Sabtu, 15 Juli 2017

SEJARAH PERADABAN ISLAM



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Mu’awiyah nama lengkapnya adalah Mu’awiyah bin Abi Sofyan bin Harb bin Umayah bin Harb bin Abdi  Syams bin Abd Manaf Al-Quraisyi. Ibunya bernama Hindun binti Utbah bin Rabi’ah bin Abd Syams bin Abd Manaf. Dari silsilah inilah secara geneologis terjadi pertemuan antara nenek moyang bapaknya dengan nenek moyang ibunya yaitu pada Abd Syams. Mu’awiyah yang dijuluki Abu Abd Rohman dilahirkan kira-kira pada tahun ke-5 sebelum kenabian (606 M).
Mu’awiyah dan bapaknya masuk Islam pada peristiwa penaklukan kota Mekah. Mu’awiyah masuk Islam berusia kurang lebih 23 tahun. Pengakuan Mu’awiyah sendiri bahwa ia menjadi atau muslim jauh sebelum penaklukan kota Mekah, yaitu pada Yaum Al-Qadla. Ketika Rasulullah Saw dan para sahabat melakukan umrah, setelah perjanjian Hudaibiyah  tetapi keislamannya disembunyikan karena takut mendapat ancaman  dari keluarganya terutama ibunya, bahwa kalau dia masuk Islam pasokan makanan, warisan dan sebagainya akan dihentikan oleh keluarganya.
Setelah keislamannya Mu’awiyah mendapat kepercayaan dari  Rasulullah Saw untuk menjadi penulis wahyu. Jabatannya sebagai penulis wahyu ini sebagai penghargaan atas keluarga Bani Umayah.
Dari latar belakang di atas penulis tertarik untuk menggali lebih dalam mengenai Mu’awiyah bin Abu Sofyan dan pemerintahan Bani Umayah. Sehingga untuk lebih jelasnya akan dibahas dan dipaparkan pada bab selanjutnya.

B.       Rumusan Masalah
1.                       Apa saja penyebab runtuhnya pemerintahan Bani Umayah?
2.                       Siapa saja pemimpin bani umayyah?
3.                       Kapan bani umayah mulai berkuasa?
4.                       Siapa pendiri bani umayah?
C. tujuan
1.         Untuk mengetahui apa saja penyebab runtuhnya pemerintahan Bani Umayah
2.         Untuk mengetahui Siapa saja pemimpin bani umayyah
3.         Untuk mengetahui Kapan bani umayah mulai berkuasa
4.         Untuk mengetahui Siapa pendiri bani umayah




















BAB II
PEMBAHASAN

A.      Muawiyah (661-680)
Nama ibnu umayyah berasal dari nama seorang pemimpin kabilah kuraisy pada zaman jahiliyah ialah Umayyah Ibnu Abdi Syam Ibnu ‘Abdi Manaf. pada masa hidupnya Umayyah selalu bersaing dengan pamannya yang bernama Hasyim ibnu ‘ abdi manaf dalam merebut pimpinan dan pengaruh masyarakat bangsanya. Dalam persaingan ini, Umayyah dapat mencapai kemenangan dan dapat merebut kekuasaan karena ia berasal dari keluarga bangsawan, mempunyai banyak harta dan sepuluh orang putra yang terhormat dalam masyarakat.
Bani Umayyah baru masuk islam setelah tidak ada pilihan lain kecuali harus masuk islam. Pada waktu itu Nabi Muhamad SAW bersama ribuan kaum muslimin menyerbu kota Mekah dan disitulah Bani Umayyah menyatakan masuk Islam. Walaupun Bani Umayyah pernah menjadi musuh Rasulullah yang keras dan masuk islamnya juga yang paling belakang, tetapi setelah masuk islam, mereka dengan segera dapat menunjukan semangat kepahlawanan yang sulit dicari tandingannya. Mereka telah banyak sekelai mencatat prestasi dalam penyebaran agama islam. Antara lain, peperangan yang dilancarkan dalam memerangi orang-orang murtat, orang-orang yang mengaku dirinya nabi, dan orang-orang yang enggan membayar zakat.
Pada waktu Umar Bin Khatab menjadi khalifah, Mu’awiyah Bin Abi Sufyan (dari bani uamayah) diangkat sebagai gubernur daerah syam. Demikian pula pada masa Khalifah Utsman Bin Affan, jabatan sebagai gubernur didaerah syam masih tetep dan bahkan masi kuat kedudukannya. Dengan demikian, pada masa khalifah Ali Bin Abi Thalib, Muawiyah mempunyai kesempatan berjuang terus untuk merebut kekuasaan dan akhirnya Ali bin Abi Thalib dapat dikalahkan. Dengan berakhir pemeritahan Ali bin Abi Thalib, berarti pemerintahan khulafahurasyidin telah berakhir pula dan selanjutnya secara resmi jabatan khalifah berpindah kepada mu’awiyah dari bani umayyah.
Memasuki masa kekuasaan muawiyah yang menjadi awal kekuasaan bani umayah, pemerintah yang bersifat demokratis berubah menjadi monorchi (kerajaan turun temurun). Kekuasaan Muawiyah diperolah melalui kekerasan, diplomasi, dan tipu daya, tidak dengan melalui pemilihan, atau suara terbanyak. Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika muawiyah mewajibkan kepada seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia kepada anaknya, Yazid. Muawiyah bermaksud mencontoh kepemimpinan monarchi di Persia dan Bizantium. Dia memang tidak menggunakan istilah khalifah namun dia memberikan interprestasi baru dari kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah. Demikian awal mula berdirinya Dinasti Bani Umayah. 
Dengan meninggalnya Khalifah Ali, maka bentuk pemerintahan kekhalifahan telah berakhir, dan di lanjutkan dengan bentuk pemerintahan kerajaan (Dinasti), yakni kerajaan Bani Umayah (Dinasti Umayah). Daulat Bani Umayah didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb bin Umayah.[1]
Muawiyah pendiri dinasti dinasti Umayah, adalah anak Abu Sufyan. Muawiyah memperoleh kekuasaan tetapi kecuali di Siria dan Mesir, dia memerintah semata-mata dengan pedang. Didalam dirinya digabungkannya sifat-sifat seorang penguasa, politikus, dan administrator. Muawiyah adalah seorang peneliti sifat manusia yang tekun dan memperoleh wawasan yang tajam tentang pikiran manusia. Dia berhasil memanfaatkan para pemimpin, administrator dan politikus yang paling ahli pada waktu itu. Ia adalah seorang ahli pidato ulung[2]

B. Pemimpin-Pemimpin Bani Umayah
1. Pemerintahan mu’awiyah Ibnu abu Sufyan (41-60 H=661-680M)
a. pribadi Mu’awiyah ibnu Abu Sufyan
Mu’awiyah dilahirkan kira-kira 15 tahun sebelum hijrah dan masuk islam pada hari penaklukan kota mekah bersama-sama dengan penduduk kota mekah lainnya. Pada waktu Muawiyah berumur 23 tahun, Rasulullah berusaha mempererat hubungan antara orang-orang yang baru masuk islam dengan beliau, terutama dari kalangan pemimpin-pemimpin keluarga ternama. Hal ini dimaksudakan agar mereka dapat lebih mencurahkan perhatiannya terhadap islam dan ajaran-ajaran islam lebi meresap didalam hati mereka. Rasulullah berusaha agar Mu’awiyah dapat lebih akrab dengan beliau. Oleh sebab Mu’awiyah diangkat sebagai anggota sidang pleno penulis wahyu. Mu’awiyah juga dikenal sebagai sahabat yang banyak meriwayatkan hadits.
Dia adalah salah seorang penulis wahyu Rasulullah dan meriwayatkan sedikitnya 163 hadist dari Rasulullah. Rasulullah dalam hadist riwayat  Tirmidzi, pernah berdoa kepada Allah untuknya ”jadikanlah dia orang yang memberkan petunjuk jalan yang benar dan orang yang mendapat hidayah”. [3]
Muawiyah dikenal sebagai orang yang cerdas akalnya cerdik pandai lagi bijaksana. Ia mempunyai kedalaman ilmu pengetahuan terutama ilmu-ilmu keduniaan. Ia ahli di bidang siasat (politik), ahli hikmat, lemah lembut, fasih lidahnya dan sangat bermutu tutur katanya. Orang yang bergaul dengan dia jarang yang tidak tertarik karenah kelemahlembutannya dan manis bahasanya. Ia mempunyai pribadi yang menarik, sifatnya pemaaf dalam hal-hal yang patut dimaafkan dan keras jika memang perlu bertindak keras. Tetapi lebih banyak memaafkan dari pada marahnya. Ia seorang dermawan yang sering memberikan bantuan kepada orang yang perlu dibantu dan dia juga dikenal sebagai orang yang ingin berkuasa (ambisi jabatan).
b. Usaha mu’awiyah dalam mencapai kedudukan sebagai khalifah
Ada tiga macam usaha Mu’awiyah untuk mencapai kedudukan sebagai khalifah :  
1.                       Membujuk pasukan Ali agar bersedia meletakan senjata dalam perang shiffin yang kemudian diadakan Majelis Tahkim Daumatul Jandal.
2.                       Mu’awiyah mengadakan tekanan-tekanan kepada hasan sehingga akhirnya Hasan berdamai dan sekaligus menyerahkan kekuasaan kepada Mu’awiyah.
3.                       Mu’awiyah berusaha menghancurkan pemberontakan yang dilancarkan oleh kaum khawarij didaerah pedalaman Arabia, di Irak dan Iran.
Setelah Mu’awiyah menjabat sebagai Khalifah, maka ia pun mengangkat putranya Yazid sebagai putra mahkota, yang akan menggantikan kedudukannya sebagai Khalifah.
Tindakan Mu’awiyah ini tidak sesuai lagi dengan cara-cara yang telah ditempuh oleh Khulafaur Rsyidin, yaitu dalam menentukan khalifah berdasarkan musyawarah. Kecuali mengangkat putra mahkota, Mu’awiyah sendiri dalam usahanya menjadi khalifah juga tanpa melalui musyawarah terlebih dahulu. Kebijakan Mu’awiyah untuk mengangkat putranya Yazid menjadi putra mahkota sebenarnya mendapatkan tantangan dari sebagian besar umat Islam pada waktu itu, sehingga dia harus menghadapi persoalan yang sangat pelik dan penantangan yang sangat keras akibat keputusan ini.
Tentu saja apa yang dilakukan oleh Mu’awiyah ini tidak boleh dilakukan, sebab khalifah ini terbuka untuk kaum muslimin dan tidak boleh dilakukan dengan cara mewariskan, kekhalifaan ini bisa dipegang oleh siapa saja yang memiliki kemampuan.[4]
C. Mu’awiyah Wafat.
Mu’awiyah ibnu abi sufyan menduduki jabatan sebagai khalifah selama dua puluh (20) tahun, beliau wafat pada tahun enam puluh (60) Hijriyah atau enam ratus delapan puluh (680) masehi. Sebelum Mu’awiyah menduduki jabatan sebagai Khalifah, penah menjadi gubernur diwilayah Palestina, pada masa khalifah Umar Ibnu Khattab (634-644). Pada masa khalifah Usman bin Affan, Mu’awiyah menduduki jabatan sebagai gubernur didaerah syam.
Masa pemerintahannya dianggap sebagai salah satu pemerintahan yang paling baik dalam perjalanan kekuasaan islam. Keamanan internal terjamin dan unsur-unsur yang akan melakukan perlawanan terhadapnya selalu mengalami kekalahan. Dia berhasil melakukan penaklukan-penaklukan di semua medan dan diwarnai dengan kemenangan-kemenangan.[5]
Menjelang wafat, beliau berwasiat kepada putranya Yazid, yang telah diangkat sebagai putra mahkota (wliyu ahdi), yang isinya antara lain, bahwa musuhnya yang berusaha menghalang-halangi usahanya ada empat orang yaitu : Husain Ibn Ali, Abdurrahman Ibnu Abu Bakar, Abdullah Ibnu Zubair, dan Abdullah Ibnu Umar. Diantara empat orang musuh itu yang paling berbahaya adalah Abdullah Ibnu Zubair. Oleh karena itu jika tertangkap harus dibunuh jangan diberi ampun. Sedangkan yang lainnya jika tidak melawan jangan dibunuh dan hendaknya tetap dihormati.

2. Pemerintahan Yazid Ibnu Mu’awiyah. (60-64 H = 680-684)
Yazid Ibnu Mu’awiyah naik tahta sebagai khalifah pada usia 34 tahun menggantikan ayahnya. Berbeda dengan ayahnya yang dari sejak masa mudanya dalam meniti jenjang kepemimpinannya melalui tahapan-tahapan  yang beliku-liku sehingga dapat menduduki jabatan tertinggi dalam pemerintahan sebagai khalifah, Yazid tidak memiliki pengalaman sebagaimana yang dimiliki ayahnya, iya dibesarkan dikalangan istana yang semuanya serba mewah. Semenjak kecil dia dilayani oleh dayang-dayang istana. Iya kurang cakap dalam memegang pemerintahan. Oleh sebab itu pada Yazid tidak banyak usaha untuk perluasan islam, bahkan di negeri sendiri banyak terjadi pemberontakan-pemberontakan.

3. Pemerintahan Muawiyah II bin Yazid, 64-65 H / 683-684 M
Setelah Yazid wafat, pemerintahan digantikan oleh Mu’awiyah II bin Yazid. Namun, Mu’awiyah II tidak sanggup memerintah dan menyerahkan kepemimpinannya kepada Marwan bin Hakam.

4. Pemerintahan Marwan I Ibn Hakam (64-65 H = 684-685)
Jabatan yang pernah dipegang oleh Marwan Ibnu Hakam ialah sebagai sekertaris pada masa khalifah Usman bin Affan dan sebagai gubernur Hijaz yang berkedudukan di madinah pada masa khalifah Mu’awiyah.
Usaha marwan yang mula-mula dilakukan adalah menumpas Abdullah Ibnu Zubair, usaha ini mula-mula dengan mengirim pasukan kemesir dari tangan wali mesir yang telah diangkat oleh Abdullah Ibnu Zubair, ternyata pasukan marwan mendapatkan kemenangan.[6] Setelah pasukan Marwan menang dimesir, kemudian dilanjutkan dengan menumpas Abdullah Ibnu Zubair di hijaz beserta wali-wali yang telah diangkatnya. Belum selesai usaha penumpasan di hijaz ini, Marwan yang baru saja memerintah selama Sembilan  bulan menemuai ajalnya.
Sebelum itu beliau telah mengangkat Abdul Malik dan Abdul Azis sebagai putra mahkota yang akan menggantikannya sebagai kahalifah nanti ketika mangkat.

5. Pemerintahan Abdul Malik Ibnu Marwan (65-86 H = 685-705 M)
Abdul Malik Ibnu Marwan mulai menjabat sebagai khalifah pada saat usia 39 tahun setelah ayahnya (Marwan Ibnu Hakam) wafat. Ia terpandang sebagai seorang khalifah yang perkasa dan negarawan yang cakap dan berhasil memulihkan kembali kesatuan dunia islam.
Khalifah Abdul Malik mewarisi pemerintahan ayahnya dalam keadaan yang belum aman dan tertib. Oleh karena itu usaha yang diutamakan ialah mengamankan negerinya dari ancaman pemberontakan. Dengan demikian, maka Abdullah malik tidak sempat untuk melakukan perluasan daerah.
Pembersihan Terhadap Kaum Khawarij.
Setelah Abdul Malik dapat menumpas pemberontakan yang besar itu, kemudian beralih pandangannya untuk mengadakan pembersihan terhadap kaum, yang selalu membuat kekecauan didaerah timur. Untuk tugas ini Abdul Malik menyerahkan kepada dua panglima, yaitu :
1). Hajaj Ibnu Yusuf ditugaskan untuk mengadakan pembersihan didaerah Kuffah dan Basrah.
2). Mahlab ibnu Abi Shafrah ditugaskan untuk membersihkan didaerah Irak dan Persia.
Setelah pembersihan ini berhasil, maka amanlah daerah-daerah itu dari bencana peperangan.
Pemberontakan Amru Ibnu Said (70 H = 690 M )
Amru ibnu Said masih merupakan keluarga abdul malik. Ia ingin ditetapkan sebagai putra mahkota yang akan menggantikan sebagai khalifah setelah Abdul Malik. Hal ini dikabulkan oleh abdul malik sebagai suatu siasat saja.
Pada suatu malam Amru dipanggil oleh Abdul Malik untuk menghadap kepadanya. Maka datanglah Amru bersama-sama dengan beberapa pengikutnya. Setelah amru tiba tepat didepannya abdul malik, waktu itulah Abdul Malik menangkap dan membunuhnya. Kepelanya dilemparkan kepada pengikut-pengikutnya yang sedang menunggu dihalaman istanah.[7]
Melihat kepala pemimpinnya yang sudah bercerai dengan badannya, maka para pengikut amru menjadi putus asa untuk menolongnya dan kemudian mereka lari bercerai barai. Dengan demikian, maka keadaan di damaskus menjadi tentram kembali.

6. Pemerintahan Walid Ibnu Abdul Malik (86-96 H = 705-715M)
Walid Ibnu Abdul Malik naik tahta sebagai khalifa pada saat usia 34 tahun. Pribadinya sendiri sebenarnya kurang fasih dalam bahasa arab, sehingga pada suatu ketika pernah ditegur oleh ayahnya, bahwa yang dapat memimpin bangsa Arab hanyalah orang yang baik bahasanya. Teguran itu menjadi cambuk baginya untuk belajar sunguh-sungguh dalam bidang bahasa arab.
Meskipun walid kurang faseh dalam bidang bahasa arab, akan tetapi namanya sangat tercatat dalam daulat bani umayah, yang menjadikan bahasa arab sebagai bahasa diplomatic didalam hubungan dengan Negara-negara tetangga. Kebesaran Walid dapat diungkap, bahwa mu’awiyah adalah pendiri daulat Umayah, sedangkan abdul malik yang menstabilkan pemerintahan dan walid adalah menagakannya. Pada masanyalah Daulat Umayah mengalami keemasan. Pada masa itu segenap rakyat cinta padanya.
Usaha yang mula-mula dilakukan walid adalah mengangkat orang-orang kuat untuk menduduki jabatan-jabatan penting. Hujaj ibnu Yusuf diangkat sebagai amir (jabatan diatas gubernur) untuk wilayah timur yang berkedudukan di Basrah. Untuk selanjutnya Hajaj mengengkat dua tokoh berat, yaitu panglima kutaibah ibnu muslim mejedi gubernur wilayah Khurasan dan panglima Muhammad Ibnu Qasim menjadi gubernur wilayah sindu.


7. Pemerintah Sulaiman Ibnu Abdul Malik (96-99H) = 715-717 M)
Sulaiman Ibnu Abdul Malik naik tahta sebagai khalifah menggantikan kakaknya pada usia 42 tahun. Ia dikenal sebagai seorang khalifah yang tampan, sehingga digelar “raja remaja”.[8]
Khalifah sulaiman disamping dikenal sebagai khalifah yang memiliki sifat-sifat terpuji seperti fasih dan lancar berbicara, adil dan gemar ke medan perang, juga mempunyai sifat pendendam.
Panglima Musa Ibnu Nasir (penakhluk Andalusia) dipecat dan dipenjarakan sampai mati, karena ia dianggap tidak taat kepada sulaiman. Pada waktu sulaiman belum menjadi Khalifah, ia pernah berpesan kepada Musa yang pada saat itu menjabat sebagai Gubernur di Andalus supaya tidak pulang dahulu ke damaskus dengan membawa rampasan perang. Tetapi ternyata Musa datang juga kedamaskus sambil menyerahkan harta rampasan kepada Walid yang sedang sakit keras. Itulah sebabnya maka Musa dibalas penjara seumur hidup.
Sulaiman meninggal dunia di Dabik di perbatasan Bizantium setelah memegang kendali pemerintahan yang sangat singkat dan tidak begitu gemilang.
Diranjang kematiannya dia mencalonkan Umar Bin Abdul Azis sebagai penggantinya[9]watak sulaiman sangat kontradiktif , ia bermurah hati terhadap pengikutnya, dan begitu kejam terhadap musuh-musuhnya sebagaimana ayahnya.
8. Pemerintahan Umar Ibnu Abdul Azis (99-101 H = 717 – 720 M)
Pribadi Umar ibnu Abdul Azis
Umar ibnu Abdul Azis ialah seorang Khalifah dari Bani Umayah yang membuka lembaran baru dalam memegang pemerintahan islam. Ia mengendalikan pemerintahan sesuai dengan ajaran islam, yang sebenarnya sebagai yang telah dilakukan Abu Bakar dan Umar.
Pada saat Khalifah Sulaimanmen dekat ajalnya, maka ia telah menunjuk Umar ibnu abdul Azis sebagai penggantinya. Meskipun umar ibnu abdul azis bukan saudara seketurunannya, tetapi pilihan Sulaiman sangat tepat, karena umar adalah satu-satunya pemimpin yang dikehendaki masyarakat islam pada saat itu.
Umar ibnu Abdul Azis naik tahta sebagai khalifah pada usia 37 tahun. Sebelum menjadi khalifah ia menjadi gubernur wilayah Hijaz pada masa Khalifa walid. Di kala menjabat sebagai Gubernur, Umar ibnu Abdul Azis telah membangun dan memperluas mesjid nabawi dimadinah dan masjid Al HAram di Mekah. Masa Khalifah sulaiman ia menjabat sebagai Al-Katib ( sekertaris ).
Umar ibnu Abdul Azis adalah putera Marwan, ibunya bernama Laila binti Ashim yaitu cucu dari Umar ibnu Khatab. Istrinya bernama Fatimah binti Abdul Malik. Jadi Umar ibnu Abdul Azis adalah cicit Umar ibnu Khattab. Umar ibnu Abdul Azis mempunyai sifat-sifat mulia seperti moyangnya, yatu sopan santun, adil, sederhana, bertkwa kepada Allah Swt dan cinta kepada rakyatnya.
Umar ibnu Abdul Azis merupakan Khalifah bani Umayah yang sangat hebat. Beberapa ahli sejarah mengatakan bahwa pemerintahannya termashur seperti halnya pemerintahan ortodok atau pemerintahan Abu Bakar dan Umar. Diriwayatkan: “Tiga khalifah ialah Abu Bakar, Umar dan Umar bin Abdul Azis”.[10]
Hal-hal yang istimewa bagi Umar ibnu Abdul Azis dibanding dengan khalifah-khalifah sebelumnya dikalangan bani Umayyah ialah:
1.      Jabatan khalifah yang akan dipangkunya ditawarkan terlebih dahulu kepada masyarakat, dan ternyata kebanyakan mereka memilih Umar ibnu abdul Azis
2.      Lebih mementingkan urusan agama dari urusan politik.
3.      Lebih mementingkan persatuan umat islam dari pada golongan.
4.      Penyiaran islam dilakukan dengan jalan damai.
5.      Bersikap adil terhadap semua pihak.

9. Pemerintah Yazid Ibnu Abdul Malik (101-105 H = 720-724 M)
Yazid Ibnu Malik Ibnu Marwan naik tahta sebagai Khalifah ketika berumur 36 tahu, dengan gelar Yazid II. Pada permulaan pemerintahan ia mengikuti kebijakan yang dilakukan oleh Umar ibnu Abdul Azis. Hal ini tidak bertahan lama karena terlalu banyak penasehat-penasehatnya yang tidak senang dengan kebijaksanaan umar. Berbeda dengan Umar ibnu Abdul Azis yang sangat teguh menjalankan agama maka Yazid Ibnu Abdul Mlik orangnya pemabuk.
Diantara kebijakan Yazid ialah memecat beberapa orang Gubernur yang cakap, yang diangkat Umar ibnu Abdul Azis digantikan dengan pejabat baru yang kurang cakap. Yazid melakukan perluasan kedaerah turki dan berhasil menakhlukan Negeri belanjar dibawah pimpinan panglima Jarrah Ibnu Abdul Al-Hakami.

10.  Pemerintahan Hisyam Ibnu Abdul Malik (105-125=724-743)
Empat orang putera Abdul Malik yaitu : Al-Walid, Sulaiman, Yazid dan Hisyam, kesemuanya diangkat menjadi putra mahkota dan semuanya berhasil menjadi khalifah oleh sebab itu sering disebut: “Abul Muluk” artinya Ayah Raja-Raja.[11]
Hisyam Ibnu Abdul Malik naik tahta dalan usia 35 tahun mengentikan saudaranya yazid II. Berbeda dengan Yazid, maka Hisyam terpandang sebagai seorang negarawan yang cakap dan ahli strategi militer dan mempunyai cukup untuk mengemudikan roda pemerintahan, yaitu lebih kurang 20 tahun.

11.  Pemerintahan Al-Walid Ibnu Yazid Ibnu Abdul Malik (125-126/743-744 M)
Pada waktu walid ibnu yazid tengah berada dikota peristirahatan bernama Arzak di Sebelah Utara Damaskus, Khalifa Hisyam wafat. Para pembesar keluarga umayah memilih Al Walid untuk menjadi Khalifah. Ia dikenal dengan nama Walid II. Pada waktu itu ia berusia 39 tahun.
Keadaan pemerintah bani Umayah dibawah pimpnan Al Walid II mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan kelemahan Al Walid dengan sifat-sifat yang kurang terpuji. Karena perangainya yang kurang terpuji itu, maka ia dibenci oleh masyarakat dan keluarganya, sampai-sampai ia dituduh kafir. Akhir hayatnya ia meninggal karena terbunuh.

12.  Pemerintahan Yazid ibnu Al Walid Ibnu Abdul Malik (126 H = 744 M )    
Setelah Al Walid terbunuh  maka digantikan oleh Yazid III. Ia dikenal sebagai orang yang kuat beribadat. Ia digelari An-Naqish artinya yang mengurangi. Hal ini disebabkan karena ia mengurangi anggaran belanja untuk Mekah dan Madinah.
Pada masa pemerintahan sudah mulai goyang karena dengan diam-diam para pelapo daulat bani Abas bekerja keras untuk menyusun kekuatan yang berpusat di Khurasan. Mereka mulai melakukan propaganda ke Negara-negara lain. Tokoh-tokohnya antara lain Abu Muslim Al Khurasani dan Ibrahim Al Imam. Yazid III memerintah hanya selama lima bulan, sebab meninggal pada masa itu juga.


13.  Pemerintahan Ibrahim ibn Malik (744 M)
Pada masa pemerintahannya keadaan negara semakin kacau dan dia memerintah selama 3 bulan dan wafat pada tahun 132 H.

14.  Pemeritahan Marwan Ibnu Muhammad (127-132 H = 745-750 M)
Yazid wafat digantikan dengan saudaranya Ibrahim Ibnu Walid Ibnu Abdul Malik. Ia tidak mendapat dukungan rakyat, sehingga timbul beberapa pemberontakan. Pemberontakan Yang paling kuat dari Marwan Ibnu Muhammad Seorang Gubernur Armenia. Marwan dapat merebut beberapa kota dan akhirnya menguasai damaskus. Sejak itu Marwan mengangkat dirinya sebagai Khalifah yang berkedudukan di damaskus.
Dari 14 Khalifah tersebut, Khalifah-khalifah besar Dinasti Bani Umayah ini adalah Muawiyah Ibnu Abi Sufyan, Abdul Al-malik ibnu Marwan, Al-Walid ibnu Abdul Malik, Umar ibnu Abbdul Aziz dan Hasyim ibnu abdul Al-Malik[12]

B.  Basis Kekuatan Muawiyah
Muawiyah dapat menduduki kursi kekuasaan dengan berbagai cara, siasat, politik dan tipu muslihat yang licik, tidak atas pilihan dari kaum muslimin sebagaimana dilakukan oleh para khalifah. Dengan demikian, berdirinya Daulat Bani Umayah bukan berdasar pada hukum musyawarah atau demokrasi. Jabatan raja menjadi pusat yang turun temurun, dan Daulat Islam berubah sifatnya menjadi daulat yang bersifat kerajaan (Monarci).[13]
Muawiyah pada masa pemerintahanya telah bertindak mewariskan seorang Muslim dari seorang kafir tetapi tidak mewariskan seorang kafir dari seorang Muslim. Ketentuan yang berupa bid’ah (sesuatu yang diada-adakan dalam agama). Ibnu Katsir berkata bahwa Muawiyah juga telah mengganti Sunnah Rasul Saw. Dan para Khulafaur Rasyidun dalam urusan diyat. Sebelum itu, diyat (denda) pembunuhan terhadap seorang non-Muslim yang telah mengikat perjanjian dengan negara Islam, jumlahnya sama dengan diyat seorang Muslim. Tapi Muawiyah menguranginya sampai setengahnya dan ia mengambil setengahnya yang lain bagi dirinya sendiri.[14]
Keberhasilan Muawiyah adalah Perang Saudara Pertama dan pendirian dinasti kekuasaan Umayah bukan hanya akibat dari terjadinya pembunuhan terhadap Ali. Dari semua Gubernur Suriah memiliki keuntungan-keuntungan tertentu yang tidak di miliki saingannya, dan nilai yang mungkin akan memberinya kemenangan seandainya pertikaian di selesaikan di medan pertempuran. Paling tidak kalau di banding dengan Muawiyah. Dia seorang pejuang yang tangguh, walau cerita-cerita mengenai kegarangannya dengan pedang ketika perang Badar[15]
Ketika Muawiyah menolak mengakui Ali sebagai khalifah dan kemudian mengaku jabatan itu bagi dirinya, dia mewakili kepentingan-kepentingan Bani Umayah, kepentingan-kepentingan dari mereka yang memiliki keterampilan administratif yang sangat diperlukan dalam kemaharajaan yang cepat meluas itu. Dia juga di dukung oleh orang Arab Suriah yang selama beberapa tahun telah merasakan pemerintahannya yang baik. Kebanyakan orang Arab ini bukanlah orang-orang yang berasal dari gurun, tetap berasal dari keluarga-keluarga yang menetap di Suriah sejak satu atau dua generasi. Dengan demikian mereka jauh lebih stabil dan andal dibanding orang-orang pengembara yang mengikuti Ali. Kekuasaan orang-orang Arab Suriah ini adalah faktor penting yang membantu Muawiyah
Muawiyah sendiri memiliki kemampuan menonjol sebagai penguasa. Dia dilaporkan memiliki sampai tingkat yang tinggi sifat hilmi yang dikenal orang-orang Mekah. Berbagai terjemahan telah  diberikan bagi kata ini, yang beberapa diantaranya sedikit menyesatkan.
Terjemahan yang paling dekat mungkin adalah ‘ketenangan’, tetapi konsepsinya paling baik di pahami dengan melihat keburukan-keburukan yang berlawanan dengan kata itu. Kata itu ialah lawan dari tergesa-gesa dan kurang piker serta bertindak pada saat dipengaruhi oleh emosi. Kata itu berarti tidak mudah di bangun, tetapi menimbang konsekuensi dan implikasi suatu tindakan sebelum benar-benar bertindak.
Dalam satu aspek hal itu adalah suatu kebijakan dari seorang penguasa yang cerdik, tetapi dalam aspek lain hal itu menggambarkan kematangan watak. Muawiyah memiliki semua ini, dan pada saat yang bersamaan dia memiliki keterampilan praktis, dalam mengendalikan orang-orangnya. Karena itu dia sanggup mengatasi kesulitan-kesulitan yang timbul dalam kerajaan yang baru mulai tumbuh yang di perintahnya, dan berhasil menyelesaikan masalah-masalah yang merepotkan Usman dan Ali.
Dia juga bijaksana dalam memilih bawahan-bawahan untuk jabatan-jabatan penting. Waupun pemerintahan Muawiyah bebas dari pergolakan-pergolakan besar, terjdi kerusuhan-kerusuhan kecil. Beberapa diantaranya oleh kelompok-kelompok orang yang sebut Khawarij, yang pandangan-pandangannya serupa dengan pandangan-pandangan kelompok yang telah mengencam dan menentang Ali. Mengenai masalah dalam khilafah sendiri di bawah Muawiyah hanya ada satu hal kecil yang perlu disebutkan, yaitu masalah pewarisan jabatan. Di Arab pra-Islam tidak ada dasar hukum bagi pewaris jabatan pada putra tertua.[16]

C.  Keberhasilan Militernya
Setelah mengukuhkan kedudukannya didalam negri, Muawiyah menganut kebijakan luar negeri yang kuat. Perluasan kekuasaan muslim yang besar terjadi dibawah kepemimpinannya. Dia adalah organisator ulung bagi kemenangan-kemenangan. Menurut Prof. Hitty, pemerintah Muawiyah tidak hanya membuktikan konsolidasi, tetapi peluasan wilayah kekhalifahan. Pada masa kekhalifahan Muawiyah, kemajuan besar diperoleh di Timur. Orang-orang dari Heart memberontak, dan mereka ditindas pada tahun 661 M. Dua tahun kemudian Kabul juga diserbu. Operasi-operasi yang sama dilancarkan terhadap Ghazna, Balk, dan Kndahar serta benteng-benteng lainya. Pada tahun 667 M Bukhara direbut, dan dua tahun kemudian Samarkhand dan Tirmid diduduki. Di Timur jauh, tentara muslim hanya di bawah pimpinan Mahalib, anak Abu Sufra, maju sampai ketepi sungai Indus. Demkian Muawiyah menggabungkan seluruh wilayah Asia Tengah sampai ke daerah-daerah pinggiran Anak Benua Indo-Pakistan ke dalam kekuasaanya. Muawiyah tidak hanya menjadi bapak suatu dinasti, tetapi juga pendiri kedua setelah Umar.
Invasi pertama ke Afrika Utara di lakukan pada masa kekhalifahan Umar. Dibawah Usman, kekuasaan-kekuasaan Arab telah maju sampai ke Barce. Setelah kekalahan Gregorius, prefektus, Bizantium, dalam pertempuran yang patut dikenang tidak jauh dari Carthago kono, bangsa Romawi membayar upeti tahunan kepada bangsa Arab yang kemudian menarik diri dari negeri itu dengan hanya meninggalkan Garnizun-garnizun kecil disana-sini.
Gubernur-gubernur Romawi menduduki kembali wilayah-wilayah yang ditinggalkan itu, tetapi penindasan-penindasan dan pemerasan-pemerasan mereka tidak tertahankan sehingga tidak lama kemudian para penduduk asli menyerbu bangsa Arab untuk membebaskan mereka dari penindasan orang-orang Bizantium. Muawiyah meluluskan seruan mereka itu, dan suatu pasukan dibawah pimpinan Uqbah yang terkenal, anak nafe, menyerang Ifrikia, mematahkan semua perlawanan, menundukkan negri itu menjadi jajahan Arab.[17]

D.      Pengepungan Konstantinopel
            Pada tahun 48 H Muawiyah mempersiapkan pasukan tentara untuk menaklukan konstantinopel melalui darat dan laut. Komandan pasukan tentara kaum muslimin adalah Sufyan bin ‘Auf.[18] Peristiwa yang paling menyolok didalam kekhalifahan Muawiyah adalah pengepungan konstatinopel. Suatu kesatuan ekspedisi di bawah pimpinan Yazid berlayar menuju Dardanela dan berlabuh disana. Selama enam tahun umat Islam mengepung konstantinopel, ibu kota kerajaan Kristen, dan selama enam tahun keberanian bangsa Romawi dan benteng kota yang tidak bisa direbut itu membuat mereka dapat bertahan. Karena di tekan dari mana-mana, muawiyah memerintahkan penarikan pasukan dari pengepungan itu.

E.  Pemerintahan
            Khalifah Muawiyah mendirikan suatu pemerintahan yang terorganisasi dengan baik, “Situasi ketika Muawiyah menjadi penguasa mengandung banyak kesulitan. Pemerintahan imperiom itu didesentralisasikan, dan kacau serta munculnya anarkisme dan ketidakdisiplinan kaum nomad yang tidak lagi dikendalikan oleh ikata agama dan moral menyebabkan ketidakstabilan dimana-mana dan kehilangan kesatuan. Ikatan teokrasi yang telah mempersatukan kekhalifahan yang lebih dulu, tanpa dapat dihindari telah dihancurkan oleh pembunuhan Usman, oleh perang saudara sebagi akibatnya, dan ada pemindahan ibu kota dari Madinah.
Oligarki di Mekkah dikalahkan dan dicemarkan. Yang menjadi masalah bagi Muawiyah ialah mencari suatu dasar baru bagi kepaduan imperium itu. Karena itulah ia mengubah kedaulatan agama menjadi Negara sekoler. Akan tetapi perlu diingat bahwa unsur agama didalam pemerintahan tidak hilang sama sekali. Dia mematuhi formalitas agama dan kadang-kadang menunjukkan dirinya sebagai pejung Islam.
            Muawiyah melaksanakan perubahan-perubahan besar dan menonjol didalam pemerintahan negara itu. Dasar yang sebenarnya dari pemerintahannya terdapat dalam angkatan daratnya yang kuat dan efesien. Dia dapat mengandalkan pasukan orang-orang Siria yang taat dan setia, yang tetap berdiri disampingnya dalam keadaan yang paling berbahaya sekalipun. Dengan bantuan orang-orang Siria yang setia, Muawiyah berusaha mendirikan pemerintahan yang stabil menurut garis-garis pemerintahan Bizantium. Dia bekerja keras bagi kelancaran sistem yang untuk pertama kali digunakannya itu.
            Muawiyah merupakan orang pertama didalam Islam yang mendirikan suatu departemen pencatatan (Diwanul-khatam). Setiap peraturan yang dikeluarkan oleh khalifah harus disalin didalam suatu register, kemudian yang asli harus disegel dan dikirimkan ke alamat yang dituju. Sebelumnya, yang dikirimkan adalah perintah-perintah yang terbuka. Pernah terjadi khalifah memberikan 1000 dirham kepada seseorang dari pembendeharaan provinsi. Surat yang berisi perintah itu dicegat ditengah jalan, dan jumlahnya di ubah dengan angka yang lebih tinggi.[19]

F.   Masa Umayah di Timur (661-680)
            Hampir semua sejarawan membagi Dinasti Umayah (Umawiyah) menjadi dua, yaitu pertama, Dinasti Umayah yang dirintis dan didirikan oleh Muawiyah ibn Abi Sufyan yang berpusat di Damaskus (Suria). Fase ini berlangsung sekitar satu abad dan mengubah sistem pemerintahan dari sistem khilafah pada sistem mamlakat (Kerajaan atau Monarki) dan kedua, Dinasti Umayah di Andalusia (Siberia) yang pada awalnya merupakan wilayah taklukan Umayah dibawah pimpinan seorang Gubernur pada zaman Walid Ibn Abd Al-Malik, kemudian diubah menjadi kerajaan yang terpisah dari kekuasaan Dinasti Bani Abbas setelah berhasil menaklukkan Dinasti Umayah di Damaskus.

G. Prestasi Pemerintahan Umayah
            Perkembangan daerah umat Islam pada masa Umayah diikuti pula dengan kemajuan diberbagai bidang. Pembangunan berjalan pesat, baik dalam segi dakwah maupun pembangunan material. Umat Islam memahami Al-Qur’an yang merupakan pedoman hidup. Dari Al-Qur’an umat Islam menjabarkan berbagai cabang ilmu yang terkandung didalamnya.
            Adapun kemajuan-kemajuan atau prestasi yang diraih umat Islam yaitu:
1.      Kemajuan dibidang dakwah
Umat Islam mampu menyebarkan agama sampai ke Tiongkok, India, Maroko dan Spanyol (Andalusia), di samping umat Islam menyiarkan agama di dalam negeri sendiri dengan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, madrasah, membangun mesjid, menulis ilmu-ilmu agama dan lain-lainnya. Pada masa Umayah di mulai pelebaran mesjid Nabawi, mesjid Jami’ Umar, mesjid Damaskus dan lain-lainnya.
2.      Kemajuan di bidang ilmu
Ilmu berkembang sangat pesat, berbagai jenis ilmu ditemukan baik yang bersumber dari Al-Quq’an maupun ilmu yang bersumber dari akal. Ilmu-ilmu yang berkembang pesat seperti ilmu qira’at, ilmu tafsir, ilmu hadis, tata bahasa Arab, ilmu kimia, ilmu kedokteran, ilmu sejarah, ilmu seni arsitektur dan berdiri juga berbagai macam sekolah.
3.      Kemajuan di bidang pemerintahan
Daerah umat Islam pada pemerintahan Umayah sangat luas. Karenanya sangat perlu system pemerintahan yang maju, maka dibentuklah berbagai pegawai. Di dirikan kota-kota pusat pemerintahan, pusat-pusat pengadilan dan dibentuk pula polisi-polisi penjaga keamanan dan lain-lain.
4.      Kemajuan di bidang material
Khalifah-khalifah Umayah berhasil menggali sumber pendapatan Negara dari berbagai sektor pertanian, perdagangan, dan industry. Karena itu, pemerintah mampu membangun berbagai gedung yang sangat indah, gedung sekolah, kantor-kantor, istana dan bangunan lainnya.
5.      Kemajuan dibidang seni
Umat Islam sangat mencintai yang indah, maka pada masa khalifah-khalifah Umayah, masalah seni tidak ketinggalan. Bahkan mengalami kemajuan yang sangat pesat sekali. Bangunan-bangunan mesjid sangat indah, terbuat dari marmar, batu pualam dan dilengkapi dengan kaligrafi Arab.[20]


H.  Runtuhnya Pemerintahan Umayah
            Secara Revolusioner, Daulah Abbasiyyah (750-1258) menggulingkan kekuasaan Daulah Umayyah, kejatuhan Daulah Umayyah disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya meningkatnya kekecewaan kelompok Mawali terhadap Daulah Umayyah, pecahnya persatuan antarasuku bangsa Arab dan timbulnya kekecewaan masyarakat agamis dan keinginana mereka untuk memilki pemimpin karismatik. Sebagai kelompok penganut Islam baru, mawali diperlakukan sebagai masyarakat kelas dua, sementara bangsa Arab menduduki kelas bangsawan.
Golongan agamis merasa kecewa terhadap pemerintahan bani Umayyah karena corak pemerintahannya yang sekuler. Menurut mereka, Negara seharusnya dipimpin oleh penguasa yang memiliki integritas keagamaan dan politik. Adapun perpecahan antara suku bangsa Arab, setidak-tidaknya ditandai dengan timbulnya fanatisme kesukuan Arab utara, yakni kelompok Mudariyah dengan kesukuan Arab Selatan, yakni kelompok Himyariyah. Disamping itu, perlawanan dari kelompok syi`ah merupakan faktor yang sangat berperan dalam menjatuhkan Daulah Umayyah dan munculnya Daulah Abbasiyyah.
            Namun secara garis besar faktor yang menyebabkan Daulah Bani Umayyah lemah dan membawanya kepada kehancuran antara lain adalah :
1.      Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan adalah merupakan sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas. Ketidakjelasan sistem pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat dikalangan anggota keluarga istana.
2.      Latar belakang terbentuknya Daulah Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali. Sisa-sisa kaum Syi`ah (pengikut Ali) dan Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti dimasa awal dan akhir maupun secara tersembunyi seperti dimasa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
3.      Pada masa kekuasaan bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam, makin meruncing. Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Disamping itu, sebagian besar golongan Mawali (non Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian timur lainnya, merasa tidak puasa karena status Mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah.
4.      Lemahnya pemerintahan Daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah dilingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan, disamping itu, golongan agama yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.
5.      Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan Daulah Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori  oleh keturunan al-Abbas Ibn Abd. Al-Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi`ah dan kaum Mawali yang merasa dikelas duakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.[21]











BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Daulat Bani Umayah didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb bin Umayah. Muawiyah bin Abu Sufyan adalah seorang peneliti sifat manusia yang tekun dan memperoleh wawasan yang tajam tentang pikiran manusia. Dia berhasil memanfaatkan para pemimpin, administrator dan politikus yang paling ahli pada waktu itu. Muawiyah sendiri memiliki kemampuan menonjol sebagai penguasa. Dia juga bijaksana dalam memilih bawahan-bawahan untuk jabatan-jabatan penting. Walaupun pemerintahan Muawiyah bebas dari pergolakan-pergolakan besar, terjadi kerusuhan-kerusuhan kecil.
Adapun kemajuan-kemajuan atau prestasi yang diraih umat Islam yaitu:
1.      Kemajuan dibidang dakwah
2.      Kemajuan di bidang ilmu
3.      Kemajuan di bidang pemerintahan
4.      Kemajuan di bidang material
5.      Kemajuan dibidang seni
            Namun secara garis besar faktor yang menyebabkan Daulah Bani Umayyah lemah dan membawanya kepada kehancuran antara lain adalah :
1.      Sistem pergantian khalifah melalui garis keturunan
2.      Latar belakang terbentuknya Daulah Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali.
3.      Pada masa kekuasaan bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam, makin meruncing.
4.      Lemahnya pemerintahan Daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah dilingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan, disamping itu, golongan agama yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.
5.      Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan Daulah Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori  oleh keturunan al-Abbas Ibn Abd. Al-Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi`ah dan kaum Mawali yang merasa dikelas duakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.

B.     Saran
Sebaiknaya pembelajaran dibuat lebih menarik dan lebuh kreatif agar dapat memejukan pembelajaran bagi mahasiswa agar tidak mudah bosan dan jenuh.

Menurut pendapat saya:
Menurut saya, saya pantas memperoleh nilai “A” karena jika dilihat dari segi tugas, saya sering memperoleh pujian dari dosen baik dari kerapihan penulisan dan kemampuan saya dalam menggabunggan beberapa buku kedalam satu topic pembahasan dalam makalah. Kemudian saya juga termasuk salah satu mahasiswa aktif dikelas itu dibuktikan dengan saya memberi pendapat saya ketika diskusi dan jadi moderator saat diskusi.
 Dan untuk kehadiran, sedari saya SD insyaallah saya terkenal dengan sebutan sikebal dari teman-teman saya karena saya sangat jarang sekali tidak masuk sekolah. Bahkan pernah suatu hari saya sakit tapi saya tetap memaksakan diri untuk sekolah sampai akhirnya saya pingsan karena sudah tidak sanggup lagi sedangkan ketidakhadiran saya diabsen kelas itu karena alasan yang sangat mendadak yaitu saya terkena penyakit gejala tipus dan posisi saya sedang masih berada dikampung.
Jadi, tidak dapat memaksakan diri karena akan berdampak negative bagi saya dan apalagi orang tua saya tidak mengijinkan saya untuk pergi sendiri naik kendaraan umum sampai kondisi saya sudah benar-benar pulih. Itulah sedikit alasan mengapa saya merasa pantas mendapat nilai “A”.





[1] Ma’ruf Misbah, Sejarah Kebudayaan Islam, (Semarang: CV. Wicaksana, 1994) h. 20-21
[2] Syed Mahmudunnasir, Islam Konsep dan Sejarahnya, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994) h. 203
[3] Ahmad Al-Usairi, sejarah islam, Sejak zaman Nabi Adam hingga abad XX,  (Cet. V; Jakarta ;  Akbar media Eka Sarana, 2003), h. 186.
[4] Ibid, hlm. 192
[5] Log cit
[6] Depertemen Agama RI, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, Irektorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1987, h. 58.
[7] Ibid, hlm. 61
[8] Ibid, hlm. 64
[9] Syed Maahmudunnasir, Its Concepts Histori, di terjemahkan oleh Adang Afandi dengan judul islam dan konsep sejarahnya (cet IV; Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994) H. 226.
[10] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan kebudayaan islam, (t.tp Yogyakarta: Kota Kembang 1989), h. 96.

[11] Syed Mahmudunnasir, op cit. h. 239. 
[12] Harun nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai aspeknya, Jilid I, (Cet V: Jkarta: Unifersitas Indonesia (UI) Press, 1985), h. 61
[13] Ma’ruf Misbah, Sejarah Kebudayaan Islam, (Semarang: CV. Wicaksana, 1994) h. 21


[14] Abul A’la Al-Maududi, Kekhalifahan dan Kerajaan, (Bandung: Mizan, 1998) h. 223-224
[15] W. Montgomery Wati, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990) h. 15
[16] W. Montgomery Wati, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Oreintalis, (Yogyakarta: Tiara wacana, 1990), h. 18-20
[17] Syed Mahmudunnasir, Islam konsep dan Sejarahnya (Bandung: Rosda Karya). h. 174
[18]  Hasan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2001). h.  8

[19] Syed Mahmudunnasir, Islam Konsep dan Sejarahnya, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994) h. 204-205

[20] Ma’ruf Misbah, Sejarah Kebudayaan Islam, (Semarang: CV. Wicaksana, 1994) h. 29-30

[21] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, Cet. XII, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h. 49

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda