Selasa, 11 Juli 2017

MAKALH USUL FIQIH



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Di abad ini, seiring dengan perkembangan pemikiran dan budaya masyarakat, setumpuk problematika kehidupun muncul kepermukaan. Mulai dari permasalahan masyarakat kalangan bawah sampai pada kalangan atas. Mulai dari masalah pribadi, keluarga, ekonomi, tak terkecuali sosial-politik. Semua itu memerlukan jawaban yang mapan.
Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi harkat manusia dengan misi utamanya "rahmatan lil alamin" , tertantang untuk menjawab semua problem di atas.
Tapi benarkah Islam menjadi rahmat bagi segenap manusia, sementara sebagian hukumnya–seperti yang terekam dalam sejumlah kitab klasik- terkesan sangat memberatkan? Keraguan ini sangat beralasan, akan tetapi bisakah keraguan itu dibenarkan? Ataukah keraguan tersebut hanya sebatas keraguan yang tak beralasan karena kurang memahami prinsip hukum Islam?
Menurut Al Ghazali, maslahah harus sejalan dengan tujuan syariat, sekalipun bertentangan dengan tujuan manusia. Sebab, kemaslahatan yang dikehendaki oleh manusia tidak selamanya didasarkan pada tujuan syariat. Tapi, sering didasarkan pada hawa nafsunya. Oleh karena itu, parameter untuk menentukan kemaslahatan itu adalah tujuan syariat.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Sejarah dan pengertian Maslahah al-Mursalah?
2.      Apa rukun dan syarat Maslahah al-Mursalah?
3.      Apa alasan ulama yang menyatakan bahwa Maslahah al-Mursalah termasuk bagian dari sumber hukum Islam?
4.      Apa ulasan ulama yang menyatakan bahwa Maslahah al-Mursalah tidak termasuk bagian dari sumber hukum Islam?
5.      Sebutkan 10 contoh Maslahah al-Mursalah bagi ulama yang menyatakan bahwa Maslahah al-Mursalah merupakan sumber hukum Islam?
C.    Tujuan
1.      Mahasiswa dapat mengetahui sejarah dan pengertian serta rukun dan syarat Maslahah al-Murasalah.
2.      Mahasiswa dapat mengetahui alasan ulama menyatakan bahwa Maslahah al-Mursalah termasuk bagian dari sumber hukum Islam atau tidak.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Mashlahah al-Mursalah
Secara bahasa, kata mashlahah مصلحة adalah jamak dari kata المصالح yang bermakna bermanfaat, seperti manfaat timbangan. Namun yang dimaksud mashlahah disini adalah mendatangkan manfaat dan menghilangkan kemudharatan. Sedangkan  المرسلةadalah المطلقة (hal yang bersifat umum). [1]
Bisa juga dikatakan bahwa al-mashlahah itu merupakan bentuk tunggal (mufrad) dari kata al- mashalih. Pengarang kamus lisan al-‘arab menjelaskan dua arti yaitu, al-mashlahah yang berarti al-shalaah dan al-mashlahah yang berarti bentuk tunggal dari al-mashalih. Semuanya mengandung arti dari manfaat baik secara asal maupun melalui suatu proses, seperti menghasilkan kenikmatan dan faedah, atau pencegahan dan penjagaan, seperti menjauhi kemudharatan. Semua itu bisa dikatakan mashlahah.
Adapun secara istilah yang dimaksud dengan mashlahah sebagai berikut :
الْمَصْلَحَةُ هِيَ عِبَارَةٌ عَنِ الْمَصْلَحَةُ الَّتِي قَصْدِهَا الشَارِعُ الْحَكِيْمُ لِعِباَدِهِ مِنْ حِفْظِ دِيْنِهِمْ , وَاَنْفُسِهِمْ , وَعَقُوْلِهِم , وَنَسْلَهُمْ , وَاَمْوَالِهِمْ طَبَقَ تَرْتِيْبِ مُعَيَّنٍ فِيْمَا بَيْنَهَا
“mashlahah adalah sebuah gambaran perbuatan yang bermanfaat yang dimaksudkan oleh syara’ (Allah) untuk setiap hambanya dalam rangka memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta benda secara teratur.”
Definisi dan pemaknaan yang senada juga disampaikan oleh Muhammad Sa’id Ali, mashlahah adalah perbuatan bermanfaat yang ditujukan oleh syari’at  (Allah) kepada hamba-Nya demi memelihara dan menjaga agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya dan harta bendanya.
Al-Amidi mendefinisikan mashlahah sebagai berikut :[2]
هي مصلحة لم يشهد الشارع لها لا با عتبار ولا بإلغاء
 “mashlahah adalah kemashlahatan yang ditetapkan oleh syara’ , namun belum juga dinafikan.”
Imam Al-Ghazali seperti tersebut dalam kutipan Wahbah Az-Zuhaili bahwa mashlahah pada dasarnya adalah meraih manfaat dan menolak mudharat. Selanjutnya makna itu ditegaskan untuk menjaga, maqasid asy-syari’ah yang lima. Yaitu agama, jiwa, akal, nasab dan harta. Selanjutnya Al-Ghazali menegaskan , setiap perkara yang ada salah satu unsur dari maqasid asy-syari’ah ia disebut mashlahah. Sebaliknya jika tidak ada salah satu unsur maqasid asy-syari’ah, maka ia merupakan mafsadat. Sedang mencegahnya adalah mashlahah.
Berdasarkan keragaman definisi diatas al-Mashlahah al-Mursalah adalah suatu kemashlahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya. Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan syari’at dan tidak ada illat yang keluar dari syara’ yang menentukan kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara’ yakni, suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemudharatan atau untuk menyatakan suatu manfaat, maka kejadian tersebut dinamakan al-Mashlahah al-Mursalah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa mashlahah mursalah merupakan suatu metode ijithad dalam rangka menggali hukum (istinbath) syari’ah. Tapi tidak berdasarkan pada Nash tertentu. Namun berdasarkan kepada pendekatan maksud diturunkannya hukum syara’ (maqasid ash-syari’ah).
Tujuan utama al-mashlahah al-mursalah adalah kemaslahatan, yakni memelihara dari kemudharatan dan menjaga kemanfaatannya. Kemashlahatan yang menjadi tujuan syara’ bukan kemashlahatan yang semata-mata berdasarkan keinginan dan hawa nafsu saja. Sebab tujuan pensyari’atan hukum tidak lain adalah untuk merealisasikan kemashlahatan manusia dalam sebuah aspek kehidupan dunia agar terhindar dari berbagai bentuk kerusakan.[3] Misalnya, perintah Allah dalam berjihad, yang terdapat dalam Surah Al-Baqarah (2) : 193
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ ۖ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ
“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.”
            Ayat di atas dapat diketahui tujuan disyariatkannya perang adalah untuk melancarkan jalan dakwah bilamana terjadi gangguan dalam mengajak umat manusia untuk menyembah Allah.
Contoh lain, misalnya tujuan disyariatkannya qishash adalah untuk menjaga kehidupan manusia, sebagaimana dijelaskan dalam surah Al-Baqarah (2): 179

وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.”
Contoh lain, yaitu tujuan shalat adalah untuk mencegah perbuatan keji dan munkar. Hal ini dijelaskan dalam surah Al-Ankabut (29): 45
اُتْلُ مَآاُوْحِيَ اِلَيْكَ مِنَ الْكِتٰبِ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَ ۗ اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكُرُاللهِ اَكْبَرُ ۗ وَاللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ
“Bacalah kitab (Alquran) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah sholat. Sesungguhnya sholat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan munkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (sholat) itu lebih besar keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Sedangkan perintah berzikir disebabkan alasannya dalam surah Al-Ra’d (13): 28
اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِاللهِ ۗ اَلَا بِذِكْرِاللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوْبُ
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”
Allah melarang minuman khamar dan berjudi dalam surah Al-Maidah (5): 91[4]
اِنَّمَا يُرِيْدُ الشَّيْطَنِ اَنْ يُّوْقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَآءَ فِى الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللهِ وَعَنِ الصَّلٰوةِ ۚ فَهَلْ اَنْتُمْ مُّنْتَهُوْنَ
“Dengan minuman keras dan judi itu, setan hanyalah bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu, dan menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan sholat, maka tidaklah kamu mau berhenti?.”
B.     Kehujjahan Mashlahah Al-Mursalah
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa mashlahah mursalah tidak sah menjadi landasan hukum dalam bidang ibadah karena bidang ibadah harus diamalkan sebagaimana adanya yang diwariskan oleh Rasulullah SAW. Oleh karena itu, bidang ibadah tidak berkembang. Dalam kehujjahan mashlahah mursalah, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul antara lain :
Kalangan pertama. ulama-ulama syafi’iyyah, ulama hanafiyyah, dan sebagian ulama malikiyah semisal Ibnu Hajib dan ahli zahir. Mereka ini berpendapat bahwa mashlahah mursalah tidak dapat dijadikan sebagai hujjah.[5]
Adapun alasan ulama ushul fiqh bahwa  mashlahah mursalah tidak dapat dijadikan sebagai hujjah sebagai berikut :
1.      Syari’at Islam itu mempunyai tujuan menjaga kemashlahatan manusia yang dalam keadaan terlantar tanpa petunjuk. Sedangkan petunjuk itu harus berdasarkan kepada nash. Kalau saja kemashlahatan itu tidak berpedoman kepada i’tibar nash maka bukanlah kemashlahatan yang hakiki.
2.      Kalau menetapkan hukum berdasarkan kepada mashlahah  mursalah yang terlepas dari syara’ maka besar kemungkinan akan dipengaruhi oleh hawa nafsu, sedangkan hawa nafsu tak akan mampu memandang kemashlahatan yang hakiki.
3.      Pembinaan hukum yang didasarkan kepada mashlahah mursalah berarti membuka pintu bagi keinginan dan hawa nafsu yang mungkin tidak akan dapat terkendali.
4.      Bila suatu mashlahah ada petunjuk  syar’i yang membenarkan (mu’tabarah) maka ia telah termasuk dalam umumnya qiyas. Seandainya tidak ada petunjuk syara’ yang membenarkan maka tidak mungkin disebut mashlahah dan mengamalkan sesuatu yang diluar petujuk syara’ berarti mengakui kurang lengkap atau kurang sempurna risalah Nabi.
5.      Beramal dengan mashlahah yang tidak mendapat pengakuan nash akan membawa kepada pengamalan hukum yang berlandaskan sekehendak hati dan menurut hawa nafsu, cara seperti ini tidaklah lazim dalam prinsip-prinsip islami.
6.      Penggunaan mashlahah dalam berijtihad tanpa berpegang pada nash akan memunculkan sikap bebas dalam menetapkan hukum sehingga dapat mengakibatkan seseorang teraniaya atas nama hukum. Hal ini tentu saja menyalahi prinsip “tidak boleh merusak, juga tidak ada yang dirusak.”
7.      Penggunaan mashlahah dalam berijtihad tanpa berpegang pada nash akan memberi kemungkinan mudahnya  perubahan hukum syara’ seiring perubahan waktu dan tempat, maka tidak akan ada kepastian hukum yang tetap. Hal ini tidak sejalan dengan prinsip hukum syara’ yang universal dan lestari serta meliputi semua umat Islam.[6]
Kalangan kedua. Sebagian ulama mazhab Maliki dan sebagiannya Asy-Syafi’iyyah. Mereka berpendapat bahwa mashlahah mursalah dapat menjadi hujjah. Tetapi ia harus memnuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh ulama-ulama ushul, bahkan di antara ulama yang paling banyak melakukan atau menggunakan mashlahah mursalah sebagai landasan penetapan hukum adalah Imam Malik. Dengan alasan, Allah mengutus utusan-utusanNya ke permukaan bumi ini untuk membimbing umatnya kepada kemashlahatan. Untuk menguat argumen ini ia merujuk kepada salah satu ayat Alquran berikut :
وَمَآ أَرْسَلْنٰكَ إِلَّارَحْمَةً لِلْعَلمِيْنَ
 “tidaklah semata-mata  Aku mengutusmu (Muhammad) kecuali untuk kebaikan seluruh alam”. (QS. Al-Anbiya (21) : 107)
Adapun alasan ulama ushul fiqh terhadap penggunaan mashlahah mursalah sebagai hujjah sebagai berikut :
1.      Syari’at Islam diturunkan, seperti disimpulkan para ulama berdasarkan petunjuk-petunjuk Alquran dan sunnah yang bertujuan untuk merealisasikan kemashlahtan dan kebutuhan umat manusia. Kebutuhan umat manusia itu selalu berkembang dan tidak mungkin semuanya dirinci dalm Alquran dan sunnah Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, apa saja yang dianggap mashlahah mursalah selama tidak bertentangan dengan Alquran dan sunnah Rasulullah SAW sah di jadikan hujjah.
2.      Para sahabat dalam berijitihad menganggap sah mashlahah mursalah sebagai landasan hukum tanpa ada seorang pun membantahnya. Ambil contoh : ‘Umar bin Khattab pernah menyita sebagian harta para pejabat di masanya yang diperoleh dengan cara menyalahgunakan jabatannya. Praktik seperti ini tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Akan tetapi hal itu perlu dilakukan oleh Umar untuk menjaga harta negara dari rongrongan para pejabat. Landasan itulah kemudian dijadikan sebagai pijakan mashlahah mursalah dalm menentukan hukum Islam.
3.      Adanya pengakuan Nabi atas penjelasan Muaz ibn Jabal yang akan menggunakan ijtihad bil ra’yi bila tidak ditemukan ayat Al-Qur’an dan Sunnah untuk menyelesaikan sebuah kasus hukum. Penggunaan ijtihad ini mengacu pada penggunaan daya nalar atau suatu yang dianggap maslahah. Nabi sendiri waktu itu tidak membebaninya untuk mencari dukungan nash.
4.      Adanya amaliyah dan praktek di zaman sahabat yang walaupun saat itu belum ada istilah maslahah mursalah, tetapi merupakan suatu keadaan yang sudah diterima bersama tanpa saling menyalahkan. Seperti, pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah pertama, memerangi orang yang tidak membayar zakat, pencetakan mata uang, dan keputusan tidak memberi hak zakat kepada muallaf pada zaman Umar bin Khattab, penyatuan cara baca Qur’an dan pemberlakuan adzan dua kali pada zaman Usman bin Affan.
5.      Suatu maslahah bila telah nyata kemaslahatannya dan telah sejalan dengan maksud pembuat hukum, maka menggunakan maslahah tersebut berarti telah memenuhi tujuan syar’i meskipun tidak ada dalil khusus yang mendukungnya.
6.      Bila dalam keadaan tertentu untuk menetapkan hukum tidak boleh menggunakan metode maslahah mursalah, maka akan menempatkan umat dalam kesulitan. Padahal Allah sendiri menghendaki kemudahan dan menjauhkan kesulitan untuk hamba-Nya. Nabi pun menghendaki umatnya menempuh cara yang lebih mudah dalam kehidupannya.[7]

C.    Rukun dan Syarat-Syarat Mashlahah Mursalah
Kalangan yang mengakui kehujjahan mashlahah mursalah dalam pembentukan hukum (Islam) telah mensyaratkan sejumlah syarat tertentu yang harus dipenuhi. Sehingga mashlahah tidak bercampur dengan hawa nafsu, tujuan, dan keinginan yang merusak manusia dan agama. Seseorang tidak menjadikan keinginannya sebagai ilhamnya dan menjadikan syahwatnya sebagai syari’atnya.
Syarat-syarat yang disampaikan oleh ulama ushul adalah sebagai berikut :
·         Bahwa mashlahah tersebut dapat diterima oleh akal, bahwa semua kriterianya sesuai dan dapat diterima oleh akal yang normal. Bahwa keteraturan dan ketetapan hukum padanya bersifat qath’i bukan zhanni. Oleh karena itu mashlahah itu harus hakikat, bukan hanya dugaan ahlul hilli wal aqdi atau orang-orang yang mempunyai disiplin ilmu tertentu. Contoh. Dalil mashlahah yang dikatakan dalam soal tidak sah mentalak istrinya kalau tidak di depan hakim. Maka bagi orang yang telah mentalak istrinya di rumah, kemudian harus mentalak istrinya sekali lagi di depan hakim dalam semua keadaan. Sesungguhnya pembentukan hukum semacam itu sebut ulama ushul tidaklah mengandung mashlahah. Dan, tidak pula sesuai dengan syarat yang telah disampaikan sebelumnya.
·         Bahwa mashlahah  harus bersifat umum dan menyeluruh kepada semua orang. Artinya, tidak khusus untuk orang tertentu dan tidak khusus untuk sekelompok orang saja.
·         Bahwa mashlahah itu harus sesuai dengan tujuan syara’. Artinya tidak bertentangan dengan ashal, Nash dan atau dalil-dalil yang sudah qath’i. Seandainya tidak ada dalil tertentu yang mengakuinya maka mashlahah tersebut tidak dapat diterima karena tidak sejalan dengan tujuan syara’.[8]

D.    Macam-macam Mashlahah Al-Mursalah
Mashlahah, “dalam masalah pokok (ashal) ia (mashlahah) adalah ungkapan untuk mencari sesuatu yang bermanfaat (manfa’ah) atau untuk menghilangkan sesuatu yang merugikan (mudharrah). Tetapi arti ini bukanlah yang dimaksudkan, sebab mencari kemanfa’atan dan menghilangkan kerugian adalah tujuan-tujuan (maqashid) yang dituju oleh penciptaan (khalq) dan yang diwujudkan oleh kebaikan (shalah) penciptaan dalam mewujudkan tujuan-tujuannya (maqashid). Apa yang dimaksudkan dengan mashlahah adalah memelihara tujuan syari’ah yang mencakup 5 (lima) bentuk : memelihara agama, memelihara kehidupan, memelihara akal, memelihara keturunan dan memelihara harta benda. Yang memastikan terpeilharanya lima prinsip ini (ushul) adalah mashlahah. 
Menurut Muhammad Khalid Mas’ud, seperti yang dipahami dalam definisi di atas mashlahah dapat dibagi menjadi tiga jenis. Pertama, mashlahah yang memiliki bukti tekstual yang mendukung pertimbangannya. Kedua, mashlahah yang diingkari oleh bukti tekstual. Ketiga, mashlahah yang tidak didukung ataupun disangkal oleh bukti tekstual. Kategori yang pertama adalah mashlahah yang sahih dan bias menjadi dasar bagi qiyas. Kategori kedua jenis terlarang. Kategori ketigalah yang memerlukan pertimbangan lebih lanjut. Dari segi ini ada tingkatan mashlahah yaitu darurat, hajat dan tahsinat atau tazyinat.
Terpeliharanya kelima prinsip tersebut diatas dicakup dalam tingkat darurat. Ini adalah jenis mashlahah yang paling kuat menurut Muhammad Khalid Mas’ud. Derajat kedua ini terdiri dari mashaalih dan munasabat yang tidak esensial dalam sendirinya tetapi perlu untuk merealisasikan mashaalih pada umumnya.[9]
Adapun bila ditinjau secara syara’ terhadap mashlahah mursalah dapat dibagi ke dalam 3 bagian :
a.       Mashlahah at-Dharuriyah (kebutuhan)
Mashlahah at-Dharuriyah adalah perkara-perkara yang menjadi tempat tegaknya kehidupan manusia. Bila perkara itu ditinggalkan maka akan berakibat rusaknya sendi kehidupan manusia. Misalnya, kewajiban memeliahar jiwa, akal, harta, agama, kehormatan dan keturunan. Kalau salah satu dari unsur itu rusak maka rusaklah kehidupan, timbullah fitnah yang berakhir kepada kehancuran. Kemashlahatan dalam taraf itu mencakup 6 (enam) prinsip dasar yang universal dari pensyari’atan dan istilah ini dikenal juga dengan maqashid asy-syari’ah. Jika hal itu tidak terwujud maka tata kehidupan akan timpang, kebahagiaan akhirat tidak tercapai. Karena itu, keenam macam mashlahah itu menurut Asy-Syathibi, harus dipelihara dan dilindungi.
b.      Mashlahah al-Hajjiyah (sekunder)
Mashlahah al-Hajjiyah adalah semua bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait dengan dasar yang lain (yang ada pada mashlahah dharuriyah) yang dibutuhkan oleh manusia tetap dapat terwujud. Tetapi tujuan utama dari mashlahah al-hajjiyah adalah memberikan kemudahan hidup atau sesuatu yang membawa kepada kebebasan yang luas tanpa di hinggapi oleh rasa takut terhadap kehilangan kemashlahatan hajjiyah semisal jiwa akal, harta, agama, kehormatan, keturunan. Memelihara kemerdekaan pribadi seperti semua orang memiliki kebebasan untuk datang dan pergi, bermain, dan bisa tidur kapan saja selama tidak bertentangan dengan syari’at dan ini termasuk dalam kategori mashlahah al-hajjiyah.
c.       Mashlahah al-Tahsiniyah (kelengkapan)
Mashlahah al-Tahsiniyah adalah mempergunakan semua yang layak dan pantas yang menjadikan hidup menjadi indah dan hebat, dan yang menjadi fokus utamanya adalah mahasinul khuluk dan kecantikan rupa. Kemashlahatan ini lebih mengacu pada keindahan saja (زينة للحياة) sifatnya hanya untuk kebaikan dan kesempurnaan. Sekiranya tidak dapat diwujudkan atau dicapai oleh manusia tidaklah sampai menyulitkan atau merusak tatanan kehidupan mereka. Tetapi ia dipandang penting dan dibutuhkan tahsiniyat juga masuk dalam lapangan ibadah, adat, muamalah dan lainnya. Ambil contoh memakai pakaian yang bagus-bagus ditambah wangi-wangian ketika hendak melaksanakan sholat atau menghadiri majelis. Ini bukanlah sebuah kebutuhan pokok melainkan untuk sebuah kelengkapan. Namun setiap manusia tentunya juga membutuhkan dan menginginkan al-tahsiniyah. Contoh lain, makan nasi adalah makanan pokok orang Aceh. Secara adat setelah makanan siap dimasak lalu disajikan atau dihidangkan di atas meja atau tidak lagi di ruang masak, dan penyajian itu tidak wajib.[10]

E.     CONTOH MASHLAHAH AL-MURSALAH
1.    Melakukan pencatatan perkawinan oleh petugas kantor urusan agama. Tujuan penulisan akta pernikahan ini adalah untuk keperluan sahnya gugatan perkawinan, nafkah, pembagian warisan, pembagian harta gono-gini dan lainnya.
2.    Membuang barang yang ada di atas kapal laut tanpa izin yang punya barang, disebabkan ada gelombang besar yang mengakibatkan kapal oleng. Hal tersebut dilakukan demi kemashlahatan seluruh penumpang dan menolak bahaya.
3.    Pemerintah mengatur usia perkawinan juga merupakan contoh mashlahah mursalah. Pengaturan ini bertujuan untuk menjaga mashlahat yakni kesehatan pasangan dan keturunannya.
4.    Penetapan riba pada bunga bank serta dikeluarkannya fatwa oleh para ulama tentang berbagai hal misalnya label halal dalam kemasan makanan, sertifikat halal, menetapkan jatuhnya talak tiga dengan sekali ucapan, menetapkan kewajiban pajak, menyusun administrasi, membuat penjara dan lainnya.
5.    Menulis huruf Alquran ke huruf latin demi kemashlahatan umat yang belum lancar membaca arab.
6.    Tatkala Islam masuk ke Irak, tanah Irak masih dimiliki oleh para pemilik asalnya yang dikenai pajak (kharaj), karena untuk menjaga kemashlahatan umat Islam umumnya. Seharusnya empat perlima tanah tersebut diberikan kepada oarang memerangi peperangan sebagai harta rampasan atau keuntungan perang.
7.    Inovasi zakat produktif. Zakat merupakan sumber penting dalam struktur ekonomi Islam. Karena setiap muslim yang kekayaannya mencapai nasab, di wajibkan membayar sebagian hartanya untuk orang miskin dan yang memerlukan. Zakat produktif sendiri adalah dana zakat yang diberikan  kepada seseorang atau sekelompok masyarakat untuk digunakan sebagai modal kerja sehingga dengan adanya modal tersebut mereka dapat membuka usaha yang akan memenuhi kebutuhan hidup secara terus menerus.
8.    Waqaf tunai. Waqaf tunai adalah waqaf yang dilakukan seseorang, suatu kelompok, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai, termasuk dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga, seperti saham dan cek. Ulama sendiri telah menetapkan salah satu syarat waqaf adalah harta yang diwaqafkan harus bersifat tetap, yaitu barang tersebut bisa dimanfaatkan tanpa merubah bentuknya, karena itu para ulama sempat berbeda pendapat dalam hal ini namun akhirnya diputuskan bahwa waqaf tunai dibolehkan karena lebih dekat dengan kemaslahatan umat dan waqaf uang yang dimaksud bukanlah zat uangnya tapi nilainya sehingga bisa diganti dengan uang lainnya selama nilainya sama.
9.    Tindakan Abu Bakar terhadap orang-orang yang ingkar membayar zakat, itu adalah demi kemaslahatan.
10.          Dalam Al-Qur’an tidak ada perintah untuk mengumpulkan Al-Qur’an dari hafalan dan tulisan tetapi para sahabat melakukannya.
Contoh mashlahah al-mursalah dalam ekonomi :
1.      Intervensi harga pemerintah pada saat distorsi pasar. Intervensi pemerintah dalam hal ini yaitu dalam bentuk pengendalian harga. Hal ini dilakukan hanya pada saat kondisi-kondisi tertentu yaitu apabila terjadi distorsi pada harga pasar, terjadinya kasus monopoli (penimbunan) dan terjadi keadaan al-hasr (pemboikotan). Maka demi kemaslahatan umat dan untuk melindungi kepentingan masyarakat pemerintah harus melakukan intervensi harga.
2.      Larangan dumping (siyasah ighraq). Dumping merupakan praktek dagang yang dapat merusak mekanisme pasar. Ada berbagai macam akibat yang ditimbulkan dari praktek dumping ini, antara lain adalah produk barang sejenis yang ada di negara domestic, pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran karena perusahaan dalam negeri harus menghemat biaya operasionalnya agar dapat bersaing dengan barang-barang impor yang harganya murah tersebut. Itulah yang menjadikan alasan agama Islam melarang praktek dumping dalam kegiatan ekonomi, karena mengakibatkan timbulnya mudharat dan hilangnya mashlahat di masyarakat luas.
3.      Larangan spekulasi valas karena mashlahah ‘ammah. Seseorang yang melakukan kegiatan spekulatif dalam perdagangan biasanya berharap pada terjadinya fluktuasi harga yang tinggi di pasar. Islam melarang praktek spekulasi ini, seperti yang telah dijelaskan dalam hadist bahwa Nabi Muhammad SAW berkata : “barang siapa menumpuk gandum di masa kekurangan (dengan maksud memperoleh keuntungan kelak), ia berdosa besar”.
4.      Mengadakan pengadilan niaga syari’ah. Seiring perkembangan ekonomi yang cukup pesat khusunya dalam bidang hukum Islam, maka kewenangan pengadilan agama pun menangani perkara yang menyangkut bidang ekonomi syariah. Suatu lembaga pengadilan niaga syariah sangat diperlukan untuk mengatur transaksi ekonomi dan memberikan manfaat dan mashlahah bagi kehidupan ekonomi masyarakat.
5.      kolateral pada pembiayaan mudharabah. Pembiayaan mudharabah sebagai pembiayan yang beresiko tinggi, karena bank akan selalu menghadapi permasalahan dari mudarib. Hal ini dilakukan dengan untuk meyakinkan bahwa modal yang diberikan kepada nasabah pembiyaan (mudarib) diharapkan dapat kembali seperti semula sesuai dengan ketentuan ketika berlangsungnya kontrak.
6.      Kartel dan monopoli. Dalam ekonomi Islam, kartel merupakan tindakan yang akan merugikan konsumen dan sangat potensial untuk menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat. Dengan dilarangnya kartel maka produsen akan terdorong untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat dan terciptanya efisiensi produksi.
7.      Penerapan revenue sharing pada bagi hasil. Perbankan syariah memperkenalkan sistem bagi hasil kepada msyarakat dengan istilah revenue sharing yaitu sistem bagi hasil yang dihitung dari total pendapatan pengelolaan dana tanpa dikurangi dengan biaya pengelolaan dana. Penerapa revenue sharing pada bank syari’ah merupakan salah satu aplikasi dalil mashlahah al-mursalah.
8.      Kartu kredit syari’ah. Syari’ah card merupakan salah satu produk bank syari’ah yang dikeluarkan dengan prinsip kemudahan dan mashlahah.

F.     DALIL-DALIL MASLAHAH AL-MURSALAH
Ada beberapa dasar hukum atau dalil mengenai diberlakukannya teori Maslahah al-Mursalah diantaranya adalah :
a.       Al-Qur’an
Di antara ayat yang dijadikan dasar berlakunya Maslahah al-Mursalah adalah firman Allah SWT.
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Dan tiadalah kami mengutus kammu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya : 107)
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus : 57)
b.      Hadits
Hadits yang dikemukakan sebagai landasan atas kehujjahan Maslahah al-Mursalah adalah sabda Nabi SAW.

لاضرر ولاضرار

Tidak boleh berbuat mudhorat dan pula saling memudhoratkan.” (HR. Ibnu Majah dan Daruquthni dan lainnya. Hadits ini berkualitas Hasan)

Para ulama yang menjadikan Mursalah sebagai salah satu dalil syara’, menyatakan bahwa dalil hukum Maslahah al-Mursalah ialah :
a.       Persoalan yang dihadapi manusia selalu bertumbuh dan berkembang, demikian pula kepentingan dan keperluan hidupnya.
b.      Sebenarnya para sahabat, para tabi’in. tabi’ tabi’in dan para ulama yang datang sesudahnya telah melaksanakannnya, sehingga mereka dapat segera menetapkan hukum sesuai dengan kemaslahatan kaum muslimin pada masa itu.
c.       Perbuatan para sahabat dan ulama salaf kehujjjahan Maslahah al-Mursalah juga di dukung alasan rasional (dalil aqliyah). Sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Wahab Kholaf dalam kitabnya ilmu ushul fiqh bahwa kemaslahatan manusia itu selalu aktual yang tidak ada habisnya. Karenanya, kalau tidak ada syariat hukum yang berdasarkan maslahat manusia berkenaan dengan maslahah baru yang terus berkembang dan pembentukan hukum hanya berdasarkan prinsip maslahah yang mendapat pengakuan syari’ah saja, maka pembentukan hukum akan berhenti dan kemaslahatan yang dibutuhkan manusia di setiap masa dan tempat akan terabaikan.






















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Para fuqoha berbeda pendapat dalam penggunaan “Al-Maslahah” sebagai dalil penetapan hukum Islam, diantara mereka ada yang menggunakannya sebagai dalil dalam menetapkan hukum bagi suatu maslah yang tidak ada Nash secara jelas mengenai hal itu dan sebagian adapula yang tidak menggunakannya.
Al-Maslahah ditetapkan sebagai dalil karena betolak pada suatu pemikiran yang ditetapkan oleh syara’ pasti membuahkan kebaikan dan manfa’at bagi umat manusia.
Maslahah mursalah adalah suatu perbuatan yang mengandung nilai baik (manfaat) dan memelihara tercapainya tujuan-tujuan syara’ yaitu menolak mudarat dan meraih maslahah. Obyek maslahah mursalah berlandaskan pada hukum syara’ secara umum juga harus diperhatikan adat dan hubungan antara satu manusia dengan yang lain. Secara ringkas maslahah mursalah itu juga difokuskan terhadap lapangan yang tidak terdapat dalam nash, baik dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang menjelaskan hukum-hukum yang ada penguatnya melalui suatu I’tibar (pelajaran).
B.     Saran
Sebagai Mahasiswa muslim, kita harus meningkatkan pemahaman tentang mashlahah al mursalah denagn lebih banyak membaca dan mengkaji buku-buku Islam.



[1] Muliadi Kurdi, Ushul Fiqh : Sebuah Pengenalan Awal, (Aceh : Lembaga Naskah Aceh (NASA), 2015), hlm.210.
[2] Ibid, hlm.211.
[3] Ibid, hlm.212.
[4] Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : CV Rajawali Pers PT. RajaGrafindo Persada, 1993), hlm. 61
[5]Muhammad Yusuf Musa, Pengantar Studi Fikih Islam, Cetakan 1, Diterjemahkan oleh: Misbah, Muhammad, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar 2014), hlm 205-206
[6] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1998), hlm. 117.
[7] Muliadi Kurdi, Ushul Fiqh : Sebuah Pengenalan Awal, (Aceh : Lembaga Naskah Aceh (NASA), 2015), hlm.214-215.
[8]  Mardani, Ushul Fiqh, ( Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 87
[9]Masjifuk  Zuhdi, Pengantar Hukum Syariah, (Jakarta: PT TOKO GUNUNG AGUNG, 1995) hlm 83
[10] Dahlan Thamrin, Filsafat Hukum Islam, (Malang : UIN-Malang Press, 2007), hlm. 118-124

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda