MAKALH USUL FIQIH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Di abad ini, seiring dengan perkembangan pemikiran dan budaya masyarakat,
setumpuk problematika kehidupun muncul kepermukaan. Mulai dari permasalahan
masyarakat kalangan bawah sampai pada kalangan atas. Mulai dari masalah
pribadi, keluarga, ekonomi, tak terkecuali sosial-politik. Semua itu memerlukan
jawaban yang mapan.
Islam
sebagai agama yang menjunjung tinggi harkat manusia dengan misi utamanya
"rahmatan lil alamin" , tertantang untuk menjawab semua problem di atas.
Tapi
benarkah Islam menjadi rahmat bagi segenap manusia, sementara sebagian
hukumnya–seperti yang terekam dalam sejumlah kitab klasik- terkesan sangat
memberatkan? Keraguan ini sangat beralasan, akan tetapi bisakah keraguan itu
dibenarkan? Ataukah keraguan tersebut hanya sebatas keraguan yang tak beralasan
karena kurang memahami prinsip hukum Islam?
Menurut Al Ghazali, maslahah harus
sejalan dengan tujuan syariat, sekalipun bertentangan dengan tujuan manusia.
Sebab, kemaslahatan yang dikehendaki oleh manusia tidak selamanya didasarkan
pada tujuan syariat. Tapi, sering didasarkan pada hawa nafsunya. Oleh karena
itu, parameter untuk menentukan kemaslahatan itu adalah tujuan syariat.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
Sejarah dan pengertian Maslahah al-Mursalah?
2. Apa
rukun dan syarat Maslahah al-Mursalah?
3. Apa
alasan ulama yang menyatakan bahwa Maslahah al-Mursalah termasuk bagian dari
sumber hukum Islam?
4. Apa
ulasan ulama yang menyatakan bahwa Maslahah al-Mursalah tidak termasuk bagian
dari sumber hukum Islam?
5. Sebutkan
10 contoh Maslahah al-Mursalah bagi ulama yang menyatakan bahwa Maslahah
al-Mursalah merupakan sumber hukum Islam?
C. Tujuan
1. Mahasiswa
dapat mengetahui sejarah dan pengertian serta rukun dan syarat Maslahah
al-Murasalah.
2. Mahasiswa
dapat mengetahui alasan ulama menyatakan bahwa Maslahah al-Mursalah termasuk
bagian dari sumber hukum Islam atau tidak.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Mashlahah al-Mursalah
Secara
bahasa, kata mashlahah مصلحة adalah jamak dari kata المصالح yang bermakna bermanfaat, seperti manfaat timbangan. Namun yang
dimaksud mashlahah disini adalah mendatangkan manfaat dan menghilangkan
kemudharatan. Sedangkan المرسلةadalah
المطلقة
(hal yang bersifat umum). [1]
Bisa
juga dikatakan bahwa al-mashlahah itu merupakan bentuk tunggal (mufrad)
dari kata al- mashalih. Pengarang kamus lisan al-‘arab menjelaskan dua
arti yaitu, al-mashlahah yang berarti al-shalaah dan al-mashlahah yang berarti
bentuk tunggal dari al-mashalih. Semuanya mengandung arti dari manfaat baik
secara asal maupun melalui suatu proses, seperti menghasilkan kenikmatan dan
faedah, atau pencegahan dan penjagaan, seperti menjauhi kemudharatan. Semua itu
bisa dikatakan mashlahah.
Adapun
secara istilah yang dimaksud dengan mashlahah sebagai berikut :
الْمَصْلَحَةُ هِيَ عِبَارَةٌ عَنِ
الْمَصْلَحَةُ الَّتِي قَصْدِهَا الشَارِعُ الْحَكِيْمُ لِعِباَدِهِ مِنْ حِفْظِ دِيْنِهِمْ
, وَاَنْفُسِهِمْ , وَعَقُوْلِهِم , وَنَسْلَهُمْ , وَاَمْوَالِهِمْ طَبَقَ تَرْتِيْبِ
مُعَيَّنٍ فِيْمَا بَيْنَهَا
“mashlahah
adalah sebuah gambaran perbuatan yang bermanfaat yang dimaksudkan oleh syara’
(Allah) untuk setiap hambanya dalam rangka memelihara agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta benda secara teratur.”
Definisi
dan pemaknaan yang senada juga disampaikan oleh Muhammad Sa’id Ali, mashlahah
adalah perbuatan bermanfaat yang ditujukan oleh syari’at (Allah) kepada hamba-Nya demi memelihara dan
menjaga agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya dan harta bendanya.
Al-Amidi
mendefinisikan mashlahah sebagai berikut :[2]
هي مصلحة لم يشهد الشارع لها لا با
عتبار ولا بإلغاء
“mashlahah adalah
kemashlahatan yang ditetapkan oleh syara’ , namun belum juga dinafikan.”
Imam
Al-Ghazali seperti tersebut dalam kutipan Wahbah Az-Zuhaili bahwa mashlahah
pada dasarnya adalah meraih manfaat dan menolak mudharat. Selanjutnya makna itu
ditegaskan untuk menjaga, maqasid asy-syari’ah yang lima. Yaitu agama,
jiwa, akal, nasab dan harta. Selanjutnya Al-Ghazali menegaskan , setiap perkara
yang ada salah satu unsur dari maqasid asy-syari’ah ia disebut mashlahah.
Sebaliknya jika tidak ada salah satu unsur maqasid asy-syari’ah, maka ia
merupakan mafsadat. Sedang mencegahnya adalah mashlahah.
Berdasarkan
keragaman definisi diatas al-Mashlahah al-Mursalah adalah suatu kemashlahatan
yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya. Jika
terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan syari’at dan tidak ada illat
yang keluar dari syara’ yang menentukan kejelasan hukum kejadian tersebut,
kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara’ yakni, suatu
ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemudharatan atau untuk menyatakan
suatu manfaat, maka kejadian tersebut dinamakan al-Mashlahah al-Mursalah.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa mashlahah mursalah merupakan suatu
metode ijithad dalam rangka menggali hukum (istinbath) syari’ah. Tapi
tidak berdasarkan pada Nash tertentu. Namun berdasarkan kepada pendekatan
maksud diturunkannya hukum syara’ (maqasid ash-syari’ah).
Tujuan
utama al-mashlahah al-mursalah adalah kemaslahatan, yakni memelihara dari
kemudharatan dan menjaga kemanfaatannya. Kemashlahatan yang menjadi tujuan
syara’ bukan kemashlahatan yang semata-mata berdasarkan keinginan dan hawa
nafsu saja. Sebab tujuan pensyari’atan hukum tidak lain adalah untuk
merealisasikan kemashlahatan manusia dalam sebuah aspek kehidupan dunia agar
terhindar dari berbagai bentuk kerusakan.[3]
Misalnya, perintah Allah dalam berjihad, yang terdapat dalam Surah Al-Baqarah
(2) : 193
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا
تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ ۖ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ
إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ
“Dan perangilah mereka
itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya
semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak
ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.”
Ayat di atas dapat diketahui tujuan
disyariatkannya perang adalah untuk melancarkan jalan dakwah bilamana terjadi
gangguan dalam mengajak umat manusia untuk menyembah Allah.
Contoh
lain, misalnya tujuan disyariatkannya qishash adalah untuk menjaga kehidupan
manusia, sebagaimana dijelaskan dalam surah Al-Baqarah (2): 179
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan dalam qishaash itu
ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya
kamu bertakwa.”
Contoh
lain, yaitu tujuan shalat adalah untuk mencegah perbuatan keji dan munkar. Hal
ini dijelaskan dalam surah Al-Ankabut (29): 45
اُتْلُ مَآاُوْحِيَ اِلَيْكَ مِنَ الْكِتٰبِ
وَاَقِمِ الصَّلٰوةَ ۗ اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ
وَلَذِكُرُاللهِ اَكْبَرُ ۗ وَاللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ
“Bacalah kitab (Alquran) yang telah diwahyukan kepadamu
(Muhammad) dan laksanakanlah sholat. Sesungguhnya sholat itu mencegah dari (perbuatan)
keji dan munkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (sholat) itu lebih besar
keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Sedangkan
perintah berzikir disebabkan alasannya dalam surah Al-Ra’d (13): 28
اَلَّذِيْنَ
اٰمَنُوْا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوْبُهُمْ
بِذِكْرِاللهِ ۗ اَلَا بِذِكْرِاللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوْبُ
“(yaitu)
orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat
Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”
Allah
melarang minuman khamar dan berjudi dalam surah Al-Maidah (5): 91[4]
اِنَّمَا يُرِيْدُ الشَّيْطَنِ اَنْ
يُّوْقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَآءَ فِى الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ
وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللهِ وَعَنِ الصَّلٰوةِ ۚ فَهَلْ اَنْتُمْ مُّنْتَهُوْنَ
“Dengan minuman keras dan judi itu, setan hanyalah bermaksud
menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu, dan menghalang-halangi
kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan sholat, maka tidaklah kamu mau
berhenti?.”
B. Kehujjahan
Mashlahah Al-Mursalah
Para
ulama ushul fiqh sepakat bahwa mashlahah mursalah tidak sah menjadi
landasan hukum dalam bidang ibadah karena bidang ibadah harus diamalkan
sebagaimana adanya yang diwariskan oleh Rasulullah SAW. Oleh karena itu, bidang
ibadah tidak berkembang. Dalam kehujjahan mashlahah mursalah, terdapat
perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul antara lain :
Kalangan
pertama. ulama-ulama syafi’iyyah, ulama
hanafiyyah, dan sebagian ulama malikiyah semisal Ibnu Hajib dan ahli zahir.
Mereka ini berpendapat bahwa mashlahah mursalah tidak dapat dijadikan
sebagai hujjah.[5]
Adapun
alasan ulama ushul fiqh bahwa mashlahah
mursalah tidak dapat dijadikan sebagai hujjah sebagai berikut :
1. Syari’at
Islam itu mempunyai tujuan menjaga kemashlahatan manusia yang dalam keadaan
terlantar tanpa petunjuk. Sedangkan petunjuk itu harus berdasarkan kepada nash.
Kalau saja kemashlahatan itu tidak berpedoman kepada i’tibar nash maka bukanlah
kemashlahatan yang hakiki.
2. Kalau
menetapkan hukum berdasarkan kepada mashlahah
mursalah yang terlepas dari syara’ maka besar kemungkinan akan
dipengaruhi oleh hawa nafsu, sedangkan hawa nafsu tak akan mampu memandang
kemashlahatan yang hakiki.
3. Pembinaan
hukum yang didasarkan kepada mashlahah mursalah berarti membuka pintu bagi
keinginan dan hawa nafsu yang mungkin tidak akan dapat terkendali.
4. Bila
suatu mashlahah ada petunjuk syar’i yang
membenarkan (mu’tabarah) maka ia telah termasuk dalam umumnya qiyas. Seandainya
tidak ada petunjuk syara’ yang membenarkan maka tidak mungkin disebut mashlahah
dan mengamalkan sesuatu yang diluar petujuk syara’ berarti mengakui kurang
lengkap atau kurang sempurna risalah Nabi.
5. Beramal
dengan mashlahah yang tidak mendapat pengakuan nash akan membawa kepada
pengamalan hukum yang berlandaskan sekehendak hati dan menurut hawa nafsu, cara
seperti ini tidaklah lazim dalam prinsip-prinsip islami.
6. Penggunaan
mashlahah dalam berijtihad tanpa berpegang pada nash akan memunculkan sikap
bebas dalam menetapkan hukum sehingga dapat mengakibatkan seseorang teraniaya
atas nama hukum. Hal ini tentu saja menyalahi prinsip “tidak boleh merusak,
juga tidak ada yang dirusak.”
7. Penggunaan
mashlahah dalam berijtihad tanpa berpegang pada nash akan memberi kemungkinan
mudahnya perubahan hukum syara’ seiring
perubahan waktu dan tempat, maka tidak akan ada kepastian hukum yang tetap. Hal
ini tidak sejalan dengan prinsip hukum syara’ yang universal dan lestari serta
meliputi semua umat Islam.[6]
Kalangan
kedua. Sebagian ulama mazhab Maliki dan
sebagiannya Asy-Syafi’iyyah. Mereka berpendapat bahwa mashlahah mursalah
dapat menjadi hujjah. Tetapi ia harus memnuhi syarat-syarat yang telah
ditentukan oleh ulama-ulama ushul, bahkan di antara ulama yang paling banyak
melakukan atau menggunakan mashlahah mursalah sebagai landasan penetapan
hukum adalah Imam Malik. Dengan alasan, Allah mengutus utusan-utusanNya ke permukaan
bumi ini untuk membimbing umatnya kepada kemashlahatan. Untuk menguat argumen
ini ia merujuk kepada salah satu ayat Alquran berikut :
وَمَآ أَرْسَلْنٰكَ إِلَّارَحْمَةً
لِلْعَلمِيْنَ
“tidaklah semata-mata Aku mengutusmu (Muhammad) kecuali untuk
kebaikan seluruh alam”. (QS. Al-Anbiya (21) : 107)
Adapun
alasan ulama ushul fiqh terhadap penggunaan mashlahah mursalah sebagai
hujjah sebagai berikut :
1. Syari’at
Islam diturunkan, seperti disimpulkan para ulama berdasarkan petunjuk-petunjuk
Alquran dan sunnah yang bertujuan untuk merealisasikan kemashlahtan dan
kebutuhan umat manusia. Kebutuhan umat manusia itu selalu berkembang dan tidak
mungkin semuanya dirinci dalm Alquran dan sunnah Nabi Muhammad SAW. Oleh karena
itu, apa saja yang dianggap mashlahah mursalah selama tidak bertentangan
dengan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW sah di jadikan hujjah.
2. Para
sahabat dalam berijitihad menganggap sah mashlahah mursalah sebagai
landasan hukum tanpa ada seorang pun membantahnya. Ambil contoh : ‘Umar bin
Khattab pernah menyita sebagian harta para pejabat di masanya yang diperoleh
dengan cara menyalahgunakan jabatannya. Praktik seperti ini tidak pernah
dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Akan tetapi hal itu perlu dilakukan oleh Umar
untuk menjaga harta negara dari rongrongan para pejabat. Landasan itulah
kemudian dijadikan sebagai pijakan mashlahah mursalah dalm menentukan
hukum Islam.
3. Adanya
pengakuan Nabi atas penjelasan Muaz ibn Jabal yang akan menggunakan ijtihad bil
ra’yi bila tidak ditemukan ayat Al-Qur’an dan Sunnah untuk menyelesaikan sebuah
kasus hukum. Penggunaan ijtihad ini mengacu pada penggunaan daya nalar atau
suatu yang dianggap maslahah. Nabi sendiri waktu itu tidak membebaninya untuk
mencari dukungan nash.
4. Adanya
amaliyah dan praktek di zaman sahabat yang walaupun saat itu belum ada istilah
maslahah mursalah, tetapi merupakan suatu keadaan yang sudah diterima bersama
tanpa saling menyalahkan. Seperti, pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah
pertama, memerangi orang yang tidak membayar zakat, pencetakan mata uang, dan
keputusan tidak memberi hak zakat kepada muallaf pada zaman Umar bin Khattab,
penyatuan cara baca Qur’an dan pemberlakuan adzan dua kali pada zaman Usman bin
Affan.
5. Suatu
maslahah bila telah nyata kemaslahatannya dan telah sejalan dengan maksud
pembuat hukum, maka menggunakan maslahah tersebut berarti telah memenuhi tujuan
syar’i meskipun tidak ada dalil khusus yang mendukungnya.
6. Bila
dalam keadaan tertentu untuk menetapkan hukum tidak boleh menggunakan metode
maslahah mursalah, maka akan menempatkan umat dalam kesulitan. Padahal Allah
sendiri menghendaki kemudahan dan menjauhkan kesulitan untuk hamba-Nya. Nabi
pun menghendaki umatnya menempuh cara yang lebih mudah dalam kehidupannya.[7]
C. Rukun
dan Syarat-Syarat Mashlahah Mursalah
Kalangan
yang mengakui kehujjahan mashlahah mursalah dalam pembentukan hukum
(Islam) telah mensyaratkan sejumlah syarat tertentu yang harus dipenuhi.
Sehingga mashlahah tidak bercampur dengan hawa nafsu, tujuan, dan keinginan
yang merusak manusia dan agama. Seseorang tidak menjadikan keinginannya sebagai
ilhamnya dan menjadikan syahwatnya sebagai syari’atnya.
Syarat-syarat
yang disampaikan oleh ulama ushul adalah sebagai berikut :
·
Bahwa mashlahah
tersebut dapat diterima oleh akal, bahwa semua kriterianya sesuai dan dapat
diterima oleh akal yang normal. Bahwa keteraturan dan ketetapan hukum padanya
bersifat qath’i bukan zhanni. Oleh karena itu mashlahah itu harus
hakikat, bukan hanya dugaan ahlul hilli wal aqdi atau orang-orang yang
mempunyai disiplin ilmu tertentu. Contoh. Dalil mashlahah yang dikatakan
dalam soal tidak sah mentalak istrinya kalau tidak di depan hakim. Maka bagi
orang yang telah mentalak istrinya di rumah, kemudian harus mentalak istrinya
sekali lagi di depan hakim dalam semua keadaan. Sesungguhnya pembentukan hukum
semacam itu sebut ulama ushul tidaklah mengandung mashlahah. Dan, tidak
pula sesuai dengan syarat yang telah disampaikan sebelumnya.
·
Bahwa mashlahah harus bersifat umum dan menyeluruh kepada
semua orang. Artinya, tidak khusus untuk orang tertentu dan tidak khusus untuk
sekelompok orang saja.
·
Bahwa mashlahah itu
harus sesuai dengan tujuan syara’. Artinya tidak bertentangan dengan ashal,
Nash dan atau dalil-dalil yang sudah qath’i. Seandainya tidak ada dalil
tertentu yang mengakuinya maka mashlahah tersebut tidak dapat diterima
karena tidak sejalan dengan tujuan syara’.[8]
D. Macam-macam
Mashlahah Al-Mursalah
Mashlahah, “dalam masalah pokok (ashal)
ia (mashlahah) adalah ungkapan untuk mencari sesuatu yang bermanfaat
(manfa’ah) atau untuk menghilangkan sesuatu yang merugikan (mudharrah).
Tetapi arti ini bukanlah yang dimaksudkan, sebab mencari kemanfa’atan dan
menghilangkan kerugian adalah tujuan-tujuan (maqashid) yang dituju oleh
penciptaan (khalq) dan yang diwujudkan oleh kebaikan (shalah)
penciptaan dalam mewujudkan tujuan-tujuannya (maqashid). Apa yang
dimaksudkan dengan mashlahah adalah memelihara tujuan syari’ah yang
mencakup 5 (lima) bentuk : memelihara agama, memelihara kehidupan, memelihara
akal, memelihara keturunan dan memelihara harta benda. Yang memastikan
terpeilharanya lima prinsip ini (ushul) adalah mashlahah.
Menurut Muhammad Khalid Mas’ud, seperti
yang dipahami dalam definisi di atas mashlahah dapat dibagi menjadi tiga jenis.
Pertama, mashlahah yang memiliki bukti tekstual yang mendukung
pertimbangannya. Kedua, mashlahah yang diingkari oleh bukti tekstual.
Ketiga, mashlahah yang tidak didukung ataupun disangkal oleh
bukti tekstual. Kategori yang pertama adalah mashlahah yang sahih dan bias
menjadi dasar bagi qiyas. Kategori kedua jenis terlarang. Kategori
ketigalah yang memerlukan pertimbangan lebih lanjut. Dari segi ini ada
tingkatan mashlahah yaitu darurat, hajat dan tahsinat atau
tazyinat.
Terpeliharanya kelima prinsip tersebut
diatas dicakup dalam tingkat darurat. Ini adalah jenis mashlahah yang paling
kuat menurut Muhammad Khalid Mas’ud. Derajat kedua ini terdiri dari mashaalih
dan munasabat yang tidak esensial dalam sendirinya tetapi perlu untuk
merealisasikan mashaalih pada umumnya.[9]
Adapun bila ditinjau secara syara’
terhadap mashlahah mursalah dapat dibagi ke dalam 3 bagian :
a.
Mashlahah at-Dharuriyah
(kebutuhan)
Mashlahah at-Dharuriyah adalah
perkara-perkara yang menjadi tempat tegaknya kehidupan manusia. Bila perkara
itu ditinggalkan maka akan berakibat rusaknya sendi kehidupan manusia.
Misalnya, kewajiban memeliahar jiwa, akal, harta, agama, kehormatan dan
keturunan. Kalau salah satu dari unsur itu rusak maka rusaklah kehidupan,
timbullah fitnah yang berakhir kepada kehancuran. Kemashlahatan dalam taraf itu
mencakup 6 (enam) prinsip dasar yang universal dari pensyari’atan dan istilah
ini dikenal juga dengan maqashid asy-syari’ah. Jika hal itu tidak terwujud maka
tata kehidupan akan timpang, kebahagiaan akhirat tidak tercapai. Karena itu,
keenam macam mashlahah itu menurut Asy-Syathibi, harus dipelihara dan
dilindungi.
b.
Mashlahah al-Hajjiyah
(sekunder)
Mashlahah al-Hajjiyah adalah semua
bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait dengan dasar yang lain (yang
ada pada mashlahah dharuriyah) yang dibutuhkan oleh manusia tetap dapat
terwujud. Tetapi tujuan utama dari mashlahah al-hajjiyah adalah memberikan
kemudahan hidup atau sesuatu yang membawa kepada kebebasan yang luas tanpa di
hinggapi oleh rasa takut terhadap kehilangan kemashlahatan hajjiyah semisal
jiwa akal, harta, agama, kehormatan, keturunan. Memelihara kemerdekaan pribadi
seperti semua orang memiliki kebebasan untuk datang dan pergi, bermain, dan
bisa tidur kapan saja selama tidak bertentangan dengan syari’at dan ini
termasuk dalam kategori mashlahah al-hajjiyah.
c. Mashlahah
al-Tahsiniyah (kelengkapan)
Mashlahah al-Tahsiniyah adalah
mempergunakan semua yang layak dan pantas yang menjadikan hidup menjadi indah
dan hebat, dan yang menjadi fokus utamanya adalah mahasinul khuluk dan
kecantikan rupa. Kemashlahatan ini lebih mengacu pada keindahan saja (زينة
للحياة) sifatnya hanya untuk kebaikan dan
kesempurnaan. Sekiranya tidak dapat diwujudkan atau dicapai oleh manusia
tidaklah sampai menyulitkan atau merusak tatanan kehidupan mereka. Tetapi ia
dipandang penting dan dibutuhkan tahsiniyat juga masuk dalam lapangan ibadah,
adat, muamalah dan lainnya. Ambil contoh memakai pakaian yang bagus-bagus
ditambah wangi-wangian ketika hendak melaksanakan sholat atau menghadiri
majelis. Ini bukanlah sebuah kebutuhan pokok melainkan untuk sebuah
kelengkapan. Namun setiap manusia tentunya juga membutuhkan dan menginginkan
al-tahsiniyah. Contoh lain, makan nasi adalah makanan pokok orang Aceh. Secara
adat setelah makanan siap dimasak lalu disajikan atau dihidangkan di atas meja
atau tidak lagi di ruang masak, dan penyajian itu tidak wajib.[10]
E. CONTOH
MASHLAHAH AL-MURSALAH
1. Melakukan
pencatatan perkawinan oleh petugas kantor urusan agama. Tujuan penulisan akta
pernikahan ini adalah untuk keperluan sahnya gugatan perkawinan, nafkah,
pembagian warisan, pembagian harta gono-gini dan lainnya.
2. Membuang
barang yang ada di atas kapal laut tanpa izin yang punya barang, disebabkan ada
gelombang besar yang mengakibatkan kapal oleng. Hal tersebut dilakukan demi
kemashlahatan seluruh penumpang dan menolak bahaya.
3. Pemerintah
mengatur usia perkawinan juga merupakan contoh mashlahah mursalah. Pengaturan
ini bertujuan untuk menjaga mashlahat yakni kesehatan pasangan dan
keturunannya.
4. Penetapan
riba pada bunga bank serta dikeluarkannya fatwa oleh para ulama tentang
berbagai hal misalnya label halal dalam kemasan makanan, sertifikat halal,
menetapkan jatuhnya talak tiga dengan sekali ucapan, menetapkan kewajiban
pajak, menyusun administrasi, membuat penjara dan lainnya.
5. Menulis
huruf Alquran ke huruf latin demi kemashlahatan umat yang belum lancar membaca
arab.
6. Tatkala
Islam masuk ke Irak, tanah Irak masih dimiliki oleh para pemilik asalnya yang
dikenai pajak (kharaj), karena untuk menjaga kemashlahatan umat Islam umumnya. Seharusnya
empat perlima tanah tersebut diberikan kepada oarang memerangi peperangan
sebagai harta rampasan atau keuntungan perang.
7. Inovasi zakat produktif. Zakat merupakan sumber
penting dalam struktur ekonomi Islam. Karena setiap muslim yang kekayaannya
mencapai nasab, di wajibkan membayar sebagian hartanya untuk orang miskin dan
yang memerlukan. Zakat produktif sendiri adalah dana zakat yang diberikan kepada seseorang atau sekelompok masyarakat
untuk digunakan sebagai modal kerja sehingga dengan adanya modal tersebut
mereka dapat membuka usaha yang akan memenuhi kebutuhan hidup secara terus menerus.
8. Waqaf
tunai. Waqaf tunai adalah waqaf yang dilakukan seseorang, suatu kelompok,
lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai, termasuk dalam pengertian
uang adalah surat-surat berharga, seperti saham dan cek. Ulama sendiri telah
menetapkan salah satu syarat waqaf adalah harta yang diwaqafkan harus bersifat
tetap, yaitu barang tersebut bisa dimanfaatkan tanpa merubah bentuknya, karena
itu para ulama sempat berbeda pendapat dalam hal ini namun akhirnya diputuskan
bahwa waqaf tunai dibolehkan karena lebih dekat dengan kemaslahatan umat dan
waqaf uang yang dimaksud bukanlah zat uangnya tapi nilainya sehingga bisa
diganti dengan uang lainnya selama nilainya sama.
9. Tindakan Abu Bakar terhadap orang-orang yang ingkar
membayar zakat, itu adalah demi kemaslahatan.
10.
Dalam Al-Qur’an
tidak ada perintah untuk mengumpulkan Al-Qur’an dari hafalan dan tulisan tetapi
para sahabat melakukannya.
Contoh mashlahah al-mursalah dalam ekonomi
:
1. Intervensi harga pemerintah pada saat distorsi pasar.
Intervensi pemerintah dalam hal ini yaitu dalam bentuk pengendalian harga. Hal
ini dilakukan hanya pada saat kondisi-kondisi tertentu yaitu apabila terjadi
distorsi pada harga pasar, terjadinya kasus monopoli (penimbunan) dan terjadi
keadaan al-hasr (pemboikotan). Maka demi kemaslahatan umat dan untuk melindungi
kepentingan masyarakat pemerintah harus melakukan intervensi harga.
2. Larangan
dumping (siyasah ighraq). Dumping merupakan praktek dagang yang dapat merusak
mekanisme pasar. Ada berbagai macam akibat yang ditimbulkan dari praktek
dumping ini, antara lain adalah produk barang sejenis yang ada di negara
domestic, pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran karena perusahaan dalam
negeri harus menghemat biaya operasionalnya agar dapat bersaing dengan
barang-barang impor yang harganya murah tersebut. Itulah yang menjadikan alasan
agama Islam melarang praktek dumping dalam kegiatan ekonomi, karena
mengakibatkan timbulnya mudharat dan hilangnya mashlahat di masyarakat luas.
3. Larangan
spekulasi valas karena mashlahah ‘ammah. Seseorang yang melakukan kegiatan
spekulatif dalam perdagangan biasanya berharap pada terjadinya fluktuasi harga
yang tinggi di pasar. Islam melarang praktek spekulasi ini, seperti yang telah
dijelaskan dalam hadist bahwa Nabi Muhammad SAW berkata : “barang siapa
menumpuk gandum di masa kekurangan (dengan maksud memperoleh keuntungan kelak),
ia berdosa besar”.
4. Mengadakan
pengadilan niaga syari’ah. Seiring perkembangan ekonomi yang cukup pesat
khusunya dalam bidang hukum Islam, maka kewenangan pengadilan agama pun
menangani perkara yang menyangkut bidang ekonomi syariah. Suatu lembaga
pengadilan niaga syariah sangat diperlukan untuk mengatur transaksi ekonomi dan
memberikan manfaat dan mashlahah bagi kehidupan ekonomi masyarakat.
5. kolateral
pada pembiayaan mudharabah. Pembiayaan mudharabah sebagai pembiayan yang
beresiko tinggi, karena bank akan selalu menghadapi permasalahan dari mudarib.
Hal ini dilakukan dengan untuk meyakinkan bahwa modal yang diberikan kepada
nasabah pembiyaan (mudarib) diharapkan dapat kembali seperti semula sesuai
dengan ketentuan ketika berlangsungnya kontrak.
6. Kartel
dan monopoli. Dalam ekonomi Islam, kartel merupakan tindakan yang akan
merugikan konsumen dan sangat potensial untuk menciptakan persaingan usaha yang
tidak sehat. Dengan dilarangnya kartel maka produsen akan terdorong untuk
menciptakan persaingan usaha yang sehat dan terciptanya efisiensi produksi.
7. Penerapan
revenue sharing pada bagi hasil. Perbankan syariah memperkenalkan sistem bagi
hasil kepada msyarakat dengan istilah revenue sharing yaitu sistem bagi hasil
yang dihitung dari total pendapatan pengelolaan dana tanpa dikurangi dengan
biaya pengelolaan dana. Penerapa revenue sharing pada bank syari’ah merupakan
salah satu aplikasi dalil mashlahah al-mursalah.
8. Kartu
kredit syari’ah. Syari’ah card merupakan salah satu produk bank syari’ah yang
dikeluarkan dengan prinsip kemudahan dan mashlahah.
F. DALIL-DALIL MASLAHAH AL-MURSALAH
Ada beberapa dasar hukum
atau dalil mengenai diberlakukannya teori Maslahah al-Mursalah diantaranya
adalah :
a.
Al-Qur’an
Di antara ayat yang
dijadikan dasar berlakunya Maslahah al-Mursalah adalah firman Allah SWT.
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً
لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah kami
mengutus kammu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS.
Al-Anbiya : 107)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ
مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ
لِلْمُؤْمِنِينَ
“Hai manusia,
sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari tuhanmu dan penyembuh bagi
penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi
orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus : 57)
b.
Hadits
Hadits yang dikemukakan
sebagai landasan atas kehujjahan Maslahah al-Mursalah adalah sabda Nabi SAW.
لاضرر ولاضرار
“Tidak boleh berbuat
mudhorat dan pula saling memudhoratkan.” (HR. Ibnu Majah dan Daruquthni dan
lainnya. Hadits ini berkualitas Hasan)
Para ulama yang menjadikan
Mursalah sebagai salah satu dalil syara’, menyatakan bahwa dalil hukum Maslahah
al-Mursalah ialah :
a.
Persoalan yang
dihadapi manusia selalu bertumbuh dan berkembang, demikian pula kepentingan dan
keperluan hidupnya.
b.
Sebenarnya para
sahabat, para tabi’in. tabi’ tabi’in dan para ulama yang datang sesudahnya
telah melaksanakannnya, sehingga mereka dapat segera menetapkan hukum sesuai
dengan kemaslahatan kaum muslimin pada masa itu.
c.
Perbuatan para
sahabat dan ulama salaf kehujjjahan Maslahah al-Mursalah juga di dukung alasan
rasional (dalil aqliyah). Sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Wahab Kholaf dalam
kitabnya ilmu ushul fiqh bahwa kemaslahatan manusia itu selalu aktual yang
tidak ada habisnya. Karenanya, kalau tidak ada syariat hukum yang berdasarkan
maslahat manusia berkenaan dengan maslahah baru yang terus berkembang dan
pembentukan hukum hanya berdasarkan prinsip maslahah yang mendapat pengakuan
syari’ah saja, maka pembentukan hukum akan berhenti dan kemaslahatan yang
dibutuhkan manusia di setiap masa dan tempat akan terabaikan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Para fuqoha berbeda pendapat dalam penggunaan “Al-Maslahah” sebagai dalil
penetapan hukum Islam, diantara mereka ada yang menggunakannya sebagai dalil
dalam menetapkan hukum bagi suatu maslah yang tidak ada Nash secara jelas
mengenai hal itu dan sebagian adapula yang tidak menggunakannya.
Al-Maslahah ditetapkan sebagai dalil karena betolak pada suatu pemikiran
yang ditetapkan oleh syara’ pasti membuahkan kebaikan dan manfa’at bagi umat
manusia.
Maslahah mursalah adalah suatu perbuatan yang mengandung
nilai baik (manfaat) dan memelihara tercapainya tujuan-tujuan syara’ yaitu
menolak mudarat dan meraih maslahah. Obyek maslahah mursalah berlandaskan pada hukum syara’
secara umum juga harus diperhatikan adat dan hubungan antara satu manusia
dengan yang lain. Secara ringkas maslahah mursalah itu juga difokuskan terhadap
lapangan yang tidak terdapat dalam nash, baik dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah,
yang menjelaskan hukum-hukum yang ada penguatnya melalui suatu I’tibar
(pelajaran).
B.
Saran
Sebagai
Mahasiswa muslim, kita harus meningkatkan pemahaman tentang mashlahah al
mursalah denagn lebih banyak membaca dan mengkaji buku-buku Islam.
[1] Muliadi Kurdi, Ushul Fiqh : Sebuah Pengenalan Awal, (Aceh :
Lembaga Naskah Aceh (NASA), 2015), hlm.210.
[2] Ibid, hlm.211.
[3] Ibid, hlm.212.
[4] Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : CV Rajawali Pers PT.
RajaGrafindo Persada, 1993), hlm. 61
[5]Muhammad Yusuf Musa, Pengantar Studi Fikih Islam, Cetakan 1,
Diterjemahkan oleh: Misbah, Muhammad, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar 2014), hlm
205-206
[6] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung : CV Pustaka Setia,
1998), hlm. 117.
[7] Muliadi Kurdi, Ushul Fiqh : Sebuah Pengenalan Awal, (Aceh :
Lembaga Naskah Aceh (NASA), 2015), hlm.214-215.
[8] Mardani, Ushul Fiqh, (
Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 87
[10] Dahlan Thamrin, Filsafat Hukum Islam, (Malang : UIN-Malang
Press, 2007), hlm. 118-124
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda