PENDEKATAN TEOLOGIS NORMATIF
Ada 7 pendekatan yang akan saya uraikan di dalam memahami agama.
§ Pendekatan Teologis Normatif
§ Pendekatan Antropologis
§ Pendekatan Sosiologis
§ Pendekatan Filosofis
§ Pendekatan Historis
§ Pendekatan Kebudayaan
§ Pendekatan Psikologi
Di bawah ini saya akan menguraikan satu persatu pendekatan
tersebut.
A. PENDEKATAN TEOLOGIS NORMATIF
Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama secara harfiah dapat
diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu
ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu
keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang lain.
Karena sifat dasarnya yang partikularistik, maka dengan mudah kita dapat
menemukan teologi Kristen-katolik, teologi Kristen protestan, dan begitu
seterusnya.
Menurut pengamatan sayyed hosein nasr, dalam era kontemporer ini
ada 4 prototipe pemikiran keagamaan islam, yaitu pemikiran keagamaan fundamentalis, modernis,
mesianis, dan tradisionalis.
Dari pemikiran tersebut, dapat diketahui bahwa pendekatan teologi
dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada pada bentuk
forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing bentuk forma atau
simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar
sedangkan yang lainnya sebagai salah. Aliran teologi yang seperti itu yakin dan fanatik bahwa
pemahamannyalah yang benar sedangkan paham yang lainnya dianggap salah,
sehingga memandang paham orang lain itu keliru, sesat, kafir, murtad, dan
seterusnya.
Pada masa sekarang ini muncul istilah yang disebut dengan teologi
masa kritis, yaitu suatu usaha manusia untuk memahami penghayatan imannya atau
penghayan agamanya, suatu penafsiran atas sumber-sumber aslinya dan tradisinya
dalam konteks permasalahan masa kini, yaitu teologi yang bergerak antara dua
kutub : teks dan situasi; masa lampau dan masa kini. Hal yang demikian mesti
ada dalam setiap agama meskipun dalam bentuk dan fungsinya yang berbeda-beda.
Salah satu ciri dari teologi masa kini adalah sifat kritisnya.
Sikap kritis ini ditujukan pertama-tama pada agamanya sendiri (agama sebagai
institusi sosial dan kemudian juga kepada situasi yang dihadapinya). Teologi
sebagai kritik agama berarti antara lain mengungkapkan berbagai kecenderungan
dalam institusi agama yang menghambat panggilannya; menyelamatkan manusia dan
kemanusiaan.
Teologi kritis bersikap kritis pula terhadap lingkungannya. Hal
ini hanya dapat terjadi kalau agama terbuka juga terhadap ilmu-ilmu sosial dan
memanfaatkan ilmu tersebut bagi pengembangan teologinya. Penggunaan ilmu-ilmu
sosial dalam teologi merupakan fenomena baru dalam teologi. Lewat ilmu-ilmu
sosial itu dapat diperoleh gambaran mengenai situasi yang ada. Melalui analisi
ini dapat diketahui berbagai faktor yang menghambat ataupun yang mendukung
realisasi keadilan sosial dan emansipasi.
B. PENDEKATAN ANTROPOLOGIS
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan
sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik
keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini agama tampak akrab dan
dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan
memberikan jawabannya. Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam
disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk
memahami agama.
Penelitian antropologis yang induktif dan grounded, yaitu turun kelapangan tanpa berpijak pada, atau
setidak-tidaknya dengan upaya membebaskan diri dari kungkungan teori-teori
formal yang pada dasarnya sangat abstrak sebagaimana yang dilakukan dibidang
sosiologi dan lebih-lebih ekonomi yang mempergunakan model-model matematis,
banyak juga memberi sumbangan kepada penelitian historis.
Sejalan dengan pendekatan tersebut, maka dalam berbagai penelitian
antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan positif antara kepercayaan
agama dengan kondisi ekonomi dan politik. Golongan masyarakat yang kurang mampu
dan golongan miskin pada umumnya, lebih tertarik kepada gerakan-gerakan
keagamaan yang bersifat mesianis, yang menjanjikan perubahan tatanan sosial
kemasyarakatan.sedangkan golongan orang kaya lebih cenderung untuk
mempertahankan tatanan masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi lantaran tatanan
itu menguntungkan pihaknya.
Melalui pendekatan antropologis di atas, kita melihat bahwa agama
ternyata berkolerasi dengan etos kerja dan perkembangan ekonomi suatu
masyarakat. Dalam hubungan ini, kita ingin mengubah pandangan dan sikap etos
kerja seseorang, maka dapat dilakukan dengan cara mengubah pandangan
keagamaannya. Melalui pendekatan antropologis fenomenologis ini kita juga dapat
melihat hubungan antara agama dan Negara (state and religion). Dan juga
dapat ditemukan keterkaitan agama dengan psikoterapi.
Dengan demikian, pendekatan antropologi sangat dibutuhkan dalam
memahami ajaran agama, karena dalam
ajaran agama tersebut terdapat uraian dan informasi yang dapat dijelaskan lewat
bantuan ilmu antropologi dengan cabang-cabangnya.
C. PENDEKATAN SOSIOLOGIS
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam
masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya
itu.
Dari definisi tersebut terlihat bahwa sosiologi adalah suatu ilmu
yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan
serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan.
Selanjutnya, sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu
pendekatan dalam memahami agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak
bidang kajian agama yang baru dapat dipahami secara proporsional dan tepat
apabila menggunakan jasa bantuan dari ilmu sosiologi. Tanpa ilmu sosial
peristiwa-peristiwa yang terjadi di masyatakat sulit dijelaskan dan sulit pula
untuk dipahami maksud dan tujuannya. Di sinilah letaknya sosiologi sebagai
salah satu alat dalam memahami ajaran agama.
Pentingnya pendekatan sosiologi dalam memahami agama sebagaimana
disebutkan diatas dapat dipahami, karena banyak sekali ajaran agama yang
berkaitan dengan masalah sosial.
Jalaluddin rahmat telah menunjukan betapa besarnya perhatian agama
yang dalam hal ini islam terhadap masalah sosial, dengan mengajukan lima alasan
sebagai berikut.
1) Dalam al-qur’an atau kitab-kitab hadits,
proporsi terbesar kedua hukum islam itu berkenaan dengan muamalah.
2) Bahwa ditekankannya masalah muamalah (sosial)
dalam islam ialah adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya
dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau
ditangguhkan (tentu bukan ditinggalkan), melainkan tetap dikerjakan sebagaiman
mestinya.
3) Bahwa ibadah yang mengandung segi
kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar daripada ibadah yang bersifat
perseorangan.
4) Dalam islam terdapat ketentuan bila urusan
ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal karena melanggar pantangan tertentu
maka kifaratnya (tebusan) ialah melakukan
sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial.
5) Dalam islam terdapat ajaran bahwa amal baik
dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar daripada ibadah
sunnah.
Melalui pendekatan sosiologis agama akan dapat dipahami dengan
mudah, karena agama itu sendiri diturunkan untuk kepentingan sosial.
D. PENDEKATAN FILOSOFIS
Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta kepada kebenaran, ilmu, dan hikmah. Selain itu
filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab
dan akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia.
Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa filsafat pada intinya
berupaya menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada
dibalik objek formanya. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas, dan inti
yang terdapat di balik yang bersifat lahiriah.
Berpikir secara filosofis tersebut selanjutnya dapat digunakan
dalam memahami ajaran agama, dengan maksud agar hikmah, hakikat atau inti dari
ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara seksama. Pendekatan filosofis
yang demikian itu sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh para ahli.
Karena demikian pentingnya pendekatan filosofis ini, maka kita
menjumpai bahwa filsafat telah digunakan untuk memahami berbagai bidang lainnya
selain agama. Kita misalnya membaca adanya filsafat hukum islam, filsafat
sejarah, filsafat kebudayaan, filsafat ekonomi dan lain sebagainya.
Melalui pendekatan filosofis ini, seseorang tidak akan terjebak
pada pengamalan agama yang bersifat formalistis, yakni mengamalkan agama dengan
susah payah tapi tidak memiliki makna apa-apa, kosong tanpa arti.
Namun demikian, pendekatan filosofis ini tidak berarti menafikan
atau menyepelekan bentuk pengamalan agama yang bersifat formal. Filsafat
mempelajari segi batin yang bersifat esoterik, sedangkan bentuk (forma)
memfokuskan segi lahiriah yang bersifat eksoterik.
Tampaknya pandangan filsafat yang bercorak perenialis ini secara
metodologis memberikan harapan segar terhadap dialog antara umat beragama,
sebab melalui metode ini diharapkan tidak hanya sesama umat beragama menemukan transcendent unity of religion, melainkan dapat mendiskusikannya secara lebih mendalam, sehingga
terbuka kebenaran yang betul-betul benar, dan tersingkirlah kesesatan yang
betul-betul sesat, meskipun tetap dalam lingkup langit kerelatifan.
E. PENDEKATAN HISTORIS
Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang didalamnya dibahas
berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar
belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut. Menurut ilmu ini, segala
peristiwa dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, dimana, apa
sebabnya, siapa yang terlibata dalam peristiwa tersebut.
Melalui pedekatan sejarah seseorang diajak
menukik dari alam idealis kealam yang bersifat empiris dan mendunia. Pendekatan
kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama itu sendiri
turun dalam situasi yang kongkrit bahkan berkaitan dengan kondisi sosial
kemasyarakatan.
Kuntowijoyo telah melakukan studi yang
mendalam terhadap agama yang dalam hal ini islam, menurut pendekatan sejarah.
Ketika ia mempelajari Al-qur’an, ia menyimpulkan bahwa pada dasarnya kandungan
Al-qur’an itu terbagi menjadi dua bagian. Pertama, berisi konsep-konsep dan
bagian. Kedua, berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.
Dalam bagian pertama yang berisi
konsep-konsep, kita mendapati banyak sekali istilah Al-qur’an yang merujuk pada
pengertian-pengertian normatif yang khusus, doktrin-doktrin etik, aturan-aturan
legal, dan ajaran-ajaran keagamaan pada umumnya. Dalam bagian ini kita mengenal
banyak sekali konsep, baik yang bersifat abstrak maupun konkret. Konsep tentang
Allah, konsep tentang malaikat, tentang akhirat, tentang ma’ruf, munkar, dan
sebagainya adalah konsep-konsep yang abstrak.
Melalui pendekatan ini seseorang diajak untuk
memasuki keadaan yang sebenarnya berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa.
Dari sini, maka seseorang tidak akan memahami agama keluar dari konteks
historisnya, karena pemahaman demikian itu akan menyesatkan orang yang akan
memahaminya.
F. PENDEKATAN KEBUDAYAAN
Dalam kamus umum bahasa Indonesia, kebudayaan diartikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal
budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, adat istiadat, dan berarti pula
kegiatan (usaha) batin (akal dan sebagainya) untuk menciptakan sesuatu yang
termasuk hasil kebudayaan.
Dengan demikian, kebudayaan adalah hasil daya
cipta manusia dengan menggunakan dan mengerahkan segenap potensi batin yang
dimilikinya. Di dalam kebudayaan tersebut terdapat pengetahuan, keyakinan,
seni, moral, adat istiadat dan sebagainya. Kebudayaan yang demikian selanjutnya
dapat pula digunakan untuk memahami agama yang terdapat pada tataran empiris
atau agama yang tampil dalam bentuk formal yang menggejala di masyarakat.
Dengan demikian, agama menjadi membudaya atau membumi di
tengah-tengah masyarakat. Agama yang tampil dalam bentuknya yang demikian itu
berkaitan dengan kebudayaan yang berkembang di masyarakat tempat agama itu
berkembang. Dengan melalui pemahaman terhadap kebudayaan tersebut seseorang
akan dapat mengamalkan ajaran agama.
G. PENDEKATAN PSIKOLOGI
Psikologi atau ilmu jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa
seseorang melalui gejala prilaku yang dapat diamatinya.
Dalam ajaran agama banyak dijumpai istilah-istilah yang
menggambarkan sikap batin seseorang. Misalnya, sikap beriman dan bertakwa
kepada Allah, sebagai orang yang saleh, orang yang berbuat baik, orang yang
sadik (jujur), dan sebagainya. Semua itu adalah gejala-gejala kejiwaan yang
berkaitan dengan agama.
Kita misalnya dapat mengetahui pengaruh dari
shalat, puasa, jakat, haji, dan ibadah lainnya dengan melalui ilmu jiwa. Dengan
pengetahuan ini, maka dapat disusun langkah-langkah baru yang lebih efisien
lagi dalam menanamkan ajaran agama.
Dari uraian tersebut kita melihat ternyata
agama dapat dipahami melalui berbagai pendekatan. Dengan pendekatan itu semua
orang akan sampai pada agama. Seorang teolog, sosiolog, antropolog, sejarawan,
ahli ilmu jiwa, dan budayawan akan sampai kepada pemahaman agama yang benar.
Disini kita melihat bahwa agama bukan hanya monopoli kalangan teolog dan
normatif belaka, melainkan agama dapat dipahami semua orang sesuai dengan
pendekatan dan kesanggupan yang dimilikinya.
I. PENDAHULUAN
Dewasa ini kehadiran agama semakin
dituntut agar ikut terlibat secara aktif didalam memecahkan berbagai masalah
yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh hanya sekedar menjadi lambang
kesalehan atau berhenti sekear disampaikan dalam khutbah, melainkan secara
konsepsional menunjukan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah.
Tuntutan terhaap agama
yang demikian itu dapat dijawab manakala pemahaman agama yang selama ini banyak
mengunakan pendekatan teologis normatif dilengkapi engan pemahaman agama yang
menggunakan penekatan lain yang secara operasional konseptual dapat memberikan
jawaban terhadap masalah yang timbul.
Berkenaan dengan pemikiran
tersebut diatas, maka pada bab ini pembaca akan diajak untuk mengkaji berbagai
pendekatan yang dapat digunakan dalam memahami agama. Berbagai pendekatan
tersebut meliputi pendekatan teologis normatif, antropologis, sosiologis,
psikologis, historis kebudayaan dan pendekatan filosofis. Adapun yang dimaksud
dengan pendekatan disini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam
suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama.
II. RUMUSAN
MASALAH
1. Pengertian
pendekatan dalam memahami agama
2. Macam-macam
pendekatan didalam memahami agama
III. PEMBAHASAN
A. PENDEKATAN
TEOLOGIS NORMATIF
Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama secara harfiyah dapat diartikan seagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya. Amin Abdullah mengatakan, bahwa teologi tidak bisa tidak pasti mengacu kepada agama tertentu, loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat suyektif, yakni bahasa seagai pelaku, bukan sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis[1]. Karena sifat dasar nya yang partikularistik, maka mudah sekali kita temukan bermacam macam aliran teologi. Dalam islam, secara tradisional dapat dijumpai teologi mu’tazilah, teologi asy’ariyah dan maturidiyah. Dan sebelum nya terdapat pula teologi yang bernama khawarij dan murji’ah[2].Aliran teologi yang satu begitu yakin dan fanatik bahwa pahamnyalah yang benar sedangkan paham lain nya adalah paham yang salah,sesat, bahkan memandandang penganut paham yang lain kafir. Fenomena ini ,yang disebut dengan mengklaim kebenaran (truth claim), yang menjadi sifat dasar teologi, dan tentu nya mengandung implikasi pembentukan cara berfikir yang bersifat partikularistik, eksklusif dan seringkali intoleran.
Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama secara harfiyah dapat diartikan seagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya. Amin Abdullah mengatakan, bahwa teologi tidak bisa tidak pasti mengacu kepada agama tertentu, loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat suyektif, yakni bahasa seagai pelaku, bukan sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis[1]. Karena sifat dasar nya yang partikularistik, maka mudah sekali kita temukan bermacam macam aliran teologi. Dalam islam, secara tradisional dapat dijumpai teologi mu’tazilah, teologi asy’ariyah dan maturidiyah. Dan sebelum nya terdapat pula teologi yang bernama khawarij dan murji’ah[2].Aliran teologi yang satu begitu yakin dan fanatik bahwa pahamnyalah yang benar sedangkan paham lain nya adalah paham yang salah,sesat, bahkan memandandang penganut paham yang lain kafir. Fenomena ini ,yang disebut dengan mengklaim kebenaran (truth claim), yang menjadi sifat dasar teologi, dan tentu nya mengandung implikasi pembentukan cara berfikir yang bersifat partikularistik, eksklusif dan seringkali intoleran.
Akan tetapi, bukan berarti kita
tidak memerlukan pendekatan teologi dalam memahami agama, karena tanpa
pendekatan teologis,keagamaan seseorang akan mudah cair dan tidak jelas
identitas dan pelembagaan nya. Peredaan dalam bentuk forma telogis yang terjadi
di antara berbagai madzhab dan aliran teologi keagamaan seharus nya tidak
membawa mereka saling bermusuhan dan menonjolkan segi-segi perbedaan nya,
sebalik nya dicarikan titik persamaan untuk menuju pada misi agama, di antara
nya rahmatan lil alamin. Hendak nya, pendekatan teologis dalam
memahami agama menggunakan cara berfikir deduktif, yaitu cara berfikir yang
berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya yang selanjutnya
diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi.
Pendekatan teologis ini
erat kaitannya dengan pendekatan normatif, yaitu suatu pendekatan yang
memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang di
dalam nya belum terdapat penalaran manusia. Dalam pendekatan teologis ini agama
dilihat suatu kebenaran mutlak dari Tuhan, tidak ada kekurangan sedikitpun dan
nampak bersifat ideal.
B. PENDEKATAN
ANTROPOLOGIS
Pendekatan
Antropologisdalam memehami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya
memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini agama tampak akrab dan
dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan
memberikan jawabannya. Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam
disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk
memahami agama. Antropologi dalam kaitan ini sebagai sebagaimana dikatakan
Dawam Rahardjo, lebih mengutamakan
pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif. Dari sini timbul
kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya induktif yang mengimbangi pendekatan deduktif
sebagaimana digunakan dalam pengamatan sosiologis. Penelitian antropologis yang induktif
dan grounded, yaitu turun ke lapangan tanpa
berpijak pada, atau setidak-tidaknya dengan upaya membebaskan diri dari
kungkungan teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak sebagaimana
yang dilakukan di bidang sosiologis dan lebih-lebih ekonomi yang mempergunakan
model-model matematis, banyak juga memberi sumbangan kepada penelitian historis[3].
Pendekatan antropologis
diatas, kita melihat bahwa agama ternyata berkorelasi dengan etos kerja dan
perkembangan ekonomi suatu masyarakat. Dalam hubungan ini, jika kita ingin
mengubah pandangan dan sikap etos kerja seseorang, maka dapat dilakukan dengan
cara mengubah pandangan keagamaannya.
Melalui pendekatan
antropologis seperti itu diperlukan adanya sebab banyak berbagai hal yang
dibicarakan agama hanya bisa dijelaskan dengan tuntas melalui pendekatan
antropologis. Dalam Alqur’an Al-Karim, sebagai sumber utama ajaran Islam
misalnya kita memperoleh informasi tentang kapal Nabi Nuh di gunung Arafat,
kisah Ashabul Kahfi yang dapat bertahan hidup dalam gua lebih dari tiga ratus
tahun lamanya. Dimana kira-kira bangkai kapal Nabi Nuh itu; dimana kira-kira
gua itu dan bagaimana pula bisa terjadi hal yang menakjubkan itu; ataukah hal
yang demikian merupakan kisah fiktif. Tentu masih banyak lagi contoh yang hanya
dapat dijelaskan dengan bantuan ahli geografi dan arkeologi.
Dengan demikian,
pendekatan antropologis sangat dibutuhkan dalam memahami ajaran agama, karena
dalam ajaran agama tersebut terdapat uraian dan informasi yang dapat dijelaskan
lewat bantuan ilmu antropologi dengan cabang-cabangnya.
C. PENDEKATAN
SOSIOLOGIS
Pendidikan dengan pendekatan
sosiologis dapat diartikan sebagai sebuah studi yang memanfaatkan sosiologi
untuk menjelaskan konsep pendidikan dan memecahkan berbagai problema yang
dihadapinya. Pendidikan, menurut pendekatan ini, dipandang sebagai salah satu
kontruksi sosial, atau diciptakan oleh interaksi sosial.
Pendekatan sosiologi, dalam
praktiknya,bukan saja digunakan dalam memahami masalah-masalah pendidikan,
melaikan juga dalam memahami berbagai bidang lainnya, seperti hukum dan agama
sehingga muncullah studi tetang sosiologi hukum dan sosiologi agama.
Pendidikan dengan pendekatan
sosiologi ini menarik dan penting untuk dikaji dan diketahui karena beberapa
alasan sebagai berikut.
Pertama, konsep pendidikan,
selain didefinisikan melalui pendekatan individual sebagaimana pada aliran
nativisme, juga dapat didekati melalui pendekatan masyarakat sebagaimana pada
aliran behaviorisme. Melalui pendekatan masyarakat, pendidikan dapat diartikan
sebagai pewarisan kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda agar hidup
masyarakat tetap berkelanjutan. Dengan kata lain, masyarakat mempunyai
nilai-nilai budaya yang ingin disalurkan dari generasi ke generasi agar
identitas masyarakat tersebut tetap terpelihara.
Kedua, pendidikan adalah salah
satu bentuk interaksi manusia. Ia adalah suatu tindakan sosial yang
memungkinkan terjadinya interaksi melalui suatu jaringan hubungan-hubungan
kemanusiaan. Jaringan-jaringan ini bersama dengan hubungan-hubungan dan
peranan-peranan individu inilah yang membentuk watak pendidikan di suatu
masyrakat.
Ketiga, di kalangan aliaran
progresivisme, sebagaimana yang banyak diterapkan saat ini, dinyatakan bahwa
setiap anak didik memiliki akal dan kecerdasan. Akal dan kecerdasan merupakan
kelebihan manusia dibanding makhluk lain. Dengan potensi yang bersifat kreatif
dan dinamis tersebut, anak didik mempunyai bekal untuk menghadapi dan memecahkan
problem-problemnya.
Keempat, program pendidikan saat
ini, selain harus memuat mata pelajaran yang berkaitan dengan kepentingan
nasional, juga mata pelajaran yang berkaitan dengan kepentingan lokal yang
dikenal dengan istilah kurikulum lokal (Kurlok).
Kelima, program dan kegiatan
pendidikan selain harus mencerminkan aspirasi dan kepentingan masyarakat, juga
harus melibatkan kepentingan masyarakat. Di saat ini, masyarakat bukan hanya
dijadikan sebagai sasaran atau objek pendidikan, melainkan juga dijadikan
sebagai subjek. Maka apa yang disebut dengan istilah Pendidikan Berbasis
Masyarakat, yaitu pendidikan yang menjadikan masyarakat sebagai foktor yang
ikut menentukan dan bertanggung jawab atas terselenggaranya pendidikan.
Keenam, setiap bangsa di dunia menyelenggarakan
pendidikan yang disesuaikan dengan kepantingan negaranya. Dari segi kebudayaan,
berbagai negara tersebut, menurut Samuel Huntington, dapat dibagi ke dalam enam
tepologi, yaitu negara yang terikat pada kebudayaa Cina, kebudayaan India, kebudayaan
Jepang, kebudayaan Islam, kebudayaan Eropa dan kebudayaan Barat[4].
D. PENDEKATAN
FILOSOFIS
Secara harfiah, kata filsafat
bersal dari kata philo yang berarti cinta kepada kebenaran, ilmu dan hikmah.
Selain itu filsafat juga dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha
menautkan sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman
manusia. Dalam kamus umum
bahasa indonesia,Poerwadarminta mengartikan filsafat sebagai pengetahuan
dan penyelidikan dengan akal budi mengenai sebab-sebab, asas-asas, hukum dan
sebagai nya terhadap segala yang ada di alam semesta ataupun mengenai kebenaran
dan arti “adanya” sesuatu[5]. Pengertian filsafat yang umum nya
digunakan adalah pendapat yang dikemukakan Sidi gazalba. Menurut nya filsafat
adalah berfikir secara mendalam, sistematik, radikal dan universal dalam rangka
mencari kebenaran, inti, hikmah atau hakikat mengenai sesuatu yang ada[6].
Dari difinisi tersebut dapat
diketahui bahwa filsafat pada intinya berupaya menjelaskan inti, hakikat atau
hikmah mengenai sesuatu yang berada dibalik objek formalnya. Filsafat mencari
sesuatu yang mendasar, asas dan inti yang terdapat di balik yang bersifat
lahiriyah. Sebagai contoh, kita jumpai berbagai merek bulpoint dengan kualitas
dengan harga yang berlain-lainan, namun inti dari semua bulpoint itu adalah
sebagai alat tulis.
Melalui pendekatan filosofis ini,
seseorang tidak akan terjebak pada pengalaman agama yang bersifat formalistik,
yakni mengamalkan agama dengan susah payah tapi tidak memiliki makna apa-apa,
kosong tanpa arti. Yang mereka dapatkan dari pengamalan agama tersebut hanyalah
pengakuan formalistik, misalnya sudah haji, sudah menunaikan rukun islam yang
kelima dan berhenti sampai di situ. Mereka tidak dapat merasakan nilai-nilai
spiritual yang terkandung di dalamnya.
Islam sebagai agama yang banyak
menyuruh penganutnya mempergunakan akal pikiran sudah dapat dipastikan sangat
memerlukan pendekatan filosofis dalam memahami ajaran agamanya. Namun demikian
pendekatan seperti ini masih belum diterima secara merata terutama kaum
tradisionalis formalistis yang cenderung memahami agama terbatas pada ketepatan
melaksanakan aturan-aturan formalistik dari pengamalan agama.
E. PENDEKATAN
HISTORIS
Sejarah atau historis adalah suatu
ilmu yang didalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur
tempat, waktu, objek, latar belakang dan pelaku dari peristiwa tersebut[7].Menurut ilmu ini segalaperistiwa dan
dapat dilacak dengan melihat kapan peristiwa itu terjadi, dimana, apa sebabnya,
siapa yang terlibat dalam peristiwa terebut.
Dalam hubungan ini Kuntowijoyo
telah melakukan studi yang mendalam terhadap agama dalam hal ini islam, menurut
pendekatan sejarah. Ketika ia mempelajari al-Qur’an, ia sampai pada suatu
kesimpulan bahwa pada dasarnya kandungan al-Qur’an itu terbagi menjadi dua
yaitu konsep-konsep dan kisah-kisah sejarah peerumpamaan.
Pada bagiaan konsep-konsep, kita
mendapat banyak sekali istilah al-Qu’ran yang merujuk pada
pengertian-pengertian normatif yang khusus, atuarn-aturan legal dan
ajaran-ajaran keagamaan pada umumnya. Dalam hal ini kta mengenal banyak sekali
konsep baikyang bersifat abstrak atau konkret. Konsep tentang Allah, tentang
malaikat, tentang akhirat, tentang ma’ruf mungkar dan sebagainya adalah
konsep-konsep yang abstrak. Sementara itu juga ditunjukan konsep-konsep yang
lebih menunjuk kepada fenomena konkret , misalnya konsep orang fuqoro
(orang-orang fakir), dhu’afa (orang-orang lemah), aghniya (orang-orang kaya)
dan lain sebagainya.
Selanjutnya pada bagian yang
berisi konsep-konsep, al-Qur’an bermaksud membentuk pemahaman yang komprehensif
mengenai nilai-nilai islam, maka pada bagian kisah-kisah sejarah dan perumpaan,
al-Qur’an ingin mengajak dilakukanya perenungan untuk memperoleh hikmah. Pada
al-Qur’an banyak hikmah yang ada didalamnya, misalnya kisah raja Fir’aun ,
kisah nabi Yusuf dan lain sebagainya.
Melalui pendekatan sejarah ini
seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya yang berkenaan dengan
penerapan suatu peristiwa. Disini maka seseorang tidak akan memahami agama
keluar dari konteks historisnya. Seseorang yang ingin memahami al-Qur’an secara
benar misalnya, yang bersangkutan mempelajari sejarah turunya al-Qur’an yang
disebut Ilmu Asbab al-Nuzul (ilmu tentang sebab-sebab turunya ayat al-Qur’an)
yang pada intinya berisi sejarah turunyaayat al-Qur’an. Dengan ini orang akan
mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hukum
tertentu dan ditunjukan untuk memelihara syariat dari kekeliruan memahaminya.
F. PENDEKATAN KEBUDAYAAN
Kebudayaan adalah
keseluruhan kompleks yang mencakup ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum,
moral, adat istiadat dan berbagai kemampuan serta kebiasaan yang diterima
sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan dapat dilihat dari segi agama, sosial,
politik, hukum, teologi, filsafat dan lain sebagainya. Dan kebudayaan terkait
erat dengan kehidupan manusia, kaarena kebudayaan pada hakikatnya merupakan
refleksi kegiatan manusia yang diteorisasikan atau dikonsepsikan .
Jika diamati dengan
seksama ternyata kebudayaan adalah pokok soal yang melekat pada manusia.
Kebudayaan dapat pula disebut sebagai aktifitas pemikiran. Selanjutnya sungguh
pun kebudayaan itu buatan manusia, namun ketika kebudayaan itu lahir ia
memiliki jiwa dan karakternya sendiri. Ia tumbuh menjadi realitas tersendiri
yang menjerat dan menentukan corak manusia. Manusia hidup dalam suatu
kebudayaan dan pertumbuhannya dibentuk oleh kebudayaan itu sendiri. Pada waktu
lahir manusia tidak bisa mengurusi dirinya sendiri. Ia dirawat melalui
tangan-tangan kebudayaan. Perawatan yang teliti dan tepat akan menentukan
kehidupannya. Kemudian ia hidup dalam lingkungan kebudayaan tertentu yang kelak
akan mempengaruhi pandangan hidupnya. Hal ini menunjukkan bahwa manusia selalu
hidup dalam alam serba budaya yang selanjutnya akan menjadi ciri khas manusia.
Dari paparan tersebut di
atas terlihat bahwa kebudayaan membentuk semacam kultur yang mempengaruhi
perilaku, pola pikir (mindset) manusia. Dengan demikian berbagai masalah
akan timbul ketika tata
nilai budaya yang dianutnya itu tidak sejalan dengan tata nilai yang berada
dalam suatu daerah sebagai akibat perbedaan nilai budaya. Nilai budaya orang
sunda misalnya tidak dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang dihadapi
orang jawa. Demikian pula sebaliknya. Hal ini terjadi, karena nilai budaya
orang sunda dengan orang jawa berbeda. Untuk itu, ketika orang sunda akan
berkomunikasi dengan orang jawa secara intens, masing-masing harus memahami
nilai budaya satu dan lainnya.
Perbedaan terjadi dalam
hal pengambilan keputusan, suasana lingkungan kerja, pelayanan dan lain
sebagainya yang terjadi pada sebuah perusahaan dengan perusahaan lainnya terjadi
karena perbedaan budaya yang dimilikinya. Setiap perusahaan (corporate)
memiliki budayanya sendiri-sendiri.
Keseluruhannya
menunjukkan bahwa orang yang hidup dalam budaya kota menjadi manusia yang
berlari, risau, lelah, dan kurang kesempatan atau dukungan untuk merenung
dengan mendalam.
G. PENDEKATAN
PSIKOLOGI
Psikolgi atau Ilmu Jiwa adalah
ilmu yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat
diamatinya. Menurut Zakiyah Daradjat[8], bahwa prilaku seseorang yang Nampak
lahiriyah terjdi karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Seseorang
ketika berjumpa saling mengucapkan salam, hormat kepada orang tua, kepada guru,
menutup aurat, rela
berkorban untuk kebenaran dan sebagainya adalah merupakan gejala-gejala agama
yang dapat dijelaskan melalui ilmu jiwa agama. Ilmu agama sebagaimana
dikemukakan Zakiyah Daradjat tidak akan mempersoalkan benar tidaknya suatu
agama yang dianut seseorang, melainkan yang dipentingakan adalah bagaimana
keyakinan agama tersebut terlihat pengaruhnya dalam prilaku penganutnya.
Dalam ajaran agama kita banyak
kita jumpai istilah-istilah yang menggambarkan sikap batin seseorang. Misalnya
sikap beriman dan bertakwa kepada Allah, sebagai orang yang saleh, orang yang
berbuat baik dan sebagainya. Semu itu gejala-gejala kejiwaan yang berkaitan
dengan agama.
Dengan ilmu jiwa ini seseorang
selain mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami dan diamalkan seseorang, juga dapat digunakan
sebagai alat untuk memasuakan agama
ke dalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkatan usianya. Dengan ilmu ini agama
akan menemukan cara yang tepat dan cocok untuk menanamkanya. Misalkan kita
mengetahui pengaruh dalam sholat , puasa, zakat dan ibadah lainya dengan ilmu
jiwa. Dengan pengetahuan ini, maka dapat disusun langkah-langkah baru yang lebih
efisien lagi dalam menanamkan ajaran agama. Itu sebabnya ilmu jiwa ini banyak
digunkan sebagai alat untuk menjelaskan gejala atau sikap keagamaan seseorang.
Dari uraian tersebut diatas kita
melihat ternyata agama dapat dipahami melalui berbagai pendekatan. Dengan
pendekatan itu semua orang akan sampai pada agama. Disini kita melihat bahwa
agama bukan hanya monopoli kalangan teolog dan normatif belaka, melainkan agama
dapat dipahami semua orang sesuai dengan pendekatan dan kesanggupan yang
dimilikinya. Karenanya islam mengajar perdamaian, toleransi, terbuka, adil,
mengutamakan pencegahan dari pada penyembuhan dalam bidang kesehatan dengan
cara memperhatikan segi kebersihan badan, pakaian, makanan, tempat tinggal dan
sebagainya.
1 Komentar:
apa contoh dari masing² pendekatan tsb.
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda