnya, Rasulullah SAW membuktikan kesempurnaan keimanannya dengan
selalu berbuat sesuai dengan apa yang Allah SWT wahyukan pada beliau SAW. Maka
tirulah beliau dengan menjalankan sunnahnya, agar sempurna keimanan kita. Dalam
sebuah hadist Rasulullah berdo’a : “Ya Allah sebagaimana Engkau telah
memperindah kejadianku maka perindahlah perangaiku.”[8]Wallahu a’lam.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda