Prinsip-Prinsip Investasi Syari’ah
1.1 Prinsip-Prinsip
Investasi Syari’ah
Gusnawan
Yasni, salah satu anggota Dewan Syari’ah Nasional (DSN) dalam Modal (2004)
mengungkapkan bahwa dalam berinvestasi selain harus mempunyai entitas investasi
yang sesuai dengan syari’ah Islam, juga dalam cara mentransaksikan subtansi
tersebut harus sesuai dengan syariah islam. Jika investasi disini diterjemahkan
sebagai membeli satu sekuritas atau surat berharga tertentu, maka seorang
investor muslim semestinya harus memerhatikan karate emitennya (perusahaan yang
menerbitkan sekuritas tersebut).
Yang
mana kegiatan investasi tersebut harus diawali oleh akad yang jelas dan
transparan. Hal ini menjadi ketentuan yang berlaku di dalam syari’ah Islam, dan
terhindari dari hal-hal yang bersifattadlis
(penipuan)maysir (perjudian), gharar( ketidakjelasan), dan riba. Hal tersebut yang mencerminkan
bahwa kegiatan di dalam investasi tersebut sudah sesuai dengan kaidah islami.
Dengan itu, adapun prinsip-prinsip
investasi syariah yang mengatur untuk menjadi landasan bagi penetapan investasi
syariah dalam implementasi praktik investasi, antara lain:
a.
Haram karena bendanya (zatnya)
Benda atau zat yang
menjadi objek dari kegiatan tesebut berdasarkan Al-Qur’an dan hadist telah
dilarang (diharamkan) seperti: daging babi, bangkai, darah, dan binatang
sembelihan tanpa menyebut nama Allah adalah zat yang haram (QS. Al-Baqarah
[2]:173).
Contohnya di pasar
modal, transaksi saham yang aktivitas emtimennya memproduksi barang atau jasa
haram adalah haram hukumnya semisal saham perusahaan rokok, minuman keras, dan
lembaga keuangan konvensional.
Yang dapat dikatagorikan haram
apabila sesuatu yang memberikan dampak negatif bagi umat manusia.Termaksuk
dalam kategori media informasi yang mempromosikan ide-ide buruk dan merusak,
hiburan yang merusak moral dan segala sesuatu yang dapat mengikis akidah dan
etika.
b.
Haram selain zatnya
Selain
zat yang jelas-jelas haram, suatu transaksi juga dapat dikategorikan haram
apabila dalam transaksi tersebut terdapat unsur tadlis (penipuan) dan saling menzalimi.Tadlis adalah sesuatu yang
mangandung unsur penipuan.Tadlis dapat terjadi dalam empat hal yaitu hal
kuantitas, kualitas, harga, dan waktu penyerahan.
Selain tadlis, suatu transaksi
hendaknya juga terhindar dari unsur saling menzalimi, antaranya seperti riba,
gharar, masyir, riswah, ihtikar, dan ba’i najasy.
c.
Tidak sah akadnya
Akad merupakan
pertalian ijab (pernyataan meakukan ikatan) dan Kabul (pernyataan menerima
ikatan), sesuai dengan kehendak syariat yang berpengauh pada objek
perikatan.Atau seperti suatu perbuatan hokum yang melibatkan dua pihak atau
lebih, yang melakukan perjanjian.
Selain itu akad di
dasari pada asas sukarela (ihktiyari), menepati janji (amanah), kehati-hatian
(ihktiyati), tidak berubah (luzum), saling menguntungkan, kesetaraan (taswiyah),
transparan, kemampuan, kemudahan (taisir), itikad baik, dan sebab yang halal.
Akad syariah berbeda
dengan kontrak konvensional dimana dalam akad syariah terdapat prinsip konstan
(pada nilai objek jual belinya atau nisbah) serta transparan, nilai objek jual
beli (pada akad jual beli) atau proporsi nisbah (pada kerjasama bagi hasil)
adalah satu atau tidak berubah.Selain itu, transaksi juga dilakukan secara
transparan dan tidak ada tipu muslihat antara setiap pihak yang terlibat.
1.2 Kriteria
Investasi Islami Menurut Dewan Syari’ah Nasional MUI
Kriteria investasi islami yang
dikeluarkan dewan syari’ah Dow Jones Islamic tersebut sering dijadikan rujukan
bagi penetapan kiteria investasi islami, tidak terkecuali di
Indonesia.Dikarekan adanya sedikit perbedaan terutama ketika berbicara rasio
finansial, asalkan tidak menentang dengan sumber hokum yang ada.
Kriteria dikemukakan oleh fatwa
DSN-MUI untuk pedoman pelaksanaan investasi syari’ah.
Kriteria Investasi Halal
Menurut Dewan Syari’ah Nasional
Dengan syarat dan kriteria halal yang terpenuhi ini maka
investor muslim dapat berinvestasi ke dalam bentuk usaha sebagai berikut :
a.
Sektor Usaha
Para investor muslim dapat menginvestasikan dananya ke
dalam investasi di bidang financial asset atau rill asset selagi investasi
tersebut diperbolehkan oleh syari’ah.
b.
Perusahaan yang mendapatkan dana pembiayaan atau sumber
dana dari utang tidak lebih dari 30% modal.
c.
Pendapatan bunga yang diperoleh perusahaan tidak lebih
dari 15%
d.
Perusahaan yang memiliki aktiva kas atau piutang yang
jumlah piutang dagangnya atau modal piutang tidak lebih dari 50%