SEJARAH PERADABAN ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mu’awiyah nama lengkapnya adalah Mu’awiyah bin Abi Sofyan bin
Harb bin Umayah bin Harb bin Abdi Syams bin Abd Manaf Al-Quraisyi.
Ibunya bernama Hindun binti Utbah bin Rabi’ah bin Abd Syams bin Abd Manaf. Dari
silsilah inilah secara geneologis terjadi pertemuan antara nenek moyang
bapaknya dengan nenek moyang ibunya yaitu pada Abd Syams. Mu’awiyah yang
dijuluki Abu Abd Rohman dilahirkan kira-kira pada tahun ke-5 sebelum kenabian
(606 M).
Mu’awiyah dan bapaknya masuk Islam pada peristiwa penaklukan
kota Mekah. Mu’awiyah masuk Islam berusia kurang lebih 23 tahun. Pengakuan
Mu’awiyah sendiri bahwa ia menjadi atau muslim jauh sebelum penaklukan kota
Mekah, yaitu pada Yaum Al-Qadla. Ketika Rasulullah Saw dan para sahabat
melakukan umrah, setelah perjanjian Hudaibiyah tetapi keislamannya
disembunyikan karena takut mendapat ancaman dari keluarganya
terutama ibunya, bahwa kalau dia masuk Islam pasokan makanan, warisan dan
sebagainya akan dihentikan oleh keluarganya.
Setelah keislamannya Mu’awiyah mendapat kepercayaan
dari Rasulullah Saw untuk menjadi penulis wahyu. Jabatannya sebagai
penulis wahyu ini sebagai penghargaan atas keluarga Bani Umayah.
Dari latar belakang di atas penulis tertarik untuk menggali
lebih dalam mengenai Mu’awiyah bin Abu Sofyan dan pemerintahan Bani Umayah.
Sehingga untuk lebih jelasnya akan dibahas dan dipaparkan pada bab selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa saja penyebab runtuhnya pemerintahan Bani Umayah?
2.
Siapa saja pemimpin bani umayyah?
3.
Kapan bani umayah mulai berkuasa?
4.
Siapa pendiri bani umayah?
C. tujuan
1.
Untuk mengetahui apa saja penyebab runtuhnya pemerintahan Bani
Umayah
2.
Untuk mengetahui Siapa saja pemimpin bani umayyah
3.
Untuk mengetahui Kapan bani umayah mulai berkuasa
4.
Untuk mengetahui Siapa pendiri bani umayah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Muawiyah (661-680)
Nama ibnu umayyah berasal dari nama seorang pemimpin kabilah
kuraisy pada zaman jahiliyah ialah Umayyah Ibnu Abdi Syam Ibnu ‘Abdi Manaf.
pada masa hidupnya Umayyah selalu bersaing dengan pamannya yang bernama Hasyim
ibnu ‘ abdi manaf dalam merebut pimpinan dan pengaruh masyarakat bangsanya.
Dalam persaingan ini, Umayyah dapat mencapai kemenangan dan dapat merebut
kekuasaan karena ia berasal dari keluarga bangsawan, mempunyai banyak harta dan
sepuluh orang putra yang terhormat dalam masyarakat.
Bani Umayyah baru masuk islam setelah tidak ada pilihan lain
kecuali harus masuk islam. Pada waktu itu Nabi Muhamad SAW bersama ribuan kaum
muslimin menyerbu kota Mekah dan disitulah Bani Umayyah menyatakan masuk Islam.
Walaupun Bani Umayyah pernah menjadi musuh Rasulullah yang keras dan masuk
islamnya juga yang paling belakang, tetapi setelah masuk islam, mereka dengan
segera dapat menunjukan semangat kepahlawanan yang sulit dicari tandingannya.
Mereka telah banyak sekelai mencatat prestasi dalam penyebaran agama islam.
Antara lain, peperangan yang dilancarkan dalam memerangi orang-orang murtat,
orang-orang yang mengaku dirinya nabi, dan orang-orang yang enggan membayar
zakat.
Pada waktu Umar Bin Khatab menjadi khalifah, Mu’awiyah Bin Abi
Sufyan (dari bani uamayah) diangkat sebagai gubernur daerah syam. Demikian pula
pada masa Khalifah Utsman Bin Affan, jabatan sebagai gubernur didaerah syam
masih tetep dan bahkan masi kuat kedudukannya. Dengan demikian, pada masa
khalifah Ali Bin Abi Thalib, Muawiyah mempunyai kesempatan berjuang terus untuk
merebut kekuasaan dan akhirnya Ali bin Abi Thalib dapat dikalahkan. Dengan
berakhir pemeritahan Ali bin Abi Thalib, berarti pemerintahan khulafahurasyidin
telah berakhir pula dan selanjutnya secara resmi jabatan khalifah berpindah
kepada mu’awiyah dari bani umayyah.
Memasuki masa kekuasaan muawiyah yang menjadi awal kekuasaan
bani umayah, pemerintah yang bersifat demokratis berubah menjadi monorchi
(kerajaan turun temurun). Kekuasaan Muawiyah diperolah melalui kekerasan,
diplomasi, dan tipu daya, tidak dengan melalui pemilihan, atau suara terbanyak.
Suksesi kepemimpinan secara turun temurun dimulai ketika muawiyah mewajibkan kepada
seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia kepada anaknya, Yazid. Muawiyah
bermaksud mencontoh kepemimpinan monarchi di Persia dan Bizantium. Dia memang
tidak menggunakan istilah khalifah namun dia memberikan interprestasi baru dari
kata-kata itu untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya “Khalifah
Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah. Demikian awal mula
berdirinya Dinasti Bani Umayah.
Dengan meninggalnya Khalifah Ali, maka bentuk pemerintahan
kekhalifahan telah berakhir, dan di lanjutkan dengan bentuk pemerintahan
kerajaan (Dinasti), yakni kerajaan Bani Umayah (Dinasti Umayah). Daulat Bani
Umayah didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan bin Harb bin Umayah.[1]
Muawiyah pendiri dinasti dinasti Umayah, adalah anak Abu Sufyan.
Muawiyah memperoleh kekuasaan tetapi kecuali di Siria dan Mesir, dia memerintah
semata-mata dengan pedang. Didalam dirinya digabungkannya sifat-sifat seorang
penguasa, politikus, dan administrator. Muawiyah adalah seorang peneliti sifat
manusia yang tekun dan memperoleh wawasan yang tajam tentang pikiran manusia.
Dia berhasil memanfaatkan para pemimpin, administrator dan politikus yang
paling ahli pada waktu itu. Ia adalah seorang ahli pidato ulung[2]
B. Pemimpin-Pemimpin Bani Umayah
1. Pemerintahan mu’awiyah Ibnu abu Sufyan (41-60 H=661-680M)
a. pribadi Mu’awiyah ibnu Abu Sufyan
Mu’awiyah dilahirkan kira-kira 15 tahun sebelum hijrah dan masuk
islam pada hari penaklukan kota mekah bersama-sama dengan penduduk kota mekah
lainnya. Pada waktu Muawiyah berumur 23 tahun, Rasulullah berusaha mempererat
hubungan antara orang-orang yang baru masuk islam dengan beliau, terutama dari
kalangan pemimpin-pemimpin keluarga ternama. Hal ini dimaksudakan agar mereka
dapat lebih mencurahkan perhatiannya terhadap islam dan ajaran-ajaran islam
lebi meresap didalam hati mereka. Rasulullah berusaha agar Mu’awiyah dapat
lebih akrab dengan beliau. Oleh sebab Mu’awiyah diangkat sebagai anggota sidang
pleno penulis wahyu. Mu’awiyah juga dikenal sebagai sahabat yang banyak meriwayatkan
hadits.
Dia adalah salah seorang penulis wahyu Rasulullah dan
meriwayatkan sedikitnya 163 hadist dari Rasulullah. Rasulullah dalam hadist
riwayat Tirmidzi, pernah berdoa kepada Allah untuknya ”jadikanlah dia
orang yang memberkan petunjuk jalan yang benar dan orang yang mendapat
hidayah”. [3]
Muawiyah dikenal sebagai orang yang cerdas akalnya cerdik pandai
lagi bijaksana. Ia mempunyai kedalaman ilmu pengetahuan terutama ilmu-ilmu
keduniaan. Ia ahli di bidang siasat (politik), ahli hikmat, lemah lembut, fasih
lidahnya dan sangat bermutu tutur katanya. Orang yang bergaul dengan dia jarang
yang tidak tertarik karenah kelemahlembutannya dan manis bahasanya. Ia
mempunyai pribadi yang menarik, sifatnya pemaaf dalam hal-hal yang patut
dimaafkan dan keras jika memang perlu bertindak keras. Tetapi lebih banyak
memaafkan dari pada marahnya. Ia seorang dermawan yang sering memberikan
bantuan kepada orang yang perlu dibantu dan dia juga dikenal sebagai orang yang
ingin berkuasa (ambisi jabatan).
b.
Usaha mu’awiyah dalam mencapai kedudukan sebagai khalifah
Ada tiga macam usaha Mu’awiyah untuk mencapai kedudukan sebagai
khalifah :
1.
Membujuk pasukan Ali agar bersedia meletakan senjata dalam
perang shiffin yang kemudian diadakan Majelis Tahkim Daumatul Jandal.
2.
Mu’awiyah mengadakan tekanan-tekanan kepada hasan sehingga
akhirnya Hasan berdamai dan sekaligus menyerahkan kekuasaan kepada Mu’awiyah.
3.
Mu’awiyah berusaha menghancurkan pemberontakan yang dilancarkan
oleh kaum khawarij didaerah pedalaman Arabia, di Irak dan Iran.
Setelah Mu’awiyah menjabat sebagai Khalifah, maka ia pun
mengangkat putranya Yazid sebagai putra mahkota, yang akan menggantikan
kedudukannya sebagai Khalifah.
Tindakan Mu’awiyah ini tidak sesuai lagi dengan cara-cara yang
telah ditempuh oleh Khulafaur Rsyidin, yaitu dalam menentukan khalifah
berdasarkan musyawarah. Kecuali mengangkat putra mahkota, Mu’awiyah sendiri
dalam usahanya menjadi khalifah juga tanpa melalui musyawarah terlebih dahulu.
Kebijakan Mu’awiyah untuk mengangkat putranya Yazid menjadi putra mahkota
sebenarnya mendapatkan tantangan dari sebagian besar umat Islam pada waktu itu,
sehingga dia harus menghadapi persoalan yang sangat pelik dan penantangan yang
sangat keras akibat keputusan ini.
Tentu saja apa yang dilakukan oleh Mu’awiyah ini tidak boleh
dilakukan, sebab khalifah ini terbuka untuk kaum muslimin dan tidak boleh
dilakukan dengan cara mewariskan, kekhalifaan ini bisa dipegang oleh siapa saja
yang memiliki kemampuan.[4]
C. Mu’awiyah Wafat.
Mu’awiyah ibnu abi sufyan menduduki jabatan sebagai khalifah
selama dua puluh (20) tahun, beliau wafat pada tahun enam puluh (60) Hijriyah
atau enam ratus delapan puluh (680) masehi. Sebelum Mu’awiyah menduduki jabatan
sebagai Khalifah, penah menjadi gubernur diwilayah Palestina, pada masa khalifah
Umar Ibnu Khattab (634-644). Pada masa khalifah Usman bin Affan, Mu’awiyah
menduduki jabatan sebagai gubernur didaerah syam.
Masa pemerintahannya dianggap sebagai salah satu pemerintahan
yang paling baik dalam perjalanan kekuasaan islam. Keamanan internal terjamin
dan unsur-unsur yang akan melakukan perlawanan terhadapnya selalu mengalami
kekalahan. Dia berhasil melakukan penaklukan-penaklukan di semua medan dan
diwarnai dengan kemenangan-kemenangan.[5]
Menjelang wafat, beliau berwasiat kepada putranya Yazid, yang
telah diangkat sebagai putra mahkota (wliyu ahdi), yang isinya antara lain,
bahwa musuhnya yang berusaha menghalang-halangi usahanya ada empat orang yaitu
: Husain Ibn Ali, Abdurrahman Ibnu Abu Bakar, Abdullah Ibnu Zubair, dan Abdullah
Ibnu Umar. Diantara empat orang musuh itu yang paling berbahaya adalah Abdullah
Ibnu Zubair. Oleh karena itu jika tertangkap harus dibunuh jangan diberi ampun.
Sedangkan yang lainnya jika tidak melawan jangan dibunuh dan hendaknya tetap
dihormati.
2. Pemerintahan Yazid Ibnu Mu’awiyah. (60-64 H = 680-684)
Yazid Ibnu Mu’awiyah naik tahta sebagai khalifah pada usia 34
tahun menggantikan ayahnya. Berbeda dengan ayahnya yang dari sejak masa mudanya
dalam meniti jenjang kepemimpinannya melalui tahapan-tahapan yang
beliku-liku sehingga dapat menduduki jabatan tertinggi dalam pemerintahan
sebagai khalifah, Yazid tidak memiliki pengalaman sebagaimana yang dimiliki
ayahnya, iya dibesarkan dikalangan istana yang semuanya serba mewah. Semenjak
kecil dia dilayani oleh dayang-dayang istana. Iya kurang cakap dalam memegang
pemerintahan. Oleh sebab itu pada Yazid tidak banyak usaha untuk perluasan
islam, bahkan di negeri sendiri banyak terjadi pemberontakan-pemberontakan.
3. Pemerintahan Muawiyah II bin Yazid, 64-65 H / 683-684
M
Setelah Yazid wafat, pemerintahan digantikan oleh Mu’awiyah II
bin Yazid. Namun, Mu’awiyah II tidak sanggup memerintah dan menyerahkan
kepemimpinannya kepada Marwan bin Hakam.
4. Pemerintahan Marwan I Ibn Hakam (64-65 H = 684-685)
Jabatan yang pernah dipegang oleh Marwan Ibnu Hakam ialah
sebagai sekertaris pada masa khalifah Usman bin Affan dan sebagai gubernur
Hijaz yang berkedudukan di madinah pada masa khalifah Mu’awiyah.
Usaha marwan yang mula-mula dilakukan adalah menumpas Abdullah
Ibnu Zubair, usaha ini mula-mula dengan mengirim pasukan kemesir dari tangan
wali mesir yang telah diangkat oleh Abdullah Ibnu Zubair, ternyata pasukan
marwan mendapatkan kemenangan.[6]
Setelah pasukan Marwan menang dimesir, kemudian dilanjutkan dengan menumpas
Abdullah Ibnu Zubair di hijaz beserta wali-wali yang telah diangkatnya. Belum
selesai usaha penumpasan di hijaz ini, Marwan yang baru saja memerintah selama
Sembilan bulan menemuai ajalnya.
Sebelum itu beliau telah mengangkat Abdul Malik dan Abdul Azis
sebagai putra mahkota yang akan menggantikannya sebagai kahalifah nanti ketika
mangkat.
5. Pemerintahan Abdul Malik Ibnu Marwan (65-86 H = 685-705 M)
Abdul Malik Ibnu Marwan mulai menjabat sebagai khalifah pada
saat usia 39 tahun setelah ayahnya (Marwan Ibnu Hakam) wafat. Ia terpandang
sebagai seorang khalifah yang perkasa dan negarawan yang cakap dan berhasil
memulihkan kembali kesatuan dunia islam.
Khalifah Abdul Malik mewarisi pemerintahan ayahnya dalam keadaan
yang belum aman dan tertib. Oleh karena itu usaha yang diutamakan ialah
mengamankan negerinya dari ancaman pemberontakan. Dengan demikian, maka
Abdullah malik tidak sempat untuk melakukan perluasan daerah.
Pembersihan Terhadap Kaum Khawarij.
Setelah Abdul Malik dapat menumpas pemberontakan yang besar itu,
kemudian beralih pandangannya untuk mengadakan pembersihan terhadap kaum, yang
selalu membuat kekecauan didaerah timur. Untuk tugas ini Abdul Malik
menyerahkan kepada dua panglima, yaitu :
1). Hajaj Ibnu Yusuf ditugaskan untuk mengadakan pembersihan didaerah
Kuffah dan Basrah.
2). Mahlab ibnu Abi Shafrah ditugaskan untuk membersihkan
didaerah Irak dan Persia.
Setelah pembersihan ini berhasil, maka amanlah daerah-daerah itu
dari bencana peperangan.
Pemberontakan Amru Ibnu Said (70 H = 690 M )
Amru ibnu Said masih merupakan keluarga abdul malik. Ia ingin
ditetapkan sebagai putra mahkota yang akan menggantikan sebagai khalifah
setelah Abdul Malik. Hal ini dikabulkan oleh abdul malik sebagai suatu siasat
saja.
Pada suatu malam Amru dipanggil oleh Abdul Malik untuk menghadap
kepadanya. Maka datanglah Amru bersama-sama dengan beberapa pengikutnya.
Setelah amru tiba tepat didepannya abdul malik, waktu itulah Abdul Malik
menangkap dan membunuhnya. Kepelanya dilemparkan kepada pengikut-pengikutnya
yang sedang menunggu dihalaman istanah.[7]
Melihat kepala pemimpinnya yang sudah bercerai dengan badannya,
maka para pengikut amru menjadi putus asa untuk menolongnya dan kemudian mereka
lari bercerai barai. Dengan demikian, maka keadaan di damaskus menjadi tentram
kembali.
6. Pemerintahan Walid Ibnu Abdul Malik (86-96 H = 705-715M)
Walid Ibnu Abdul Malik naik tahta sebagai khalifa pada saat usia
34 tahun. Pribadinya sendiri sebenarnya kurang fasih dalam bahasa arab,
sehingga pada suatu ketika pernah ditegur oleh ayahnya, bahwa yang dapat
memimpin bangsa Arab hanyalah orang yang baik bahasanya. Teguran itu menjadi
cambuk baginya untuk belajar sunguh-sungguh dalam bidang bahasa arab.
Meskipun walid kurang faseh dalam bidang bahasa arab, akan
tetapi namanya sangat tercatat dalam daulat bani umayah, yang menjadikan bahasa
arab sebagai bahasa diplomatic didalam hubungan dengan Negara-negara tetangga.
Kebesaran Walid dapat diungkap, bahwa mu’awiyah adalah pendiri daulat Umayah,
sedangkan abdul malik yang menstabilkan pemerintahan dan walid adalah
menagakannya. Pada masanyalah Daulat Umayah mengalami keemasan. Pada masa itu
segenap rakyat cinta padanya.
Usaha yang mula-mula dilakukan walid adalah mengangkat
orang-orang kuat untuk menduduki jabatan-jabatan penting. Hujaj ibnu Yusuf
diangkat sebagai amir (jabatan diatas gubernur) untuk wilayah timur yang
berkedudukan di Basrah. Untuk selanjutnya Hajaj mengengkat dua tokoh berat,
yaitu panglima kutaibah ibnu muslim mejedi gubernur wilayah Khurasan dan
panglima Muhammad Ibnu Qasim menjadi gubernur wilayah sindu.
7. Pemerintah Sulaiman Ibnu Abdul Malik (96-99H) = 715-717 M)
Sulaiman Ibnu Abdul Malik naik tahta sebagai khalifah
menggantikan kakaknya pada usia 42 tahun. Ia dikenal sebagai seorang khalifah
yang tampan, sehingga digelar “raja remaja”.[8]
Khalifah sulaiman disamping dikenal sebagai khalifah yang
memiliki sifat-sifat terpuji seperti fasih dan lancar berbicara, adil dan gemar
ke medan perang, juga mempunyai sifat pendendam.
Panglima Musa Ibnu Nasir (penakhluk Andalusia) dipecat dan
dipenjarakan sampai mati, karena ia dianggap tidak taat kepada sulaiman. Pada
waktu sulaiman belum menjadi Khalifah, ia pernah berpesan kepada Musa yang pada
saat itu menjabat sebagai Gubernur di Andalus supaya tidak pulang dahulu ke
damaskus dengan membawa rampasan perang. Tetapi ternyata Musa datang juga
kedamaskus sambil menyerahkan harta rampasan kepada Walid yang sedang sakit
keras. Itulah sebabnya maka Musa dibalas penjara seumur hidup.
Sulaiman meninggal dunia di Dabik di perbatasan Bizantium
setelah memegang kendali pemerintahan yang sangat singkat dan tidak begitu
gemilang.
Diranjang kematiannya dia mencalonkan Umar Bin Abdul Azis
sebagai penggantinya[9]watak
sulaiman sangat kontradiktif , ia bermurah hati terhadap pengikutnya, dan
begitu kejam terhadap musuh-musuhnya sebagaimana ayahnya.
8. Pemerintahan Umar Ibnu Abdul Azis (99-101 H = 717 – 720 M)
Pribadi Umar ibnu Abdul Azis
Umar ibnu Abdul Azis ialah seorang Khalifah dari Bani Umayah
yang membuka lembaran baru dalam memegang pemerintahan islam. Ia mengendalikan
pemerintahan sesuai dengan ajaran islam, yang sebenarnya sebagai yang telah
dilakukan Abu Bakar dan Umar.
Pada saat Khalifah Sulaimanmen dekat ajalnya, maka ia telah
menunjuk Umar ibnu abdul Azis sebagai penggantinya. Meskipun umar ibnu abdul
azis bukan saudara seketurunannya, tetapi pilihan Sulaiman sangat tepat, karena
umar adalah satu-satunya pemimpin yang dikehendaki masyarakat islam pada saat itu.
Umar ibnu Abdul Azis naik tahta sebagai khalifah pada usia 37
tahun. Sebelum menjadi khalifah ia menjadi gubernur wilayah Hijaz pada masa
Khalifa walid. Di kala menjabat sebagai Gubernur, Umar ibnu Abdul Azis telah
membangun dan memperluas mesjid nabawi dimadinah dan masjid Al HAram di Mekah.
Masa Khalifah sulaiman ia menjabat sebagai Al-Katib ( sekertaris ).
Umar ibnu Abdul Azis adalah putera Marwan, ibunya bernama Laila
binti Ashim yaitu cucu dari Umar ibnu Khatab. Istrinya bernama Fatimah binti
Abdul Malik. Jadi Umar ibnu Abdul Azis adalah cicit Umar ibnu Khattab. Umar
ibnu Abdul Azis mempunyai sifat-sifat mulia seperti moyangnya, yatu sopan
santun, adil, sederhana, bertkwa kepada Allah Swt dan cinta kepada rakyatnya.
Umar ibnu Abdul Azis merupakan Khalifah bani Umayah yang sangat
hebat. Beberapa ahli sejarah mengatakan bahwa pemerintahannya termashur seperti
halnya pemerintahan ortodok atau pemerintahan Abu Bakar dan Umar. Diriwayatkan:
“Tiga khalifah ialah Abu Bakar, Umar dan Umar bin Abdul Azis”.[10]
Hal-hal yang istimewa bagi Umar ibnu Abdul Azis dibanding dengan
khalifah-khalifah sebelumnya dikalangan bani Umayyah ialah:
1.
Jabatan khalifah yang akan dipangkunya ditawarkan terlebih
dahulu kepada masyarakat, dan ternyata kebanyakan mereka memilih Umar ibnu
abdul Azis
2.
Lebih mementingkan urusan agama dari urusan politik.
3.
Lebih mementingkan persatuan umat islam dari pada golongan.
4.
Penyiaran islam dilakukan dengan jalan damai.
5.
Bersikap adil terhadap semua pihak.
9. Pemerintah Yazid Ibnu Abdul Malik (101-105 H = 720-724 M)
9. Pemerintah Yazid Ibnu Abdul Malik (101-105 H = 720-724 M)
Yazid Ibnu Malik Ibnu Marwan naik tahta sebagai Khalifah ketika
berumur 36 tahu, dengan gelar Yazid II. Pada permulaan pemerintahan ia
mengikuti kebijakan yang dilakukan oleh Umar ibnu Abdul Azis. Hal ini tidak
bertahan lama karena terlalu banyak penasehat-penasehatnya yang tidak senang
dengan kebijaksanaan umar. Berbeda dengan Umar ibnu Abdul Azis yang sangat
teguh menjalankan agama maka Yazid Ibnu Abdul Mlik orangnya pemabuk.
Diantara kebijakan Yazid ialah memecat beberapa orang Gubernur yang cakap, yang diangkat Umar ibnu Abdul Azis digantikan dengan pejabat baru yang kurang cakap. Yazid melakukan perluasan kedaerah turki dan berhasil menakhlukan Negeri belanjar dibawah pimpinan panglima Jarrah Ibnu Abdul Al-Hakami.
Diantara kebijakan Yazid ialah memecat beberapa orang Gubernur yang cakap, yang diangkat Umar ibnu Abdul Azis digantikan dengan pejabat baru yang kurang cakap. Yazid melakukan perluasan kedaerah turki dan berhasil menakhlukan Negeri belanjar dibawah pimpinan panglima Jarrah Ibnu Abdul Al-Hakami.
10. Pemerintahan Hisyam Ibnu Abdul Malik (105-125=724-743)
Empat orang putera Abdul Malik yaitu : Al-Walid, Sulaiman, Yazid
dan Hisyam, kesemuanya diangkat menjadi putra mahkota dan semuanya berhasil
menjadi khalifah oleh sebab itu sering disebut: “Abul Muluk” artinya Ayah Raja-Raja.[11]
Hisyam Ibnu Abdul Malik naik tahta dalan usia 35 tahun
mengentikan saudaranya yazid II. Berbeda dengan Yazid, maka Hisyam terpandang
sebagai seorang negarawan yang cakap dan ahli strategi militer dan mempunyai
cukup untuk mengemudikan roda pemerintahan, yaitu lebih kurang 20 tahun.
11. Pemerintahan Al-Walid Ibnu Yazid Ibnu Abdul Malik
(125-126/743-744 M)
Pada waktu walid ibnu yazid tengah berada dikota peristirahatan
bernama Arzak di Sebelah Utara Damaskus, Khalifa Hisyam wafat. Para pembesar
keluarga umayah memilih Al Walid untuk menjadi Khalifah. Ia dikenal dengan nama
Walid II. Pada waktu itu ia berusia 39 tahun.
Keadaan pemerintah bani Umayah dibawah pimpnan Al Walid II
mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan kelemahan Al Walid dengan sifat-sifat
yang kurang terpuji. Karena perangainya yang kurang terpuji itu, maka ia
dibenci oleh masyarakat dan keluarganya, sampai-sampai ia dituduh kafir. Akhir
hayatnya ia meninggal karena terbunuh.
12. Pemerintahan Yazid ibnu Al Walid Ibnu Abdul Malik (126
H = 744 M )
Setelah Al Walid terbunuh maka digantikan oleh Yazid III.
Ia dikenal sebagai orang yang kuat beribadat. Ia digelari An-Naqish artinya
yang mengurangi. Hal ini disebabkan karena ia mengurangi anggaran belanja untuk
Mekah dan Madinah.
Pada masa pemerintahan sudah mulai goyang karena dengan
diam-diam para pelapo daulat bani Abas bekerja keras untuk menyusun kekuatan
yang berpusat di Khurasan. Mereka mulai melakukan propaganda ke Negara-negara
lain. Tokoh-tokohnya antara lain Abu Muslim Al Khurasani dan Ibrahim Al Imam.
Yazid III memerintah hanya selama lima bulan, sebab meninggal pada masa itu
juga.
13. Pemerintahan Ibrahim ibn Malik (744 M)
Pada masa pemerintahannya keadaan negara semakin kacau dan dia
memerintah selama 3 bulan dan wafat pada tahun 132 H.
14. Pemeritahan Marwan Ibnu Muhammad (127-132 H = 745-750
M)
Yazid wafat digantikan dengan saudaranya Ibrahim Ibnu Walid Ibnu
Abdul Malik. Ia tidak mendapat dukungan rakyat, sehingga timbul beberapa
pemberontakan. Pemberontakan Yang paling kuat dari Marwan Ibnu Muhammad Seorang
Gubernur Armenia. Marwan dapat merebut beberapa kota dan akhirnya menguasai
damaskus. Sejak itu Marwan mengangkat dirinya sebagai Khalifah yang
berkedudukan di damaskus.
Dari 14 Khalifah tersebut, Khalifah-khalifah besar Dinasti Bani
Umayah ini adalah Muawiyah Ibnu Abi Sufyan, Abdul Al-malik ibnu Marwan,
Al-Walid ibnu Abdul Malik, Umar ibnu Abbdul Aziz dan Hasyim ibnu abdul Al-Malik[12]
B. Basis Kekuatan Muawiyah
Muawiyah dapat menduduki kursi kekuasaan dengan berbagai cara,
siasat, politik dan tipu muslihat yang licik, tidak atas pilihan dari kaum
muslimin sebagaimana dilakukan oleh para khalifah. Dengan demikian, berdirinya
Daulat Bani Umayah bukan berdasar pada hukum musyawarah atau demokrasi. Jabatan
raja menjadi pusat yang turun temurun, dan Daulat Islam berubah sifatnya
menjadi daulat yang bersifat kerajaan (Monarci).[13]
Muawiyah pada masa pemerintahanya telah bertindak mewariskan
seorang Muslim dari seorang kafir tetapi tidak mewariskan seorang kafir dari seorang
Muslim. Ketentuan yang berupa bid’ah (sesuatu yang diada-adakan dalam agama).
Ibnu Katsir berkata bahwa Muawiyah juga telah mengganti Sunnah Rasul Saw. Dan
para Khulafaur Rasyidun dalam urusan diyat. Sebelum itu, diyat
(denda) pembunuhan terhadap seorang non-Muslim yang telah mengikat perjanjian
dengan negara Islam, jumlahnya sama dengan diyat seorang Muslim. Tapi Muawiyah
menguranginya sampai setengahnya dan ia mengambil setengahnya yang lain bagi
dirinya sendiri.[14]
Keberhasilan Muawiyah adalah Perang Saudara Pertama dan
pendirian dinasti kekuasaan Umayah bukan hanya akibat dari terjadinya
pembunuhan terhadap Ali. Dari semua Gubernur Suriah memiliki
keuntungan-keuntungan tertentu yang tidak di miliki saingannya, dan nilai yang
mungkin akan memberinya kemenangan seandainya pertikaian di selesaikan di medan
pertempuran. Paling tidak kalau di banding dengan Muawiyah. Dia seorang pejuang
yang tangguh, walau cerita-cerita mengenai kegarangannya dengan pedang ketika
perang Badar[15]
Ketika Muawiyah menolak mengakui Ali sebagai khalifah dan
kemudian mengaku jabatan itu bagi dirinya, dia mewakili kepentingan-kepentingan
Bani Umayah, kepentingan-kepentingan dari mereka yang memiliki keterampilan
administratif yang sangat diperlukan dalam kemaharajaan yang cepat meluas itu.
Dia juga di dukung oleh orang Arab Suriah yang selama beberapa tahun telah
merasakan pemerintahannya yang baik. Kebanyakan orang Arab ini bukanlah
orang-orang yang berasal dari gurun, tetap berasal dari keluarga-keluarga yang
menetap di Suriah sejak satu atau dua generasi. Dengan demikian mereka jauh
lebih stabil dan andal dibanding orang-orang pengembara yang mengikuti Ali.
Kekuasaan orang-orang Arab Suriah ini adalah faktor penting yang membantu
Muawiyah
Muawiyah sendiri memiliki kemampuan menonjol sebagai penguasa.
Dia dilaporkan memiliki sampai tingkat yang tinggi sifat hilmi yang
dikenal orang-orang Mekah. Berbagai terjemahan telah diberikan bagi
kata ini, yang beberapa diantaranya sedikit menyesatkan.
Terjemahan yang paling dekat mungkin adalah ‘ketenangan’, tetapi
konsepsinya paling baik di pahami dengan melihat keburukan-keburukan yang
berlawanan dengan kata itu. Kata itu ialah lawan dari tergesa-gesa dan kurang
piker serta bertindak pada saat dipengaruhi oleh emosi. Kata itu berarti tidak
mudah di bangun, tetapi menimbang konsekuensi dan implikasi suatu tindakan
sebelum benar-benar bertindak.
Dalam satu aspek hal itu adalah suatu kebijakan dari seorang
penguasa yang cerdik, tetapi dalam aspek lain hal itu menggambarkan kematangan
watak. Muawiyah memiliki semua ini, dan pada saat yang bersamaan dia memiliki
keterampilan praktis, dalam mengendalikan orang-orangnya. Karena itu dia
sanggup mengatasi kesulitan-kesulitan yang timbul dalam kerajaan yang baru
mulai tumbuh yang di perintahnya, dan berhasil menyelesaikan masalah-masalah
yang merepotkan Usman dan Ali.
Dia juga bijaksana dalam memilih bawahan-bawahan untuk
jabatan-jabatan penting. Waupun pemerintahan Muawiyah bebas dari
pergolakan-pergolakan besar, terjdi kerusuhan-kerusuhan kecil. Beberapa
diantaranya oleh kelompok-kelompok orang yang sebut Khawarij, yang
pandangan-pandangannya serupa dengan pandangan-pandangan kelompok yang telah
mengencam dan menentang Ali. Mengenai masalah dalam khilafah sendiri di bawah
Muawiyah hanya ada satu hal kecil yang perlu disebutkan, yaitu masalah
pewarisan jabatan. Di Arab pra-Islam tidak ada dasar hukum bagi pewaris jabatan
pada putra tertua.[16]
C. Keberhasilan Militernya
Setelah mengukuhkan kedudukannya didalam negri, Muawiyah
menganut kebijakan luar negeri yang kuat. Perluasan kekuasaan muslim yang besar
terjadi dibawah kepemimpinannya. Dia adalah organisator ulung bagi
kemenangan-kemenangan. Menurut Prof. Hitty, pemerintah Muawiyah tidak hanya
membuktikan konsolidasi, tetapi peluasan wilayah kekhalifahan. Pada masa
kekhalifahan Muawiyah, kemajuan besar diperoleh di Timur. Orang-orang dari
Heart memberontak, dan mereka ditindas pada tahun 661 M. Dua tahun kemudian
Kabul juga diserbu. Operasi-operasi yang sama dilancarkan terhadap Ghazna,
Balk, dan Kndahar serta benteng-benteng lainya. Pada tahun 667 M Bukhara
direbut, dan dua tahun kemudian Samarkhand dan Tirmid diduduki. Di Timur jauh,
tentara muslim hanya di bawah pimpinan Mahalib, anak Abu Sufra, maju sampai
ketepi sungai Indus. Demkian Muawiyah menggabungkan seluruh wilayah Asia Tengah
sampai ke daerah-daerah pinggiran Anak Benua Indo-Pakistan ke dalam
kekuasaanya. Muawiyah tidak hanya menjadi bapak suatu dinasti, tetapi juga
pendiri kedua setelah Umar.
Invasi pertama ke Afrika Utara di lakukan pada masa kekhalifahan
Umar. Dibawah Usman, kekuasaan-kekuasaan Arab telah maju sampai ke Barce.
Setelah kekalahan Gregorius, prefektus, Bizantium, dalam pertempuran yang patut
dikenang tidak jauh dari Carthago kono, bangsa Romawi membayar upeti tahunan
kepada bangsa Arab yang kemudian menarik diri dari negeri itu dengan hanya
meninggalkan Garnizun-garnizun kecil disana-sini.
Gubernur-gubernur Romawi menduduki kembali wilayah-wilayah yang
ditinggalkan itu, tetapi penindasan-penindasan dan pemerasan-pemerasan mereka
tidak tertahankan sehingga tidak lama kemudian para penduduk asli menyerbu
bangsa Arab untuk membebaskan mereka dari penindasan orang-orang Bizantium.
Muawiyah meluluskan seruan mereka itu, dan suatu pasukan dibawah pimpinan Uqbah
yang terkenal, anak nafe, menyerang Ifrikia, mematahkan semua perlawanan,
menundukkan negri itu menjadi jajahan Arab.[17]
D. Pengepungan
Konstantinopel
Pada
tahun 48 H Muawiyah mempersiapkan pasukan tentara untuk menaklukan
konstantinopel melalui darat dan laut. Komandan pasukan tentara kaum muslimin
adalah Sufyan bin ‘Auf.[18] Peristiwa
yang paling menyolok didalam kekhalifahan Muawiyah adalah pengepungan
konstatinopel. Suatu kesatuan ekspedisi di bawah pimpinan Yazid berlayar menuju
Dardanela dan berlabuh disana. Selama enam tahun umat Islam mengepung
konstantinopel, ibu kota kerajaan Kristen, dan selama enam tahun keberanian
bangsa Romawi dan benteng kota yang tidak bisa direbut itu membuat mereka dapat
bertahan. Karena di tekan dari mana-mana, muawiyah memerintahkan penarikan
pasukan dari pengepungan itu.
E. Pemerintahan
Khalifah
Muawiyah mendirikan suatu pemerintahan yang terorganisasi dengan baik, “Situasi
ketika Muawiyah menjadi penguasa mengandung banyak kesulitan. Pemerintahan
imperiom itu didesentralisasikan, dan kacau serta munculnya anarkisme dan
ketidakdisiplinan kaum nomad yang tidak lagi dikendalikan oleh ikata agama dan
moral menyebabkan ketidakstabilan dimana-mana dan kehilangan kesatuan. Ikatan
teokrasi yang telah mempersatukan kekhalifahan yang lebih dulu, tanpa dapat
dihindari telah dihancurkan oleh pembunuhan Usman, oleh perang saudara sebagi
akibatnya, dan ada pemindahan ibu kota dari Madinah.
Oligarki di Mekkah dikalahkan dan dicemarkan. Yang menjadi
masalah bagi Muawiyah ialah mencari suatu dasar baru bagi kepaduan imperium
itu. Karena itulah ia mengubah kedaulatan agama menjadi Negara sekoler. Akan
tetapi perlu diingat bahwa unsur agama didalam pemerintahan tidak hilang sama
sekali. Dia mematuhi formalitas agama dan kadang-kadang menunjukkan dirinya
sebagai pejung Islam.
Muawiyah
melaksanakan perubahan-perubahan besar dan menonjol didalam pemerintahan negara
itu. Dasar yang sebenarnya dari pemerintahannya terdapat dalam angkatan
daratnya yang kuat dan efesien. Dia dapat mengandalkan pasukan orang-orang
Siria yang taat dan setia, yang tetap berdiri disampingnya dalam keadaan yang
paling berbahaya sekalipun. Dengan bantuan orang-orang Siria yang setia,
Muawiyah berusaha mendirikan pemerintahan yang stabil menurut garis-garis
pemerintahan Bizantium. Dia bekerja keras bagi kelancaran sistem yang untuk
pertama kali digunakannya itu.
Muawiyah
merupakan orang pertama didalam Islam yang mendirikan suatu departemen
pencatatan (Diwanul-khatam). Setiap peraturan yang dikeluarkan oleh khalifah
harus disalin didalam suatu register, kemudian yang asli harus disegel dan
dikirimkan ke alamat yang dituju. Sebelumnya, yang dikirimkan adalah
perintah-perintah yang terbuka. Pernah terjadi khalifah memberikan 1000 dirham
kepada seseorang dari pembendeharaan provinsi. Surat yang berisi perintah itu
dicegat ditengah jalan, dan jumlahnya di ubah dengan angka yang lebih tinggi.[19]
F. Masa Umayah di Timur (661-680)
Hampir
semua sejarawan membagi Dinasti Umayah (Umawiyah) menjadi dua, yaitu pertama,
Dinasti Umayah yang dirintis dan didirikan oleh Muawiyah ibn Abi Sufyan yang
berpusat di Damaskus (Suria). Fase ini berlangsung sekitar satu abad dan
mengubah sistem pemerintahan dari sistem khilafah pada sistem mamlakat
(Kerajaan atau Monarki) dan kedua, Dinasti Umayah di Andalusia (Siberia) yang
pada awalnya merupakan wilayah taklukan Umayah dibawah pimpinan seorang
Gubernur pada zaman Walid Ibn Abd Al-Malik, kemudian diubah menjadi kerajaan
yang terpisah dari kekuasaan Dinasti Bani Abbas setelah berhasil menaklukkan
Dinasti Umayah di Damaskus.
G. Prestasi Pemerintahan Umayah
Perkembangan
daerah umat Islam pada masa Umayah diikuti pula dengan kemajuan diberbagai
bidang. Pembangunan berjalan pesat, baik dalam segi dakwah maupun pembangunan
material. Umat Islam memahami Al-Qur’an yang merupakan pedoman hidup. Dari
Al-Qur’an umat Islam menjabarkan berbagai cabang ilmu yang terkandung
didalamnya.
Adapun
kemajuan-kemajuan atau prestasi yang diraih umat Islam yaitu:
1. Kemajuan dibidang dakwah
Umat Islam mampu menyebarkan agama sampai ke Tiongkok, India,
Maroko dan Spanyol (Andalusia), di samping umat Islam menyiarkan agama di dalam
negeri sendiri dengan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, madrasah,
membangun mesjid, menulis ilmu-ilmu agama dan lain-lainnya. Pada masa Umayah di
mulai pelebaran mesjid Nabawi, mesjid Jami’ Umar, mesjid Damaskus dan
lain-lainnya.
2. Kemajuan di bidang ilmu
Ilmu berkembang sangat pesat, berbagai jenis ilmu ditemukan baik
yang bersumber dari Al-Quq’an maupun ilmu yang bersumber dari akal. Ilmu-ilmu
yang berkembang pesat seperti ilmu qira’at, ilmu tafsir, ilmu hadis, tata
bahasa Arab, ilmu kimia, ilmu kedokteran, ilmu sejarah, ilmu seni arsitektur
dan berdiri juga berbagai macam sekolah.
3. Kemajuan di bidang
pemerintahan
Daerah umat Islam pada pemerintahan Umayah sangat luas.
Karenanya sangat perlu system pemerintahan yang maju, maka dibentuklah berbagai
pegawai. Di dirikan kota-kota pusat pemerintahan, pusat-pusat pengadilan dan
dibentuk pula polisi-polisi penjaga keamanan dan lain-lain.
4. Kemajuan di bidang
material
Khalifah-khalifah Umayah berhasil menggali sumber pendapatan
Negara dari berbagai sektor pertanian, perdagangan, dan industry. Karena itu,
pemerintah mampu membangun berbagai gedung yang sangat indah, gedung sekolah,
kantor-kantor, istana dan bangunan lainnya.
5. Kemajuan dibidang seni
Umat Islam sangat mencintai yang indah, maka pada masa
khalifah-khalifah Umayah, masalah seni tidak ketinggalan. Bahkan mengalami
kemajuan yang sangat pesat sekali. Bangunan-bangunan mesjid sangat indah,
terbuat dari marmar, batu pualam dan dilengkapi dengan kaligrafi Arab.[20]
H. Runtuhnya Pemerintahan Umayah
Secara
Revolusioner, Daulah Abbasiyyah (750-1258) menggulingkan kekuasaan Daulah
Umayyah, kejatuhan Daulah Umayyah disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya
meningkatnya kekecewaan kelompok Mawali terhadap Daulah Umayyah, pecahnya
persatuan antarasuku bangsa Arab dan timbulnya kekecewaan masyarakat agamis dan
keinginana mereka untuk memilki pemimpin karismatik. Sebagai kelompok penganut
Islam baru, mawali diperlakukan sebagai masyarakat kelas dua, sementara bangsa
Arab menduduki kelas bangsawan.
Golongan agamis merasa kecewa terhadap pemerintahan bani Umayyah
karena corak pemerintahannya yang sekuler. Menurut mereka, Negara seharusnya
dipimpin oleh penguasa yang memiliki integritas keagamaan dan politik. Adapun
perpecahan antara suku bangsa Arab, setidak-tidaknya ditandai dengan timbulnya
fanatisme kesukuan Arab utara, yakni kelompok Mudariyah dengan
kesukuan Arab Selatan, yakni kelompok Himyariyah. Disamping itu,
perlawanan dari kelompok syi`ah merupakan faktor yang sangat berperan dalam
menjatuhkan Daulah Umayyah dan munculnya Daulah Abbasiyyah.
Namun
secara garis besar faktor yang menyebabkan Daulah Bani Umayyah lemah dan
membawanya kepada kehancuran antara lain adalah :
1. Sistem pergantian khalifah
melalui garis keturunan adalah merupakan sesuatu yang baru bagi tradisi Arab
yang lebih menekankan aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas.
Ketidakjelasan sistem pergantian khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan
yang tidak sehat dikalangan anggota keluarga istana.
2. Latar belakang
terbentuknya Daulah Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik
politik yang terjadi di masa Ali. Sisa-sisa kaum Syi`ah (pengikut Ali) dan
Khawarij terus menjadi gerakan oposisi, baik secara terbuka seperti dimasa awal
dan akhir maupun secara tersembunyi seperti dimasa pertengahan kekuasaan Bani
Umayyah. Penumpasan terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan
pemerintah.
3. Pada masa kekuasaan bani
Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia
Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam, makin meruncing.
Perselisihan ini mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan
untuk menggalang persatuan dan kesatuan. Disamping itu, sebagian besar golongan
Mawali (non Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian timur lainnya, merasa
tidak puasa karena status Mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah
dengan keangkuhan bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah.
4. Lemahnya pemerintahan
Daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah dilingkungan istana
sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan
tatkala mereka mewarisi kekuasaan, disamping itu, golongan agama yang kecewa
karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat kurang.
5. Penyebab langsung
tergulingnya kekuasaan Daulah Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang
dipelopori oleh keturunan al-Abbas Ibn Abd. Al-Muthalib. Gerakan ini
mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi`ah dan kaum Mawali
yang merasa dikelas duakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.[21]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Daulat Bani Umayah didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan bin
Harb bin Umayah. Muawiyah bin Abu Sufyan adalah seorang peneliti sifat
manusia yang tekun dan memperoleh wawasan yang tajam tentang pikiran manusia.
Dia berhasil memanfaatkan para pemimpin, administrator dan politikus yang
paling ahli pada waktu itu. Muawiyah sendiri memiliki kemampuan menonjol
sebagai penguasa. Dia juga bijaksana dalam memilih bawahan-bawahan untuk
jabatan-jabatan penting. Walaupun pemerintahan Muawiyah bebas dari
pergolakan-pergolakan besar, terjadi kerusuhan-kerusuhan kecil.
Adapun kemajuan-kemajuan atau prestasi yang diraih umat Islam
yaitu:
1. Kemajuan dibidang dakwah
2. Kemajuan di bidang ilmu
3. Kemajuan di bidang
pemerintahan
4. Kemajuan di bidang
material
5. Kemajuan dibidang seni
Namun
secara garis besar faktor yang menyebabkan Daulah Bani Umayyah lemah dan
membawanya kepada kehancuran antara lain adalah :
1. Sistem pergantian khalifah
melalui garis keturunan
2. Latar
belakang terbentuknya Daulah Bani Umayyah tidak bisa dipisahkan dari
konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali.
3. Pada
masa kekuasaan bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani
Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang sudah ada sejak zaman sebelum Islam,
makin meruncing.
4. Lemahnya
pemerintahan Daulat Bani Umayyah juga disebabkan oleh sikap hidup mewah
dilingkungan istana sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban
berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi kekuasaan, disamping itu, golongan
agama yang kecewa karena perhatian penguasa terhadap perkembangan agama sangat
kurang.
5. Penyebab
langsung tergulingnya kekuasaan Daulah Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan
baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas Ibn Abd. Al-Muthalib.
Gerakan ini mendapat dukungan penuh dari Bani Hasyim dan golongan Syi`ah dan
kaum Mawali yang merasa dikelas duakan oleh pemerintahan Bani Umayyah.
B.
Saran
Sebaiknaya pembelajaran dibuat lebih menarik dan lebuh kreatif
agar dapat memejukan pembelajaran bagi mahasiswa agar tidak mudah bosan dan
jenuh.
Menurut
pendapat saya:
Menurut
saya, saya pantas memperoleh nilai “A” karena jika dilihat dari segi tugas,
saya sering memperoleh pujian dari dosen baik dari kerapihan penulisan dan
kemampuan saya dalam menggabunggan beberapa buku kedalam satu topic pembahasan
dalam makalah. Kemudian saya juga termasuk salah satu mahasiswa aktif dikelas
itu dibuktikan dengan saya memberi pendapat saya ketika diskusi dan jadi
moderator saat diskusi.
Dan untuk kehadiran, sedari saya SD insyaallah
saya terkenal dengan sebutan sikebal dari teman-teman saya karena saya sangat
jarang sekali tidak masuk sekolah. Bahkan pernah suatu hari saya sakit tapi
saya tetap memaksakan diri untuk sekolah sampai akhirnya saya pingsan karena
sudah tidak sanggup lagi sedangkan ketidakhadiran saya diabsen kelas itu karena
alasan yang sangat mendadak yaitu saya terkena penyakit gejala tipus dan posisi
saya sedang masih berada dikampung.
Jadi,
tidak dapat memaksakan diri karena akan berdampak negative bagi saya dan
apalagi orang tua saya tidak mengijinkan saya untuk pergi sendiri naik
kendaraan umum sampai kondisi saya sudah benar-benar pulih. Itulah sedikit
alasan mengapa saya merasa pantas mendapat nilai “A”.
[1]
Ma’ruf Misbah,
Sejarah Kebudayaan Islam, (Semarang: CV. Wicaksana, 1994) h. 20-21
[3]
Ahmad Al-Usairi, sejarah islam, Sejak zaman
Nabi Adam hingga abad XX, (Cet. V; Jakarta ; Akbar media Eka
Sarana, 2003), h. 186.
[4]
Ibid, hlm. 192
[5]
Log cit
[6]
Depertemen Agama RI, Sejarah dan Kebudayaan
Islam 2, Irektorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1987, h. 58.
[7]
Ibid, hlm. 61
[8]
Ibid, hlm. 64
[9]
Syed Maahmudunnasir,
Its Concepts Histori, di terjemahkan oleh Adang Afandi dengan judul islam dan
konsep sejarahnya (cet IV; Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994) H. 226.
[10]
Hasan Ibrahim Hasan,
Sejarah dan kebudayaan islam, (t.tp Yogyakarta: Kota Kembang 1989), h. 96.
[12]
Harun nasution, Islam Ditinjau
dari Berbagai aspeknya, Jilid I, (Cet V: Jkarta: Unifersitas Indonesia (UI)
Press, 1985), h. 61
[14]
Abul A’la
Al-Maududi, Kekhalifahan dan Kerajaan, (Bandung: Mizan, 1998) h. 223-224
[15]
W. Montgomery Wati, Kejayaan Islam: Kajian
Kritis dari Tokoh Orientalis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990) h. 15
[16]
W. Montgomery Wati, Kejayaan Islam: Kajian
Kritis dari Tokoh Oreintalis, (Yogyakarta: Tiara wacana, 1990), h. 18-20
[17]
Syed Mahmudunnasir,
Islam konsep dan Sejarahnya (Bandung: Rosda Karya). h. 174
[18]
Hasan
Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Kalam Mulia,
2001). h. 8
[19]
Syed Mahmudunnasir,
Islam Konsep dan Sejarahnya, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994) h. 204-205
[21]
Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, Cet. XII, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2001), h. 49
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda