JURNAL PPKN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Permasalahan
Wawasan nusantara harusnya dapat menjadi tolak
ukur seberapa besar kita mencintai bangsa ini. Salah satu klasifiksinya adalah
kesadaran akan hukum yang berlaku. Undang-Undang Dasar 1945 dalam Penjelasan
Umumnya menyatakan secara tegas, bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan
pada hukum (Rechtsstaat) dan tidak
bedasarkan atas kekuasaan belaka
(Machsstaat).
Pernyataan tersebut mengandung makna bahwa dalam
penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, hukum
mendapatkan tempat yang paling tinggi serta terhormat. Dalam artian bahwa hukum
adalah landasan normatif untuk urusan dan aktivitas kehidupan, baik dalam
urusan kemasyarakatan, kebangsaan, dan juga urusan kenegaraan yang diakui
secara formal maupun secara material, dengan demikian ada kewajiban bagi
siapapun yang ada di kawasan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini untuk
mematuhi hukum.
Dengan negara hukum, setiap warga negara tidak
akan dibayangi rasa takut akan acaman bahaya kesewenang-wenangan penguasa yang
hanya mengutamakan kekuasaan (mach),
sepertihalnya terjadi pada zaman kaisar Nero dari Romawi Kuno yang
mempertahankan kedaulatannya melalui metode menakut-nakuti (abshreckungsmethode) melalui pernyataannya: “Biarlah rakyat cinta
atau tidak padaku, asal mereka takut saja padaku”. Konsep pemikiran penguasa
yang berlandaskan “kekejaman” seperti ini pernah diterapkan oleh Fascist Jerman
dan Jepang pada awalnya sebagai langkah efektif untuk menundukan musuh, tapi
tidak membuahkan hasil yang baik di akhir kegiatannya. Yang pasti gerakan
mereka telah meninggalkan sejarah hitam bagi kemanusiaan.
Dengan konsep negara hukum, maka mengikatnya
aturan hukum terhadap segenap warga masyarakat tanpa terkecuali para penguasa
di negeri ini adalah dalam rangka untuk tercapainya fungsi kontrol sosial dari
hukum, dalam rangka mewujudkan ketertiban, keadilan, dan ketentraman
masyarakat, serta dalam rangka fungsi hukum untuk perubahan kehidupan sosial
agar lebih berkualitas, lebih maju dan sejahtera, melalui dinamika pembangunan
yang terarah, komprehensif dan berkesinambungan. Kemanfaatan dari fungsi hukum
ini tentunya harus dapat dirasakan oleh setiap warga masyarakat tanpa
terkecualikan.
Dengan ditegaknya kaidah atau norma hukum yang
selain dapat memberikan kenyamanan berupa perlindungan dan petunjuk bagi warga
masyarakat, disisi lain hukumpun dapat juga berakibat penderitaan bagi yang
terkena sanksi akibat dilanggarnya suatu aturan hukum. Sanksi hukum ini dapat
berupa, sanksi perdata, sangksi administrasi, dan dapat berupa sanksi pidana,
termasuk di dalamnya sanksi pidana mati dan penjara seumur hidup. Sanksi hukum
adalah sanksi pundamental yang walaupun bentuk konkritnya dalam bentuk yang
menyakitkan dan atau mematikan, harus ditegakan demi wibawa hukum dan
kedaulatan negara. Sesuai ketentuan UUD 1945, bahwa setiap warga negara
mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan, karenanya terhadap
siapapun yang melanggar hukum akan dikenakan sanksi sesuai aturan hukum yang
berlaku. Masalahnya, bahwa dengan sanksi hukum yang demikian pundamental
tersebut tentunya jangan sampai ada orang atau warga masyarakat yang terkena
sanksi hukum tanpa sebelumnya mengetahui akan segala akibat dan risiko berupa
sanksi dari melakukan suatu perbuatan pelanggaran hukum tersebut.
Suatu hal yang perlu dicermati, bahwa warga
masyarakat sampai saat ini masih beraneka ragam dalam memberi arti dan
mempersepsikan hukum, dan ada kecenderungan untuk tersesat kepada pemahaman
yang sempit atau keliru tentang hukum. Dengan kekeliruan dalam pemahaman hukum
dapat berpengaruh terhadap penghargaan dan kepatuhan terhadap hukum. Pemahaman
seseorang tentang hukum sangat tergantung pada apa yang diketahui dari
pengalaman yang dialaminya tentang hukum. Bagi mereka yang hanya mengenal hukum
adalah berupa pemenjaraan, eksekusi mati atau keharusan patuh untuk pungutan
retribusi dan pajak, dalam pemikiran mereka hukum adalah sesuatu yang
menyakitkan dan membebani kehidupan. Padahal fungsi hukum yang sebetulnya
sangat mengutamakan faktor kegunaan (uttility)
untuk terwujudnya ketentraman masyarakat melalui fungsi kontrol sosial (social control) dan perbaikan kehidupan
masyarakat melalui fungsi sebagai mesin alat pembaharuan (social engeenering).
Dalam fungsinya untuk kontrol sosial, hukum
mempunyai visi dan misi untuk terwujudnya keadilan, keteraturan, dan
ketentraman hidup masyarakat ; dan dalam fungsinya sebagai mesin pembaharuan,
hukum mempunyai visi dan misi untuk mewujudkan perubahan kehidupan masyarakat
untuk perbaikan dan kemajuan kehidupan masyarakat, yang apabila hukum berfungsi
dengan baik sebagai keluaran (output)
nya adalah terwujudnya ketentraman yang disertai dengan peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya apabila hukum tidak berfungsi dengan baik
maka sifat-sifat jelek manusia, seperti; naluri-naluri keserakahan, kejahatan
akan mewarnai kehidupan masyarakat, dan berakibat kerusakan bagi kwalitas
kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian tidak ada pilihan lain untuk terwujud
dan terpeliharanya ketentraman masyarakat, serta peningkatan kesejahteraan
masyaralkat, lebih jauh lagi untuk kebesaran bangsa dan negara, maka hukum
harus difungsikan secara optimal.
Walaupun sesungguhnya apa yang menjadi visi dan
misi hukum adalah suatu hal yang demikian baik dan ideal untuk kehidupan
masyarakat tetapi nyatanya masalah efektifitas fungsi hukum bukan masalah yang
mudah, dan nyatanya untuk mewujudkan fungsi hukum tersebut banyak dihadapkan
pada berbagai kendala, yang untuk solusi mengatasinya diperlukan pembinaan
hukum yang didukung oleh semangat dan tanggung jawab semua unsur yang terlibat
di dalamnya.
Pembinaan hukum haruslah dilakukan dengan
pendekatan sistemik, dimana unsur-unsur sistem hukum nasional selain
diperhatikan unsur materi hukum, dan unsur kelembagaan (istitusi) hukumnya, juga termasuk di dalamnya unsur budaya
hukumnya. Dengan menyadari arti pentingnya fungsi hukum bagi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, maka pemerintah menyelenggarakan
pembinaan terhadap semua unsur-unsur sistem hukum tersebut. Untuk suksesnya
kegiatan pembangunan hukum tersebut pemerintah telah mengeluarkan sejumlah
dana, sarana prasarana serta telah melibatkan segenap unsur masyarakat, dari
kalangan cendekiawan, perguruan tinggi dan juga tokoh-tokoh masyarakat. Sasaran
pembinaan hukum selain materi hukum dan lembaga hukum, juga adalah pembinaan
terhadap budaya hukum.
Kesadaran akan arti dan perlunya pembinaan
budaya hukum tumbuh terutama dikernakan berkembangnya suatu pemikiran bahwa
hukum baru akan efektif apabila masyarakat telah mengetahui, memahami dan
melaksanakan aturan hukum tersebut secara konsisten.
Dalam rangka peningkatan kesadaran hukum
masyarakat, kegiatan pembinaan budaya hukum diantaranya adalah dengan
penyuluhan hukum, yang sasaran utamanya adalah peningkatan citra warga
masyarakat terhadap hukum.
Secara formal keberhasilan kegiatan penyuluhan
hukum dapat diidentifikasi dengan diterbitkannya berbagai peraturan hukum yang
menjadi landasan operasional kegiatan penyuluhan hukum. Seperti dengan
dikeluarkannya Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor:
M-01.PR.08.10 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia RI Nomor; m-01.PR.08.10 Tahun 2006 tentang Pola Penyuluhan Hukum.
Diikuti pula dengan dikeluarkannya Peraturan Kepala Badan Pembinaan Hukum
Nasional Dep. Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor: PHN.HN 03.05-73 Tahun 2008
tentang Pembentukan dan Pembinaan Keluarga Sadar Hukum dan Desa/ Kelurahan
Sadar Hukum. Serta dicanangkannya tahun 2008 sebagai
“Tahun Peningkatan Budaya Hukum Dengan Hati Nurani” ini adalah indikator-indikator kekuatan (strong) kegiatan penyuluhan hukum.
Dengan landasan formal produk administratif
tersebut, maka walaupun belum optimal setidaknya mulai terbukalah pasilitas dan
kemudahan untuk diadakannya berbagai kegiartan penyuluhan hukum. Pembuatan
program dan perencanakan serta pelaksanaan secara konkrit berbagai kegiatan
penyuluhan hukum telah dilakukan oleh para pelaksana penyuluhan hukum..
B.
Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang permasalahan seperti
terurai di atas, yang menggambarkan bahwa betapa pentingnya arti kesadaran
hukum masyarakat untuk berfungsinya hukum, dan melihat adanya segi manfaat
untuk mengetahui tentang bagaimana dampak penyuluhan hukum terhadap tingkat
kesadaran hukum masyarakat , maka pokok permasalahan penelitian ini adalah:
1.
Bagaimana
cara untuk menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat ?
2.
Bagaimana
kegiatan penyuluhan hukum dilaksanakan selama ini ?
3.
Bagaimana dampak terhadap kesadaran hukum masyarakat dengan diadakannya
kegiatan penyuluhan hukum?
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan dan kegunaan penelitian ini mencakup
banyak hal, meliputi fact finding, problem finding, problem solving.
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui dan memahami berbagai konsep
pemikiran untuk menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat.
b. Untuk mengetahui dan memahami berbagai pola
kegiatan penyuluhan hukum yang pernah dilakukan pemerintah dan swasta hingga
saat ini.
Untuk mengetahui dampak suatu kegiatan
penyuluhan hukum bagi peningkatan kesadaran hukum masyarakat.
BAB II
URAIAN MATERI
A.
Kesadaran Hukum Masyarakat
Sadar hukum, adalah suatu kondisi dimana
masyarakat mau menghargai,
mau mematuhi hukum dengan kesadaran sendiri,
tanpa adanya suatu paksaan dari siapapun. Secara sederhana kesadaran hukum
masyarakat pada hakekatnya adalah merupakan basis aktifitas sosial agar produk
hukum yang dihasilkan dapat benar-benar ditaati dalam kehidupan sehari-hari,
dan dijadikan acuan perilaku oleh warga masyarakat. Mengacu pada Peraturan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor: M.01-PR.08.10 Tahun 2006 Tentang
Pola Penyuluhan Hukum, kesadaran hukum masyarakat adalah nilai yang hidup dalam
masyarakat adalah bentuk pemahaman dan ketaatan atau kepatuhan masyarakat
terhadap norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kesadaran hukum masyarakat sangat ditentukan
oleh sejauhmana orang memutuskan pilihannya dalam rangka olah pemikiran untuk
berbuat atau berperilaku, mematuhi norma hukum ataukah tidak. Untuk sampai pada
jawaban permasalahan ini perlu dipahami tentang bagaimana orang/ warga
masyarakat mendefinisikan dan mempunyai pemahaman atau memberi makna terhadap
hukum, serta bagaimana secara psikologis orang/ warga masyarakat memberikan
penilaian terhadap hukum.
1.
Berbagai
Pengertian Tentang Hukum
Mengenai bagaimana orang atau warga masyarakat
memberikan arti dan
makna terhadap hukum ada beraneka ragam:
Hukum adalah dokumen moral yang menyimpan
pesan-pesan moral untuk kehidupan masyarakat.
Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa:
“hukum
bukan hanya sebuah dokumen perundang-undangan yang terdiri dari ribuan pasal,
melainkan sebuah dokumen moral, yang menyimpan pesan-pesan moral untuk
kehidupan bermasyarakat. Maka menjadi tugas kita untuk memahaminya sebagai
demikian”.
Masalahnya:
Sehubungan
dengan pengertian hukum tersebut, disisi lain pakar Sosiologi Hukum tersebut
melihat permasalahan, bahwa saat ini hukum modern lebih mengartikan hukum
sebagai hukum tertulis dalam bentuk undang-undang, yang adalah produk
legislatif (legislated law), dan
setelah dicermatinya ternyata mengabaikan tujuan moral dan asas-asas hukum.
Maka pemahaman hukum pun lebih ditujukan kepada pembacaan terhadap substansi
peraturan hukum, atau perundang-undangan secara rasional. Yaitu sekitar hal-hal
yang diatur, hal-hal yang dilarang dan dibolehkan, perihal bunyi undang-undang,
dan prosedurnya. Dengan kultur berhukum modern seperti itu berarti telah
mengabaikan pertanyaan filosofis tentang alasan dan tujuan moral undang-undang.
Selanjutnya Satipto Rahardjo juga menyesalkan
bahwa undang-undang yang merupakan wujud hukum modern sekarang ini selain
mengabaikan tujuan moral juga telah mengabaikan asas-asas hukum yang seharusnya
merupakan sumber nilai dari norma-norma hukum. Padahal sesuai dengan sifat dan
kedudukannya yang demikian penting dan mendasar dalam eksistensi negara hukum
seharusnya asas-asas hukum harus diperhatikan. Kondisi mengabaikan tujuan moral
dan asas-asas hukum ini juga termasuk dilingkungan akademis. Hal ini berarti
bahwa untuk saat ini orang masih lebih suka membaca pasal-pasal daripada
membaca, mengenali dan meresapi tujuan moral dan asas-asas hukum nya terlebih
dahulu. Akibat proses pembentukan undang-undang oleh badan legislatifpun, tidak
memperhatikan tujuan moral dan asas-asas hukum. Dengan demikian maka badan
legislatif lebih pantas disebut sebagai produsen pasal-pasal dari pada tujuan
moral dan asas-asas hukum.
Kurangnya perhatian terhadap tujuan moral dan
asas hukum maka sering dijumpai adanya kesulitan pada waktu undang-undang
dilaksanakan, dikarenakan tidak ada panduan dari tujuan moral pembentukan hukum
dan asas-asas hukum. Karenanya untuk dipatuhinya hukum oleh masyarakat, perlu
diperhatikan proses pembentukan hukumnya, yang diantaranya adalah bahwa aturan
hukum yang dibutuhkan masyarakat adalah hukum yang memperhatikan tujuan moral
dan asas-asas hukum. Dengan kata lain bahwa hanya peraturan perundang-undangan
yang materinya memperhatikan tujuan moral dan asas-asas hukum lah yang berkenan
bagi masyarakat.
b. Hukum sebagai sub sistem dari sistem sosial
Seperti
sering disampaikan para
pakar Sosiologi Hukum,
seperti
Soeryono Soekanto, juga Satjipto Rahardjo bahwa
hukum dalam masyarakat tidaklah berdiri sendiri karena masyarakat adalah suatu
sistem yang di dalamnya selain hukum ada sub sistem lainnya, yaitu ekonomi,
politik, sosial, budaya, yang kesemuanya itu saat ini masih mengandung masalah
dan bergerak terus sesuai dengan perubahan sosial yang sangat cepat, dan
memerlukan penanganan antisipasi hukum agar tidak menyimpang jauh dari
idealisme hukum yaitu Pancasila dan U.U.D 1945. Sebagai akibat tidak
terkendalinya perkembangan aspek sosial non hukum maka timbul berbagai pola
pemikiran non hukum yang justru malah interpensi terhadap hukum, pemikiran
tentang belum optimalnya fungsi hukum dalam integrasi sosial tersebut diantara
gejalanya adalah berupa perintah tanpa aturan hukum (oder without law). Agar hukum dapat berfungsi secara baik perlu
dioptimalkan kemampuan hukum, sehingga supremasi hukum berupa tujuan dan upaya
agar hukum betul-betul punya kedudukan yang strategis dan punya kemampuan super
untuk integrasi sosial betul-betul dapat diwujudkan.
Masalahnya:
Tak dapat
dipungkiri bahwa ekonomi, politik, dan sosial masih ketinggalan dan perlu
penanganan segera. Dengan keadaan seperti itu maka hukum modrn yang dijadikan
acuan masalah-masalah hukum di masyarakat adalah hukum liberal. Sebagai
risikonya terjadilah berbagai inkonsistensi norma atau kaidah hukum.
Apa yang diutarakan Fukuyama, tentang meluasnya
penerapan sistem ekonomi kapitalisme dan sistem demokrasi liberal secara
global, sehingga memunculkan keseragaman budaya (cultural homogenity), saat ini telah mulai menggejala di
Indonesia.
Apabila
hukum tidak berfungsi untuk mengendalikan perkembangan ekonomi politik sosial,
dan budaya, lalu dengan apa lagi kehidupan sosial ini akan diarahkan dan
dikendalikan. Nyatanya siapapun cenderung sangat mengharapkan bahwa hukum dapat
berbungsi untuk terwujudnya, ketertiban, keadilan, dan ketentraman masyarakat.
Karenanya hukum yang ideal adalah hukum yang punya kekuatan (power) betul-betul
super, berwibawa dan punya kedudukan yang strategis untuk integrasi sosial
menuju kehidupan yang tertib dan adil serta dinamis menuju kehidupan lebih baik
dari sebelumnya.
c. Makna
Hukum Bagi Kalangan Hukum dan Orang Awam
Orang
kalangan hukum sendiri umumnya berpikir tentang hukum selalu dalam konteks dan
dengan latar belakang sejumlah perundang-undangan, prosedur, konsep, definisi,
dan status tertentu. Mereka menghendaki atau mereka berpikir bahwa setiap orang
harus berbuat sesuai dengan apa yang ada dalam pikirannya tersebut. Inilah
konsep para profesional mengenai kesadaran hukum.
Makna hukum menurut orang awam berbeda dari apa
yang ada dikepala para ahli hukum. Contoh kasus Millie Simpson: Hal tersebut
tampak sekali pada waktu majikannya. Bob Richards meminta bantuan seorang
advokat untuk mendampingi Millie. Sesudah mempelajari semua dokumen rekaman
pengadilan, advokat David Stone segera melihat apa yang tidak dapat dilihat
oleh Millie sebagai orang awam dalam hukum. Stone menyadari bahaya yang sama
sekali tidak disadari oleh Millie. Bahaya ini datang karena hukum itu memiliki
konsep, struktur, dan logika sendiri. Millie bertindak dengan kesadaran hukum,
tetapi kesadaran hukum sebagaimana dibangunnya sendiri berdasarkan
“pengetahuan, asumsi, dan kepercayaan” yang ia miliki. Millie tidak menyadari
bahwa hakim itu adalah status, kewenangan dan di belakangnya adalah hukum yang
mempunyai konsep, prosedur, dan logika sendiri. Oleh Elwick dan Silbey itu
disebut sebagai
“ways in which people make sense of law and legal institutions” atau
“the understandings which give meaning of people’s experiences and actions”.19
Menurut
penelitian Elwick dan Silbey, dimata Millie, semua hal yang berlangsung di
pengadilan dianggapnya sama dengan kejadian-kejadian biasa yang dialami
sehari-hari, yaitu suatu ranah (space)
dimana kejadian-kejadian itu menimpa orang. “For
Millie things simply happened within terrain;
they did not need to be explained”.
Belajar
dari kasus Millie tersebut dapat diketahui bahwa ada jenis kesadaran hukum lain
yang tidak ada hubungannya dengan tatanan hukum dan kesadaran hukum itulah yang
menggerakan Millie. Ia datang ke pengadilan karena dipanggil. Ia melihat
pengadilan sebagai ruang biasa, seperti halnya ke pasar dll. Millie melihat
pengadilan dan proses peradilan dari kacamatanya sendiri. Para profesional
hukum tidak mau dan merasa tidak perlu tahu tentang kenyataan tersebut. Tugas
mereka hanya menjalankan hukum dan tidak ada kepedulian terhadap orang-orang
seperti Millie.
Disisi lain, apa yang tidak penting bagi para
profesional merupakan sesuatu hal yang penting bagi para ilmuan. Tugas para
ilmuwan adalah tidak semata-mata untuk membuat putusan dan memaksakan (imposing) sesuatu, tetapi justeru lebih
dipokuskan kepada pemotretan terhadap realitas objektif tentang hukum. Imu
hukum bertujuan untuk mengerti hukum sebaik-baiknya, sedalam-dalamnya dan
seluas mungkin.
Kasus
Millie memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi ilmuan mengenai
konpleksitas dari kesadaran hukum, dan sebagai ilmuan siapapun tentunya perlu
mengerti hal-hal seperti itu. Dari perspektif keilmuan jelas bahwa tidak ada
tempat bagi para profesional hukum untuk memonopoli dan memaksakan kebenaran,
melainkan pula harus memperhatikan nilai-nilai kebenaran yang ada dalam benak
orang awam.
Dengan
demikian, kesadaran hukum masyarakat haruslah dipahami sebagai kesadaran hukum
yang optimal, yaitu kesadaran hukum yang didasarkan pada suatu kondisi dimana
masyarakat atau subjek hukum mengerti, menghayati, dan menghargai hukum, dimana
segenap orang/ warga masyarakat memberikan makna yang berbeda-beda tentang
hukum sesuai karakteristik masing-masing lapisan masyarakat.
2.
Kesadaran
Hukum Sebagai Wahana Psikologi Hukum
Kesadaran hukum masyarakat adalah perihal ilmu
hukum keperilakuan
(behavioral jurisprudence) indipidu, maka termasuk wahana psikologis hukum. Pola pemikiran yang menentukan bahwa masalah-masalah yang menurut
hukum doktrinal tidak perlu dipermasalahkan, sesungguhnya secara ontologis
tidak demikian. Karenanya komunitas hukum yang secara tidak sadar memonopoli
kebenaran dengan alasan karena hukum merupakan institusi publik yang memiliki
kewenangan mengatur, maka fungsi itu dilaksanakannya menurut apa yang dianggap
benar dan harus dilakukan walaupun ternyata belum tentu menyentuh kesadaran
hukum masyarakat. Bisa saja apa yang dikehendaki hukum itu dilakukan, tetapi
masalahnya kesadaran hukum masyarakat tidak akan terbentuk tanpa memperhatikan
aspek psikologis warga masyarakat. Seperti di himbau oleh Satjipto rahardjo,
bahwa dalam mewujudkan hukum sebagai sebenar benarnya ilmu haruslah
mendialogkan the state of the arts
dalam sains, dengan paradigma adalah
“hukum untuk manusia”, dan bukan sebaliknya.
Dengan demikian, jelas bahwa kesadaran hukum
adalah lebih tepat bila dilihat sebagai wahana psikologi hukum. Kesadarah hukum
pada hakekatnya adalah “kesetiaan” seseorang atau subyek hukum terhadap hukum
itu yang kemudian diwujudkan dalam bentuk prilaku nyata. Secara psikologis
kesadaran hukum masih bersifat abstrak, dan baru bersifat konkrit atau
senyatanya setelah diwujudkan dalam prilaku nyata. Karenanya kesadaran hukum
yang menjadi tujuan penyuluhan hukum adalah kesadaran hukum yang diwujudkan
dalam bentuk prilaku nyata. Letak kesadaran hukum berada dalam dunia abstrak,
sebagai pilihan olah pemikiran untuk menghargai hukum dan sekaligus berada
dalam dunia nyata atau dunia perilakunya yang diwujudkan dalam kepatuhan
terhadap hukum.
Untuk mengetahui bagaimana kwalitas kepatuhan
hukum warga masyarakat dapat di ketahui dari dunia empiris, juga dapat dari
informasi media massa, yang kadang-kadang mengherankan karena diantara mereka
yang melakukan pelanggaran hukum atau berperilaku bertentangan dengan hukum
adalah termasuk warga masyarakat yang tau hukum, paham hukum bahkan ada yang
termasuk pakar hukum. Sedangkan disisi lain banyak diantara warga masyarakat
yang tidak tahu dan tidak paham aturan perundang-undangan tapi nyatanya telah
mematuhi aturan hukum tersebut. Hal ini memperkuat pemikiran bahwa untuk
terbentuknya kesadaran hukum masyarakat ada dipengaruhi juga oleh kwalitas jati
diri orang tersebut. Dengan kata lain bahwa mereka yang kwalitas jati dirinya
bagus maka cenderung akan mudah untuk mencapai tingkat kesadaran hukumnya.
Untuk itulah perlu diadakannya suatu gerakan penyuluhan hukum.
B.
Penyuluhan Hukum
Adalah kegiatan dengan tujuan utamanya agar
masyarakat tau hukum, paham hukum, sadar hukum, untuk kemudian patuh pada hukum
tanpa paksaan, tapi menjadikannya sebagai suatu kebutuhan.
1.
Materi
Hukum yang disuluhkan
Hukum telah mengatur hampir segala aspek
kehidupan, sehingga materi hukum yang harus disuluhkanpun demikian luasnya.
Untuk perihal luasnya materi hukum yang disuluhkan ini ada baiknya bila
diperhatikan pola pemikiran Prof. Dr. Satjipto Rahardjo yang dalam tulisannya
mengatakan:
“Hukum tidak perlu mengatur masyarakat secara
penuh, total (full regulation) cukup sekedar membuat skema besar, sedang
proses-proses nyatanya diserahkan kepada masyarakat. Tanpa mengganggu
kelangsungan hidup yang sudah berjalan.”
Contoh, di Jepang yang terkenal sebagai bangsa
yang sangat mempertahankan tradisi dan nilai leluhurnya, disini hukum hanya
sebatas kekuasaan untuk mengatur (authority),
untuk pelaksanaannya diserahkan kepada kekuatan (power) masyarakat, yaitu tradisi yang telah ada di masyrakat.
Dengan demikian akan terbentuk adanya pengaturan tanpa mengganggu masyarakat,
tanpa banyak menimbulkan gangguan, benturan, dan beban bagi komunitas lokal.
Mengacu pada pemikiran Satjipto Rahardjo dan
konsep pengaturan hukum di Jepang seperti itu, ada baiknya bila materi hukum
yang disuluhkan ada skala prioritas yang didasarkan pada pengetahuan,
pemahaman, dan penghayatan terhadap materi hukum. Sehingga untuk materi hukum
yang sangat pundamental untuk kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat
dapat segera disuluhkan, agar segera dipahami dan dihayati oleh seluruh warga
masyarakat Indonesia. Untuk kongkritnya tentang materi hukum mana saja yang
termasuk sangat pundamental dan perlu secepatnya diketahui, dipahami dan
dihayati masyarakat tentunya perlu diinfentarisir dan ditelaah berdasarkan
pertimbangan yang komprehensip, diantaranya : perihal kepatuhan terhadap
nilai-nilai Pancasila sebagai sumber segala sumber norma , perihal kepatuhan
termadap materi Pembukaan UUD, 1945, perihal kepatuhan terhadap materi muatan
yang terkandung disetiap Pasal UUD 1945, larangan menghianati hak-hak rakyat,
larangan melanggar hak-hak anak, perihal perlunya perlindungan dan bantuan
hukum bagi masyarakat strata bawah. Selanjutnya aturan hukum yang bersifat
lebih operasional untuk perwujudan kesejahteraan warga masyarakat, diantaranya
perihal larangan merusak lingkungan, larangan mencuri, larangan main hakim
sendiri, perihal aturan hukum untuk memacu kreativitas usaha, perihal aturan
hukum untuk bantuan dana modal usaha, disuluhkan secara bertahap sesuai
dukungan dana,
2.
Teknik
Penyuluhan yang digunakan
Dengan latar belakang adanya berbagai macam
pemikiran tentang hukum dari berbagai aliran filsafat hukum; adanya perbedaan
antara profesi hukum dan orang awam dalam hal mendefinisikan dan memberikan
makna tentang hukum, serta memperhatikan kenyataan bahwa kesadaran hukum
masyarakat adalah perihal ilmu hukum keperilakuan (behavioral jurisprudence) indipidu maka teknik penyuluhan hukum
yang tepat untuk digunakan dalam membentuk kesadaran hukum masyarakat adalah
teknik penyuluhan dengan pendekatan psikologis.
Tokoh pendekatan psikologis untuk kesadaran
hukum antara lain adalah Petrazkitsky, Edmond N. Cahn, dan Ehrenzwig dengan
teorinya sebagai berikut: Petrazkitsky yang menolak paham positivisme dan
memastikan adanya hukum secara objektif dan intelektual. Berseberangan dengan
itu Petrazkitsky mengatakan bahwa, yang menentukan adalah variabel sujektif dan
intuitif.
Berikutnya adalah Edmond N. Cahn, teorinya lebih
mempersepsikan keadilan sebagai penolakan terhadap ketidak adilan. Semangat
untuk menolak ketidak adilan ini merupakan campuran antara akal dan empati,
seperti tuntutan persamaan, martabat manusia, pengadilan yang dilakukan dengan
sungguh-sungguh dan membatasi pemerintah pada fungsi yang semestinya.
Berikutnya lagi adalah Ehrenzweig, menurutnya
hukum itu lebih berkaitan dengan ikhwal psikis (mind) dari pengetahuan (sophia).
Oleh karena itu, maka masalah-masalah hukum hendaknya lebih didalami dari segi
psikologis daripada pengetahuan rasionalnya.
Arahan dari teori-teori Psikologi Hukum tersebut
menuju pada suatu pemikiran teoritik bahwa kegiatan penyuluhan hukum untuk
menghasilkan keluaran (out-fut)
berupa kesadaran hukum masyarakat harus dilakukan dengan cara atau teknik yang
terpokus pada faktor-faktor psikologis seperti buah pemikiran subyektif dan
intuitif , akal dan empati, serta mengutamakan pemikiran psikologis dari pada
pengetahuan rasional.
Dengan demikian metode atau teknik penyuluhan
hukum dapat dilakukan dengan cara langsung, tidak langsung, dan atau gabungan
(langsung dan tidak langsung), dengan pendekatan persuasif, eddukatif,
komunikatif, dan akomodatif. Semua cara dan pedekatan tersebut di tujukan untuk
mencapai kesadaran hukum masyarakat dengan indikator psikologis yang terdiri
dari: subyektif, intuitif, akal, empati, dan pemikiran psikologis lainnya.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian hasil analisis terhadap data yang dikumpulkan dapat
disimpulkan sebagai berikut:
Kesadaran hukum masyaralkat merupakan hasil
optimal dari keseluruhan proses sosialisasi hukum. Untuk sampai tahap tau hukum
dalam kapasitas pengertian dan aneka ragam pemahaman sudah banyak dan meluas di
kalangan masyarakat. Tetapi untuk tau hukum dalam pengertian tau Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku saat ini sebagai hukum positip yang mengatur
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara masih belum banyak, terleh
lagi warga warga masyarakat yang sampai pada tahap paham materi perundang-undangan
masih langka. Mereka yang tau tentang peraturan perundang-undangan mana yang
mengatur lalu-lintas, yang mengatur tentang perpajakan, yang mengatur tentang
perasuransian, yang mengatur tentang pertanahan, yang mengatur tentang
lingkungan hidup dan sebagainya masih jarang, dan umumnya tidak tau pasti
tentang undang-undang mana yang mengaturnya, lebih jarang lagi ditemukan adalah
mereka yang tau hukum sampai pada mengetahui kaidah atau norma-norma yang ada
pada setiap undang-undang. Dalam kondisi pengetahuan terhadap
perundang-undangan warga masyarakat seperti ini tentu saja merupakan hambatan
bagi kegiatan hukum untuk sampai pada tahap sadar hukum. Suatu hal yang
menguntungkan bahwa walaupun untuk mencapai tahap kesadaran hukum masyarakat
adalah masih banyak kesulitan, tapi berkat bantuan norma sosial lainya
(keagamaan, kesusilaan, dan kesopanan) maka untuk norma hukum banyak orang/
warga masyarakat yang melaksanakannya tanpa terlebih dahulu tau, dan paham
materi undang-undang yang mengatur hal tersebut. Disini letak perlunya dukungan
norma sosial lainnya terhadap upaya efektifitas hukum yang harus diperhatikan
para komunikator penyuluhan hukum dalam pelaksanaan kegiatannya. Dalam hal
upaya menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat tehnik penyuluhan hukum yang
digunakan tidak cukup sekedar untuk pemberitahuan atau menginformasikan tentang
aturan-aturan hukum dan pesan-pesan hukum saja yang lebih tepat dikerjakan oleh
aktifitas teknik informasi dan dokumentasi hukum, sedangkan dalam hal kegiatan
teknik penyuluhan hukum utamanya adalah untuk kegiatan teknik pembudayaan atau
penyuluhan hukum bernuansa psikologis yang dapat menyentuh faktor kejiwaan
warga masyarakat agar mereka dalam menentukan pilihan atau putusannya
tergerakan untuk berbuat atau berperilaku sesuai dengan apa yang dikehendaki
kaidah hukum positif.
2.
Sejak pemerintahan ‘Orde Baru’ pemerintah telah melaksanakan kegiatan
penyuluhan hukum. Dilaksanakan tidak hanya oleh BPHN Dep Hukum dan Hak Asassi
manusia, tetapi juga oleh instansi lain (Kejaksaan, Pemerintah Daerah,
Perguruan Tinggi) sesuai kekhususan urusan hukum yang menjadi tupoksinya
masing-masing. Keefektifan kegiatan penyuluhan hukum adalah hasil totalitas
dari kemampuan komunikator, penyusunan materi penyuluhan, pemilihan teknis atau
alat komunikasi, dan kondisi masyarakat sebagai penerima pesan. Kwalitas
kemampuan komunikasi dari kegiatan penyuluhan yang mereka lakukan beraneka
ragam tergantung pada kemampuannya untuk pemenuhan unsur-unsur efektifitas
penyuluhan hukum tersebut. Kegiatan penyuluhan yang dikerjakan aparatur
pemerintah, termasuk di B.P.H.N adalah pelaksanaan tugas administrasi negara
dalam rangka pembinaan hukum nasional yang kinerjanya harus
dipertanggungjawabkan secara administratif dan hasil kerjanya terhadap pemerintah.
Sasaran utama kegiatan penyuluhan hukum yang dikerjakan B.P.H.N utamanya adalah
untuk pembentukan citra warga masyarakat terhadap hukum. Kegiatan penyuluhan
dimaksudkan telah dilaksanakan secara konsisten dan penuh tanggungjawab sesuai
aturan hukum yang menjadi sumber asas legalitasnya. Sehingga terjalin suatu
koordinasi pusat dan daerah dalam rangka kegiatan penyuluhan hukum. Walaupun
dalam hal sarana prasarana, dana, juga dalam hal penggunaan tehnis penyuluhan
hukum masih belum sesuai dengan kebutuhan yang dihadapi dan tentu hasilnyapun
belum optimal sesuai yang diharapkan. Untuk kegiatan penyuluhan hukum di luar
B.P.H.N terutama di daerah-daerah dalam hal tehnik penyuluhan umumnya masih
dalam kwalitas sederhana mengingat dana, dan SDM yang masih terbatas. Kegiatan
penyuluhan hukum umumnya masih dihadapkan pada berbagai kendala, diantaranya
dihadapkan pada realitas aneka ragam kondisi dan karakter masyarakat dimana
mereka ada yang mudah, juga ada yang susah untuk menerima aturan hukum, serta
dihadapkan pada fakta sosial yang tidak mendukung pembudayaan hukum dikarenakan
menampilkan terjadinya berbagai pelanggaran hukum terutama yang dilakukan oleh
oknum aparat negara dan aparat pemerintah yang seharusnya menteladani warga
masyarakat lainnya.
Perihal objek kegiatan penyuluhan hukum sampai
saat in belum tepat sasaran, dengan memperhatikan arahan Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Peraturan
Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah
Nasional Tahun 20-04-2009 bab IX tentang Pembenahan Sisten dan Politik yang di
dalamnya ada menjelaskan tentang sasaran pembangunan hukum, maka jelas bahwa
obyek penyuluhan hukum adalah seluruh lapisan masyarakat, utamanya adalah para
penyelenggara negara dan aparatur negara di tingkat pusat dan di tingkat
daerah. Menjadikan penyelenggara negara dan aparatur negara sebagai obyek utama
penyuluhan hukum selain perintah undang-undang adalah juga sangat sarional
karena mereka ini adalah pihak yang paling bertanggungjawab atas
pengimplementasian perundang-undangan dalam rangka fungsi hukum untuk
menyelenggarakan keadilan serta mengupayakan kesejahteraan masyarakat. Tapi
masalahnya bahwa sampai saat ini hampir setiap kegiatan penyuluhan hukum, termasuk
kegiatan penyuluhan hukum B.P.H.N objek utamanya ditujukan pada masyarakat
lapisan bawah, hal ini kurang tepat karena sebetulnya mereka ini adalah pihak
yang justeru sering dikenai hukum dan bukan penyebab utama keterpurukan hukum.
B.
Rekomendasi
Dengan kesimpulan seperti terurai diatas kami
rekomendasikan hal-hal sebagai berikut
1.
Untuk pembentukan kesadaran hukum masyarakat, dari segi aturan hukum
yang disuluhkan itupun hendaknya memuat ketentuan yang secara psikologis
memberikan imbalan bagi pemegang peran yang patuh ataupun melanggar aturan
hukum tersebut.
2.
Dari segi kegiatan penyuluhan hukum, perlu digunakan teknologi
komunikatif yang jangkauannya luas, juga dapat menyentuh faktor kejiwaan warga
masyarakat.
Terjadinya ketidak tahuan hukum, ketidak pahaman
hukum, dan ketidak patuhan hukum bisa terjadi disetiap lapisam masyarakat. Untuk
tidak menjadi korban hukum orang/ warga masyarakat dari masyarakat kecilpun
perlu penyuluhan hukum, tapi kalau dilihat dari skala prioritas objek, dalam
upaya untuk menjadikan hukum sebagai sarana perubahan maka yang paling p enting
untuk segera diadakan penyuluhan hukum adalah mereka yang rawan untuk
terjadinya pelanggaran hukum yaitu orang/ warga masyarakat yang menempati
posisi penting untuk jalannya roda pemerintahan dan sistem ekonomi nasional.
Walaupun tentunya dengan teknik yang berbeda dengan cara penyuluhan terhadap masyarakat
kecil yang awam hukum.
4.
Dengan penyuluhan hukum diharapkan masyarakat sadar hukum, sehingga
setiap anggota masyarakat menyadari dan menghayati hak dan kewajibannya sebagai
warga negara NKRI, dan membentuk budaya hukum dalam sikap dan perilaku yang
sadar, patuh, dan taat terhadap hukum serta menghormati hak asaasi manusia.
Keberhasilan penyuluhan hukum setidaknya harus
dapat mengimbangi asas hukum yang mengatakan bahwa semua orang dianggap sudah
tau hukum. Sehinga dalam keadaan dimana penyuluhan hukum telah betul-betul
menjadikan masyarakat tau dan paham hukum, tidak ada lagi alasan bagi seseorang
warga masyarakat yang menderita karena terkena sanksi hukuman atas suatu
pelanggaran hukum menyalahkan pihak pemerintah dengan dalih bahwa ia melakukan
pelanggara hukum dan terkena sanksi hukuman dikarenakan tidak tau hukum dan
pihak pemerintah tidak berupaya untuk menjadikannya tau dan paham hukum.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda