Senin, 03 Juli 2017

JURNAL PPKN



BAB I
PENDAHULUAN


A.                      Latar Belakang Permasalahan

Wawasan nusantara harusnya dapat menjadi tolak ukur seberapa besar kita mencintai bangsa ini. Salah satu klasifiksinya adalah kesadaran akan hukum yang berlaku. Undang-Undang Dasar 1945 dalam Penjelasan Umumnya menyatakan secara tegas, bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan pada hukum (Rechtsstaat) dan tidak bedasarkan atas kekuasaan belaka (Machsstaat).
Pernyataan tersebut mengandung makna bahwa dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, hukum mendapatkan tempat yang paling tinggi serta terhormat. Dalam artian bahwa hukum adalah landasan normatif untuk urusan dan aktivitas kehidupan, baik dalam urusan kemasyarakatan, kebangsaan, dan juga urusan kenegaraan yang diakui secara formal maupun secara material, dengan demikian ada kewajiban bagi siapapun yang ada di kawasan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini untuk mematuhi hukum.
Dengan negara hukum, setiap warga negara tidak akan dibayangi rasa takut akan acaman bahaya kesewenang-wenangan penguasa yang hanya mengutamakan kekuasaan (mach), sepertihalnya terjadi pada zaman kaisar Nero dari Romawi Kuno yang mempertahankan kedaulatannya melalui metode menakut-nakuti (abshreckungsmethode) melalui pernyataannya: “Biarlah rakyat cinta atau tidak padaku, asal mereka takut saja padaku”. Konsep pemikiran penguasa yang berlandaskan “kekejaman” seperti ini pernah diterapkan oleh Fascist Jerman dan Jepang pada awalnya sebagai langkah efektif untuk menundukan musuh, tapi tidak membuahkan hasil yang baik di akhir kegiatannya. Yang pasti gerakan mereka telah meninggalkan sejarah hitam bagi kemanusiaan.
Dengan konsep negara hukum, maka mengikatnya aturan hukum terhadap segenap warga masyarakat tanpa terkecuali para penguasa di negeri ini adalah dalam rangka untuk tercapainya fungsi kontrol sosial dari hukum, dalam rangka mewujudkan ketertiban, keadilan, dan ketentraman masyarakat, serta dalam rangka fungsi hukum untuk perubahan kehidupan sosial agar lebih berkualitas, lebih maju dan sejahtera, melalui dinamika pembangunan yang terarah, komprehensif dan berkesinambungan. Kemanfaatan dari fungsi hukum ini tentunya harus dapat dirasakan oleh setiap warga masyarakat tanpa terkecualikan.

Dengan ditegaknya kaidah atau norma hukum yang selain dapat memberikan kenyamanan berupa perlindungan dan petunjuk bagi warga masyarakat, disisi lain hukumpun dapat juga berakibat penderitaan bagi yang terkena sanksi akibat dilanggarnya suatu aturan hukum. Sanksi hukum ini dapat berupa, sanksi perdata, sangksi administrasi, dan dapat berupa sanksi pidana, termasuk di dalamnya sanksi pidana mati dan penjara seumur hidup. Sanksi hukum adalah sanksi pundamental yang walaupun bentuk konkritnya dalam bentuk yang menyakitkan dan atau mematikan, harus ditegakan demi wibawa hukum dan kedaulatan negara. Sesuai ketentuan UUD 1945, bahwa setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan, karenanya terhadap siapapun yang melanggar hukum akan dikenakan sanksi sesuai aturan hukum yang berlaku. Masalahnya, bahwa dengan sanksi hukum yang demikian pundamental tersebut tentunya jangan sampai ada orang atau warga masyarakat yang terkena sanksi hukum tanpa sebelumnya mengetahui akan segala akibat dan risiko berupa sanksi dari melakukan suatu perbuatan pelanggaran hukum tersebut.

Suatu hal yang perlu dicermati, bahwa warga masyarakat sampai saat ini masih beraneka ragam dalam memberi arti dan mempersepsikan hukum, dan ada kecenderungan untuk tersesat kepada pemahaman yang sempit atau keliru tentang hukum. Dengan kekeliruan dalam pemahaman hukum dapat berpengaruh terhadap penghargaan dan kepatuhan terhadap hukum. Pemahaman seseorang tentang hukum sangat tergantung pada apa yang diketahui dari pengalaman yang dialaminya tentang hukum. Bagi mereka yang hanya mengenal hukum adalah berupa pemenjaraan, eksekusi mati atau keharusan patuh untuk pungutan retribusi dan pajak, dalam pemikiran mereka hukum adalah sesuatu yang menyakitkan dan membebani kehidupan. Padahal fungsi hukum yang sebetulnya sangat mengutamakan faktor kegunaan (uttility) untuk terwujudnya ketentraman masyarakat melalui fungsi kontrol sosial (social control) dan perbaikan kehidupan masyarakat melalui fungsi sebagai mesin alat pembaharuan (social engeenering).
Dalam fungsinya untuk kontrol sosial, hukum mempunyai visi dan misi untuk terwujudnya keadilan, keteraturan, dan ketentraman hidup masyarakat ; dan dalam fungsinya sebagai mesin pembaharuan, hukum mempunyai visi dan misi untuk mewujudkan perubahan kehidupan masyarakat untuk perbaikan dan kemajuan kehidupan masyarakat, yang apabila hukum berfungsi dengan baik sebagai keluaran (output) nya adalah terwujudnya ketentraman yang disertai dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya apabila hukum tidak berfungsi dengan baik maka sifat-sifat jelek manusia, seperti; naluri-naluri keserakahan, kejahatan akan mewarnai kehidupan masyarakat, dan berakibat kerusakan bagi kwalitas kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian tidak ada pilihan lain untuk terwujud dan terpeliharanya ketentraman masyarakat, serta peningkatan kesejahteraan masyaralkat, lebih jauh lagi untuk kebesaran bangsa dan negara, maka hukum harus difungsikan secara optimal.

Walaupun sesungguhnya apa yang menjadi visi dan misi hukum adalah suatu hal yang demikian baik dan ideal untuk kehidupan masyarakat tetapi nyatanya masalah efektifitas fungsi hukum bukan masalah yang mudah, dan nyatanya untuk mewujudkan fungsi hukum tersebut banyak dihadapkan pada berbagai kendala, yang untuk solusi mengatasinya diperlukan pembinaan hukum yang didukung oleh semangat dan tanggung jawab semua unsur yang terlibat di dalamnya.

Pembinaan hukum haruslah dilakukan dengan pendekatan sistemik, dimana unsur-unsur sistem hukum nasional selain diperhatikan unsur materi hukum, dan unsur kelembagaan (istitusi) hukumnya, juga termasuk di dalamnya unsur budaya hukumnya. Dengan menyadari arti pentingnya fungsi hukum bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, maka pemerintah menyelenggarakan pembinaan terhadap semua unsur-unsur sistem hukum tersebut. Untuk suksesnya kegiatan pembangunan hukum tersebut pemerintah telah mengeluarkan sejumlah dana, sarana prasarana serta telah melibatkan segenap unsur masyarakat, dari kalangan cendekiawan, perguruan tinggi dan juga tokoh-tokoh masyarakat. Sasaran pembinaan hukum selain materi hukum dan lembaga hukum, juga adalah pembinaan terhadap budaya hukum.
Kesadaran akan arti dan perlunya pembinaan budaya hukum tumbuh terutama dikernakan berkembangnya suatu pemikiran bahwa hukum baru akan efektif apabila masyarakat telah mengetahui, memahami dan melaksanakan aturan hukum tersebut secara konsisten.
Dalam rangka peningkatan kesadaran hukum masyarakat, kegiatan pembinaan budaya hukum diantaranya adalah dengan penyuluhan hukum, yang sasaran utamanya adalah peningkatan citra warga masyarakat terhadap hukum.

Secara formal keberhasilan kegiatan penyuluhan hukum dapat diidentifikasi dengan diterbitkannya berbagai peraturan hukum yang menjadi landasan operasional kegiatan penyuluhan hukum. Seperti dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor: M-01.PR.08.10 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor; m-01.PR.08.10 Tahun 2006 tentang Pola Penyuluhan Hukum. Diikuti pula dengan dikeluarkannya Peraturan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Dep. Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor: PHN.HN 03.05-73 Tahun 2008 tentang Pembentukan dan Pembinaan Keluarga Sadar Hukum dan Desa/ Kelurahan Sadar Hukum. Serta dicanangkannya tahun 2008 sebagai

“Tahun Peningkatan Budaya Hukum Dengan Hati Nurani” ini adalah indikator-indikator kekuatan (strong) kegiatan penyuluhan hukum.
Dengan landasan formal produk administratif tersebut, maka walaupun belum optimal setidaknya mulai terbukalah pasilitas dan kemudahan untuk diadakannya berbagai kegiartan penyuluhan hukum. Pembuatan program dan perencanakan serta pelaksanaan secara konkrit berbagai kegiatan penyuluhan hukum telah dilakukan oleh para pelaksana penyuluhan hukum..

B.                       Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang permasalahan seperti terurai di atas, yang menggambarkan bahwa betapa pentingnya arti kesadaran hukum masyarakat untuk berfungsinya hukum, dan melihat adanya segi manfaat untuk mengetahui tentang bagaimana dampak penyuluhan hukum terhadap tingkat kesadaran hukum masyarakat , maka pokok permasalahan penelitian ini adalah:
1.                        Bagaimana cara untuk menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat ?

2.                        Bagaimana kegiatan penyuluhan hukum dilaksanakan selama ini ?

3.                        Bagaimana dampak terhadap kesadaran hukum masyarakat dengan diadakannya kegiatan penyuluhan hukum?

C.                Tujuan Penulisan

Tujuan dan kegunaan penelitian ini mencakup banyak hal, meliputi fact finding, problem finding, problem solving. Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:
a.       Untuk mengetahui dan memahami berbagai konsep pemikiran untuk menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat.

b.      Untuk mengetahui dan memahami berbagai pola kegiatan penyuluhan hukum yang pernah dilakukan pemerintah dan swasta hingga saat ini.
Untuk mengetahui dampak suatu kegiatan penyuluhan hukum bagi peningkatan kesadaran hukum masyarakat.



BAB II
URAIAN MATERI


A.                Kesadaran Hukum Masyarakat

Sadar hukum, adalah suatu kondisi dimana masyarakat mau menghargai,

mau mematuhi hukum dengan kesadaran sendiri, tanpa adanya suatu paksaan dari siapapun. Secara sederhana kesadaran hukum masyarakat pada hakekatnya adalah merupakan basis aktifitas sosial agar produk hukum yang dihasilkan dapat benar-benar ditaati dalam kehidupan sehari-hari, dan dijadikan acuan perilaku oleh warga masyarakat. Mengacu pada Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor: M.01-PR.08.10 Tahun 2006 Tentang Pola Penyuluhan Hukum, kesadaran hukum masyarakat adalah nilai yang hidup dalam masyarakat adalah bentuk pemahaman dan ketaatan atau kepatuhan masyarakat terhadap norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kesadaran hukum masyarakat sangat ditentukan oleh sejauhmana orang memutuskan pilihannya dalam rangka olah pemikiran untuk berbuat atau berperilaku, mematuhi norma hukum ataukah tidak. Untuk sampai pada jawaban permasalahan ini perlu dipahami tentang bagaimana orang/ warga masyarakat mendefinisikan dan mempunyai pemahaman atau memberi makna terhadap hukum, serta bagaimana secara psikologis orang/ warga masyarakat memberikan penilaian terhadap hukum.

1.                  Berbagai Pengertian Tentang Hukum

Mengenai bagaimana orang atau warga masyarakat memberikan arti dan

makna terhadap hukum ada beraneka ragam:


Hukum adalah dokumen moral yang menyimpan pesan-pesan moral untuk kehidupan masyarakat.

Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa:


“hukum bukan hanya sebuah dokumen perundang-undangan yang terdiri dari ribuan pasal, melainkan sebuah dokumen moral, yang menyimpan pesan-pesan moral untuk kehidupan bermasyarakat. Maka menjadi tugas kita untuk memahaminya sebagai demikian”.




Masalahnya:

Sehubungan dengan pengertian hukum tersebut, disisi lain pakar Sosiologi Hukum tersebut melihat permasalahan, bahwa saat ini hukum modern lebih mengartikan hukum sebagai hukum tertulis dalam bentuk undang-undang, yang adalah produk legislatif (legislated law), dan setelah dicermatinya ternyata mengabaikan tujuan moral dan asas-asas hukum. Maka pemahaman hukum pun lebih ditujukan kepada pembacaan terhadap substansi peraturan hukum, atau perundang-undangan secara rasional. Yaitu sekitar hal-hal yang diatur, hal-hal yang dilarang dan dibolehkan, perihal bunyi undang-undang, dan prosedurnya. Dengan kultur berhukum modern seperti itu berarti telah mengabaikan pertanyaan filosofis tentang alasan dan tujuan moral undang-undang.

Selanjutnya Satipto Rahardjo juga menyesalkan bahwa undang-undang yang merupakan wujud hukum modern sekarang ini selain mengabaikan tujuan moral juga telah mengabaikan asas-asas hukum yang seharusnya merupakan sumber nilai dari norma-norma hukum. Padahal sesuai dengan sifat dan kedudukannya yang demikian penting dan mendasar dalam eksistensi negara hukum seharusnya asas-asas hukum harus diperhatikan. Kondisi mengabaikan tujuan moral dan asas-asas hukum ini juga termasuk dilingkungan akademis. Hal ini berarti bahwa untuk saat ini orang masih lebih suka membaca pasal-pasal daripada membaca, mengenali dan meresapi tujuan moral dan asas-asas hukum nya terlebih dahulu. Akibat proses pembentukan undang-undang oleh badan legislatifpun, tidak memperhatikan tujuan moral dan asas-asas hukum. Dengan demikian maka badan legislatif lebih pantas disebut sebagai produsen pasal-pasal dari pada tujuan moral dan asas-asas hukum.

Kurangnya perhatian terhadap tujuan moral dan asas hukum maka sering dijumpai adanya kesulitan pada waktu undang-undang dilaksanakan, dikarenakan tidak ada panduan dari tujuan moral pembentukan hukum dan asas-asas hukum. Karenanya untuk dipatuhinya hukum oleh masyarakat, perlu diperhatikan proses pembentukan hukumnya, yang diantaranya adalah bahwa aturan hukum yang dibutuhkan masyarakat adalah hukum yang memperhatikan tujuan moral dan asas-asas hukum. Dengan kata lain bahwa hanya peraturan perundang-undangan yang materinya memperhatikan tujuan moral dan asas-asas hukum lah yang berkenan bagi masyarakat.

b.      Hukum sebagai sub sistem dari sistem sosial

Seperti  sering  disampaikan  para  pakar  Sosiologi  Hukum,  seperti

Soeryono Soekanto, juga Satjipto Rahardjo bahwa hukum dalam masyarakat tidaklah berdiri sendiri karena masyarakat adalah suatu sistem yang di dalamnya selain hukum ada sub sistem lainnya, yaitu ekonomi, politik, sosial, budaya, yang kesemuanya itu saat ini masih mengandung masalah dan bergerak terus sesuai dengan perubahan sosial yang sangat cepat, dan memerlukan penanganan antisipasi hukum agar tidak menyimpang jauh dari idealisme hukum yaitu Pancasila dan U.U.D 1945. Sebagai akibat tidak terkendalinya perkembangan aspek sosial non hukum maka timbul berbagai pola pemikiran non hukum yang justru malah interpensi terhadap hukum, pemikiran tentang belum optimalnya fungsi hukum dalam integrasi sosial tersebut diantara gejalanya adalah berupa perintah tanpa aturan hukum (oder without law). Agar hukum dapat berfungsi secara baik perlu dioptimalkan kemampuan hukum, sehingga supremasi hukum berupa tujuan dan upaya agar hukum betul-betul punya kedudukan yang strategis dan punya kemampuan super untuk integrasi sosial betul-betul dapat diwujudkan.
Masalahnya:

Tak dapat dipungkiri bahwa ekonomi, politik, dan sosial masih ketinggalan dan perlu penanganan segera. Dengan keadaan seperti itu maka hukum modrn yang dijadikan acuan masalah-masalah hukum di masyarakat adalah hukum liberal. Sebagai risikonya terjadilah berbagai inkonsistensi norma atau kaidah hukum.

Apa yang diutarakan Fukuyama, tentang meluasnya penerapan sistem ekonomi kapitalisme dan sistem demokrasi liberal secara global, sehingga memunculkan keseragaman budaya (cultural homogenity), saat ini telah mulai menggejala di Indonesia.

Apabila hukum tidak berfungsi untuk mengendalikan perkembangan ekonomi politik sosial, dan budaya, lalu dengan apa lagi kehidupan sosial ini akan diarahkan dan dikendalikan. Nyatanya siapapun cenderung sangat mengharapkan bahwa hukum dapat berbungsi untuk terwujudnya, ketertiban, keadilan, dan ketentraman masyarakat. Karenanya hukum yang ideal adalah hukum yang punya kekuatan (power) betul-betul super, berwibawa dan punya kedudukan yang strategis untuk integrasi sosial menuju kehidupan yang tertib dan adil serta dinamis menuju kehidupan lebih baik dari sebelumnya.

c.  Makna Hukum Bagi Kalangan Hukum dan Orang Awam

Orang kalangan hukum sendiri umumnya berpikir tentang hukum selalu dalam konteks dan dengan latar belakang sejumlah perundang-undangan, prosedur, konsep, definisi, dan status tertentu. Mereka menghendaki atau mereka berpikir bahwa setiap orang harus berbuat sesuai dengan apa yang ada dalam pikirannya tersebut. Inilah konsep para profesional mengenai kesadaran hukum.

Makna hukum menurut orang awam berbeda dari apa yang ada dikepala para ahli hukum. Contoh kasus Millie Simpson: Hal tersebut tampak sekali pada waktu majikannya. Bob Richards meminta bantuan seorang advokat untuk mendampingi Millie. Sesudah mempelajari semua dokumen rekaman pengadilan, advokat David Stone segera melihat apa yang tidak dapat dilihat oleh Millie sebagai orang awam dalam hukum. Stone menyadari bahaya yang sama sekali tidak disadari oleh Millie. Bahaya ini datang karena hukum itu memiliki konsep, struktur, dan logika sendiri. Millie bertindak dengan kesadaran hukum, tetapi kesadaran hukum sebagaimana dibangunnya sendiri berdasarkan “pengetahuan, asumsi, dan kepercayaan” yang ia miliki. Millie tidak menyadari bahwa hakim itu adalah status, kewenangan dan di belakangnya adalah hukum yang mempunyai konsep, prosedur, dan logika sendiri. Oleh Elwick dan Silbey itu disebut sebagai

“ways in which people make sense of law and legal institutions” atau “the understandings which give meaning of people’s experiences and actions”.19

Menurut penelitian Elwick dan Silbey, dimata Millie, semua hal yang berlangsung di pengadilan dianggapnya sama dengan kejadian-kejadian biasa yang dialami sehari-hari, yaitu suatu ranah (space) dimana kejadian-kejadian itu menimpa orang. “For Millie things simply happened within terrain; they did not need to be explained”.

Belajar dari kasus Millie tersebut dapat diketahui bahwa ada jenis kesadaran hukum lain yang tidak ada hubungannya dengan tatanan hukum dan kesadaran hukum itulah yang menggerakan Millie. Ia datang ke pengadilan karena dipanggil. Ia melihat pengadilan sebagai ruang biasa, seperti halnya ke pasar dll. Millie melihat pengadilan dan proses peradilan dari kacamatanya sendiri. Para profesional hukum tidak mau dan merasa tidak perlu tahu tentang kenyataan tersebut. Tugas mereka hanya menjalankan hukum dan tidak ada kepedulian terhadap orang-orang seperti Millie.

Disisi lain, apa yang tidak penting bagi para profesional merupakan sesuatu hal yang penting bagi para ilmuan. Tugas para ilmuwan adalah tidak semata-mata untuk membuat putusan dan memaksakan (imposing) sesuatu, tetapi justeru lebih dipokuskan kepada pemotretan terhadap realitas objektif tentang hukum. Imu hukum bertujuan untuk mengerti hukum sebaik-baiknya, sedalam-dalamnya dan seluas mungkin.

Kasus Millie memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi ilmuan mengenai konpleksitas dari kesadaran hukum, dan sebagai ilmuan siapapun tentunya perlu mengerti hal-hal seperti itu. Dari perspektif keilmuan jelas bahwa tidak ada tempat bagi para profesional hukum untuk memonopoli dan memaksakan kebenaran, melainkan pula harus memperhatikan nilai-nilai kebenaran yang ada dalam benak orang awam.

Dengan demikian, kesadaran hukum masyarakat haruslah dipahami sebagai kesadaran hukum yang optimal, yaitu kesadaran hukum yang didasarkan pada suatu kondisi dimana masyarakat atau subjek hukum mengerti, menghayati, dan menghargai hukum, dimana segenap orang/ warga masyarakat memberikan makna yang berbeda-beda tentang hukum sesuai karakteristik masing-masing lapisan masyarakat.

2.                  Kesadaran Hukum Sebagai Wahana Psikologi Hukum

Kesadaran hukum masyarakat adalah perihal ilmu hukum keperilakuan

(behavioral jurisprudence) indipidu, maka termasuk wahana psikologis hukum. Pola pemikiran yang menentukan bahwa masalah-masalah yang menurut hukum doktrinal tidak perlu dipermasalahkan, sesungguhnya secara ontologis tidak demikian. Karenanya komunitas hukum yang secara tidak sadar memonopoli kebenaran dengan alasan karena hukum merupakan institusi publik yang memiliki kewenangan mengatur, maka fungsi itu dilaksanakannya menurut apa yang dianggap benar dan harus dilakukan walaupun ternyata belum tentu menyentuh kesadaran hukum masyarakat. Bisa saja apa yang dikehendaki hukum itu dilakukan, tetapi masalahnya kesadaran hukum masyarakat tidak akan terbentuk tanpa memperhatikan aspek psikologis warga masyarakat. Seperti di himbau oleh Satjipto rahardjo, bahwa dalam mewujudkan hukum sebagai sebenar benarnya ilmu haruslah mendialogkan the state of the arts dalam sains, dengan paradigma adalah “hukum untuk manusia”, dan bukan sebaliknya.

Dengan demikian, jelas bahwa kesadaran hukum adalah lebih tepat bila dilihat sebagai wahana psikologi hukum. Kesadarah hukum pada hakekatnya adalah “kesetiaan” seseorang atau subyek hukum terhadap hukum itu yang kemudian diwujudkan dalam bentuk prilaku nyata. Secara psikologis kesadaran hukum masih bersifat abstrak, dan baru bersifat konkrit atau senyatanya setelah diwujudkan dalam prilaku nyata. Karenanya kesadaran hukum yang menjadi tujuan penyuluhan hukum adalah kesadaran hukum yang diwujudkan dalam bentuk prilaku nyata. Letak kesadaran hukum berada dalam dunia abstrak, sebagai pilihan olah pemikiran untuk menghargai hukum dan sekaligus berada dalam dunia nyata atau dunia perilakunya yang diwujudkan dalam kepatuhan terhadap hukum.

Untuk mengetahui bagaimana kwalitas kepatuhan hukum warga masyarakat dapat di ketahui dari dunia empiris, juga dapat dari informasi media massa, yang kadang-kadang mengherankan karena diantara mereka yang melakukan pelanggaran hukum atau berperilaku bertentangan dengan hukum adalah termasuk warga masyarakat yang tau hukum, paham hukum bahkan ada yang termasuk pakar hukum. Sedangkan disisi lain banyak diantara warga masyarakat yang tidak tahu dan tidak paham aturan perundang-undangan tapi nyatanya telah mematuhi aturan hukum tersebut. Hal ini memperkuat pemikiran bahwa untuk terbentuknya kesadaran hukum masyarakat ada dipengaruhi juga oleh kwalitas jati diri orang tersebut. Dengan kata lain bahwa mereka yang kwalitas jati dirinya bagus maka cenderung akan mudah untuk mencapai tingkat kesadaran hukumnya. Untuk itulah perlu diadakannya suatu gerakan penyuluhan hukum.

B.                   Penyuluhan Hukum

Adalah kegiatan dengan tujuan utamanya agar masyarakat tau hukum, paham hukum, sadar hukum, untuk kemudian patuh pada hukum tanpa paksaan, tapi menjadikannya sebagai suatu kebutuhan.

1.                  Materi Hukum yang disuluhkan

Hukum telah mengatur hampir segala aspek kehidupan, sehingga materi hukum yang harus disuluhkanpun demikian luasnya. Untuk perihal luasnya materi hukum yang disuluhkan ini ada baiknya bila diperhatikan pola pemikiran Prof. Dr. Satjipto Rahardjo yang dalam tulisannya mengatakan:
“Hukum tidak perlu mengatur masyarakat secara penuh, total (full regulation) cukup sekedar membuat skema besar, sedang proses-proses nyatanya diserahkan kepada masyarakat. Tanpa mengganggu kelangsungan hidup yang sudah berjalan.”


Contoh, di Jepang yang terkenal sebagai bangsa yang sangat mempertahankan tradisi dan nilai leluhurnya, disini hukum hanya sebatas kekuasaan untuk mengatur (authority), untuk pelaksanaannya diserahkan kepada kekuatan (power) masyarakat, yaitu tradisi yang telah ada di masyrakat. Dengan demikian akan terbentuk adanya pengaturan tanpa mengganggu masyarakat, tanpa banyak menimbulkan gangguan, benturan, dan beban bagi komunitas lokal.

Mengacu pada pemikiran Satjipto Rahardjo dan konsep pengaturan hukum di Jepang seperti itu, ada baiknya bila materi hukum yang disuluhkan ada skala prioritas yang didasarkan pada pengetahuan, pemahaman, dan penghayatan terhadap materi hukum. Sehingga untuk materi hukum yang sangat pundamental untuk kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat dapat segera disuluhkan, agar segera dipahami dan dihayati oleh seluruh warga masyarakat Indonesia. Untuk kongkritnya tentang materi hukum mana saja yang termasuk sangat pundamental dan perlu secepatnya diketahui, dipahami dan dihayati masyarakat tentunya perlu diinfentarisir dan ditelaah berdasarkan pertimbangan yang komprehensip, diantaranya : perihal kepatuhan terhadap nilai-nilai Pancasila sebagai sumber segala sumber norma , perihal kepatuhan termadap materi Pembukaan UUD, 1945, perihal kepatuhan terhadap materi muatan yang terkandung disetiap Pasal UUD 1945, larangan menghianati hak-hak rakyat, larangan melanggar hak-hak anak, perihal perlunya perlindungan dan bantuan hukum bagi masyarakat strata bawah. Selanjutnya aturan hukum yang bersifat lebih operasional untuk perwujudan kesejahteraan warga masyarakat, diantaranya perihal larangan merusak lingkungan, larangan mencuri, larangan main hakim sendiri, perihal aturan hukum untuk memacu kreativitas usaha, perihal aturan hukum untuk bantuan dana modal usaha, disuluhkan secara bertahap sesuai dukungan dana,

2.                  Teknik Penyuluhan yang digunakan

Dengan latar belakang adanya berbagai macam pemikiran tentang hukum dari berbagai aliran filsafat hukum; adanya perbedaan antara profesi hukum dan orang awam dalam hal mendefinisikan dan memberikan makna tentang hukum, serta memperhatikan kenyataan bahwa kesadaran hukum masyarakat adalah perihal ilmu hukum keperilakuan (behavioral jurisprudence) indipidu maka teknik penyuluhan hukum yang tepat untuk digunakan dalam membentuk kesadaran hukum masyarakat adalah teknik penyuluhan dengan pendekatan psikologis.

Tokoh pendekatan psikologis untuk kesadaran hukum antara lain adalah Petrazkitsky, Edmond N. Cahn, dan Ehrenzwig dengan teorinya sebagai berikut: Petrazkitsky yang menolak paham positivisme dan memastikan adanya hukum secara objektif dan intelektual. Berseberangan dengan itu Petrazkitsky mengatakan bahwa, yang menentukan adalah variabel sujektif dan intuitif.

Berikutnya adalah Edmond N. Cahn, teorinya lebih mempersepsikan keadilan sebagai penolakan terhadap ketidak adilan. Semangat untuk menolak ketidak adilan ini merupakan campuran antara akal dan empati, seperti tuntutan persamaan, martabat manusia, pengadilan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dan membatasi pemerintah pada fungsi yang semestinya.

Berikutnya lagi adalah Ehrenzweig, menurutnya hukum itu lebih berkaitan dengan ikhwal psikis (mind) dari pengetahuan (sophia). Oleh karena itu, maka masalah-masalah hukum hendaknya lebih didalami dari segi psikologis daripada pengetahuan rasionalnya.

Arahan dari teori-teori Psikologi Hukum tersebut menuju pada suatu pemikiran teoritik bahwa kegiatan penyuluhan hukum untuk menghasilkan keluaran (out-fut) berupa kesadaran hukum masyarakat harus dilakukan dengan cara atau teknik yang terpokus pada faktor-faktor psikologis seperti buah pemikiran subyektif dan intuitif , akal dan empati, serta mengutamakan pemikiran psikologis dari pada pengetahuan rasional.

Dengan demikian metode atau teknik penyuluhan hukum dapat dilakukan dengan cara langsung, tidak langsung, dan atau gabungan (langsung dan tidak langsung), dengan pendekatan persuasif, eddukatif, komunikatif, dan akomodatif. Semua cara dan pedekatan tersebut di tujukan untuk mencapai kesadaran hukum masyarakat dengan indikator psikologis yang terdiri dari: subyektif, intuitif, akal, empati, dan pemikiran psikologis lainnya.
















BAB III
PENUTUP



A.                Kesimpulan

Dari    uraian     hasil     analisis      terhadap     data     yang     dikumpulkan      dapat

disimpulkan sebagai berikut:

Kesadaran hukum masyaralkat merupakan hasil optimal dari keseluruhan proses sosialisasi hukum. Untuk sampai tahap tau hukum dalam kapasitas pengertian dan aneka ragam pemahaman sudah banyak dan meluas di kalangan masyarakat. Tetapi untuk tau hukum dalam pengertian tau Peraturan Perundang-undangan yang berlaku saat ini sebagai hukum positip yang mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara masih belum banyak, terleh lagi warga warga masyarakat yang sampai pada tahap paham materi perundang-undangan masih langka. Mereka yang tau tentang peraturan perundang-undangan mana yang mengatur lalu-lintas, yang mengatur tentang perpajakan, yang mengatur tentang perasuransian, yang mengatur tentang pertanahan, yang mengatur tentang lingkungan hidup dan sebagainya masih jarang, dan umumnya tidak tau pasti tentang undang-undang mana yang mengaturnya, lebih jarang lagi ditemukan adalah mereka yang tau hukum sampai pada mengetahui kaidah atau norma-norma yang ada pada setiap undang-undang. Dalam kondisi pengetahuan terhadap perundang-undangan warga masyarakat seperti ini tentu saja merupakan hambatan bagi kegiatan hukum untuk sampai pada tahap sadar hukum. Suatu hal yang menguntungkan bahwa walaupun untuk mencapai tahap kesadaran hukum masyarakat adalah masih banyak kesulitan, tapi berkat bantuan norma sosial lainya (keagamaan, kesusilaan, dan kesopanan) maka untuk norma hukum banyak orang/ warga masyarakat yang melaksanakannya tanpa terlebih dahulu tau, dan paham materi undang-undang yang mengatur hal tersebut. Disini letak perlunya dukungan norma sosial lainnya terhadap upaya efektifitas hukum yang harus diperhatikan para komunikator penyuluhan hukum dalam pelaksanaan kegiatannya. Dalam hal upaya menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat tehnik penyuluhan hukum yang digunakan tidak cukup sekedar untuk pemberitahuan atau menginformasikan tentang aturan-aturan hukum dan pesan-pesan hukum saja yang lebih tepat dikerjakan oleh aktifitas teknik informasi dan dokumentasi hukum, sedangkan dalam hal kegiatan teknik penyuluhan hukum utamanya adalah untuk kegiatan teknik pembudayaan atau penyuluhan hukum bernuansa psikologis yang dapat menyentuh faktor kejiwaan warga masyarakat agar mereka dalam menentukan pilihan atau putusannya tergerakan untuk berbuat atau berperilaku sesuai dengan apa yang dikehendaki kaidah hukum positif.

2.                  Sejak pemerintahan ‘Orde Baru’ pemerintah telah melaksanakan kegiatan penyuluhan hukum. Dilaksanakan tidak hanya oleh BPHN Dep Hukum dan Hak Asassi manusia, tetapi juga oleh instansi lain (Kejaksaan, Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi) sesuai kekhususan urusan hukum yang menjadi tupoksinya masing-masing. Keefektifan kegiatan penyuluhan hukum adalah hasil totalitas dari kemampuan komunikator, penyusunan materi penyuluhan, pemilihan teknis atau alat komunikasi, dan kondisi masyarakat sebagai penerima pesan. Kwalitas kemampuan komunikasi dari kegiatan penyuluhan yang mereka lakukan beraneka ragam tergantung pada kemampuannya untuk pemenuhan unsur-unsur efektifitas penyuluhan hukum tersebut. Kegiatan penyuluhan yang dikerjakan aparatur pemerintah, termasuk di B.P.H.N adalah pelaksanaan tugas administrasi negara dalam rangka pembinaan hukum nasional yang kinerjanya harus dipertanggungjawabkan secara administratif dan hasil kerjanya terhadap pemerintah. Sasaran utama kegiatan penyuluhan hukum yang dikerjakan B.P.H.N utamanya adalah untuk pembentukan citra warga masyarakat terhadap hukum. Kegiatan penyuluhan dimaksudkan telah dilaksanakan secara konsisten dan penuh tanggungjawab sesuai aturan hukum yang menjadi sumber asas legalitasnya. Sehingga terjalin suatu koordinasi pusat dan daerah dalam rangka kegiatan penyuluhan hukum. Walaupun dalam hal sarana prasarana, dana, juga dalam hal penggunaan tehnis penyuluhan hukum masih belum sesuai dengan kebutuhan yang dihadapi dan tentu hasilnyapun belum optimal sesuai yang diharapkan. Untuk kegiatan penyuluhan hukum di luar B.P.H.N terutama di daerah-daerah dalam hal tehnik penyuluhan umumnya masih dalam kwalitas sederhana mengingat dana, dan SDM yang masih terbatas. Kegiatan penyuluhan hukum umumnya masih dihadapkan pada berbagai kendala, diantaranya dihadapkan pada realitas aneka ragam kondisi dan karakter masyarakat dimana mereka ada yang mudah, juga ada yang susah untuk menerima aturan hukum, serta dihadapkan pada fakta sosial yang tidak mendukung pembudayaan hukum dikarenakan menampilkan terjadinya berbagai pelanggaran hukum terutama yang dilakukan oleh oknum aparat negara dan aparat pemerintah yang seharusnya menteladani warga masyarakat lainnya.

Perihal objek kegiatan penyuluhan hukum sampai saat in belum tepat sasaran, dengan memperhatikan arahan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional Tahun 20-04-2009 bab IX tentang Pembenahan Sisten dan Politik yang di dalamnya ada menjelaskan tentang sasaran pembangunan hukum, maka jelas bahwa obyek penyuluhan hukum adalah seluruh lapisan masyarakat, utamanya adalah para penyelenggara negara dan aparatur negara di tingkat pusat dan di tingkat daerah. Menjadikan penyelenggara negara dan aparatur negara sebagai obyek utama penyuluhan hukum selain perintah undang-undang adalah juga sangat sarional karena mereka ini adalah pihak yang paling bertanggungjawab atas pengimplementasian perundang-undangan dalam rangka fungsi hukum untuk menyelenggarakan keadilan serta mengupayakan kesejahteraan masyarakat. Tapi masalahnya bahwa sampai saat ini hampir setiap kegiatan penyuluhan hukum, termasuk kegiatan penyuluhan hukum B.P.H.N objek utamanya ditujukan pada masyarakat lapisan bawah, hal ini kurang tepat karena sebetulnya mereka ini adalah pihak yang justeru sering dikenai hukum dan bukan penyebab utama keterpurukan hukum.


B.                 Rekomendasi

Dengan kesimpulan seperti terurai diatas kami rekomendasikan hal-hal sebagai berikut
1.                  Untuk pembentukan kesadaran hukum masyarakat, dari segi aturan hukum yang disuluhkan itupun hendaknya memuat ketentuan yang secara psikologis memberikan imbalan bagi pemegang peran yang patuh ataupun melanggar aturan hukum tersebut.
2.                  Dari segi kegiatan penyuluhan hukum, perlu digunakan teknologi komunikatif yang jangkauannya luas, juga dapat menyentuh faktor kejiwaan warga masyarakat.
Terjadinya ketidak tahuan hukum, ketidak pahaman hukum, dan ketidak patuhan hukum bisa terjadi disetiap lapisam masyarakat. Untuk tidak menjadi korban hukum orang/ warga masyarakat dari masyarakat kecilpun perlu penyuluhan hukum, tapi kalau dilihat dari skala prioritas objek, dalam upaya untuk menjadikan hukum sebagai sarana perubahan maka yang paling p enting untuk segera diadakan penyuluhan hukum adalah mereka yang rawan untuk terjadinya pelanggaran hukum yaitu orang/ warga masyarakat yang menempati posisi penting untuk jalannya roda pemerintahan dan sistem ekonomi nasional. Walaupun tentunya dengan teknik yang berbeda dengan cara penyuluhan terhadap masyarakat kecil yang awam hukum.
4.                  Dengan penyuluhan hukum diharapkan masyarakat sadar hukum, sehingga setiap anggota masyarakat menyadari dan menghayati hak dan kewajibannya sebagai warga negara NKRI, dan membentuk budaya hukum dalam sikap dan perilaku yang sadar, patuh, dan taat terhadap hukum serta menghormati hak asaasi manusia.
Keberhasilan penyuluhan hukum setidaknya harus dapat mengimbangi asas hukum yang mengatakan bahwa semua orang dianggap sudah tau hukum. Sehinga dalam keadaan dimana penyuluhan hukum telah betul-betul menjadikan masyarakat tau dan paham hukum, tidak ada lagi alasan bagi seseorang warga masyarakat yang menderita karena terkena sanksi hukuman atas suatu pelanggaran hukum menyalahkan pihak pemerintah dengan dalih bahwa ia melakukan pelanggara hukum dan terkena sanksi hukuman dikarenakan tidak tau hukum dan pihak pemerintah tidak berupaya untuk menjadikannya tau dan paham hukum.


0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda