SPI
BAB I
PENDAHULUAN
Sejak 1980-an, perkembangan Islam di Indonesia
ditandai oleh munculnya fenomena menguatnya religiusitas umat islam. Fenomena
yang sering ditengarai sebagai Kebangkitan Islam (Islamic Revivalism) ini muncul dalam bentuk meningkatnya kegiatan
peribadatan, menjamurnya pengajian, merebaknya busana yang islami, serta
munculnya partai-partai yang memakai platform islam. Fenomena mutakhir yang
mengisyaratkan menguatnya kecenderungan ini adalah tuntutan formalisasi Syariat
Islam.
Selain fenomena diatas, setelah Reformasi,
kebangkitan islam ini juga ditandai oleh munculnya aktor gerakan islam baru.
Aktor baru ini berbeda dengan aktor gerakan islam yang lama, seperti NU,
Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, Al-Washliyah, Jamaat Khair dan sebagainya.
Gerakan mereka berada diluar kerangka mainstream
proses politik, maupun wacana dalam gerakan islam dominan. Fenomena munculnya
aktor baru ini sering disebut “Gerakan Islam Baru” (New Islamic Movement). [1]
Organisasi-organisasi baru ini memiliki basis
ideologi, pemikiran, dan strategi gerakan yang berbeda dengan ormas-ormas islam
yang ada sebelumnya. Mereka ditengarai berhaluan puritan, memiliki karakter
yang lebih militant, radikal, skripturalis, konservatif, dan eksklusif.
Berbagai ormas baru tersebut memang memiliki platform yang beragam, tetapi pada
umumnya memiliki kesamaan visi, yakni pembentukan “Negara islam” (daulah islamiyah) dan mewujudkan
penerapan syariat islam, baik dalam wilayah masyarakat, maupun negara.
Meskipun spektrum berbagai gerakan ini cukup
luas dan kompleks, tetapi secara ideologis, kelompok ini secara keseluruhan
menganut paham “salafisme radikal”, yakni berorientasi pada penciptaan kembali
masyarakat salaf (generasi Nabi Muhammad dan para sahabatnya) dengan cara-cara
keras dan radikal. Bagi mereka, Islam pada masa kaum salaf inilah yang
merupakan Islam paling sempurna. Masih murni dan bersih dari berbagai tambahan
atau campuran (bid’ah) yang dipandang
mengotori islam. Radikalisme religio-historis ini diperkuat dengan pemahaman
terhadap ayat-ayat Al-qur’an dan hadis secara harfiah.
Gerakan Islamisasi versi mereka lebih bercorak
konfrontatif terhadap sistem social dan politik yang ada. Gerakan ini
menghendaki adanya perubahan mendasar terhadap sistem yang ada saat ini (yang
mereka sebut sistem sekuler atau “jahiliyah modern”) dan kemudian berupaya
menggantinya dengan sistem baru yang mereka anggap sebagai sistem islam (nizam islami). Agenda iqamah
dawlah islamiyah (mendirikan Negara islam) dan formalisasi syariat islam,
merupakan muara dari semua aktivitas yang mereka lakukan[2]
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Organisasi Islam (ORMAS)
Organisasi massa atau
disingkat ormas adalah suatu
istilah yang digunakan di Indonesia untuk
bentuk organisasi berbasis massa yang tidak bertujuan politis. Bentuk
organisasi ini digunakan sebagai lawan dari istilah partai politik. Ormas
dapat dibentuk berdasarkan beberapa kesamaan atau tujuan, misalnya: agama, pendidikan, sosial. Maka ormas Islam dapat kita artikan sebagai
organisasi berbasis massa yang disatukan oleh tujuan untuk memperjuangkan
tegaknya agama Islam sesuai al-qur’an dan as-sunnah serta memajukan umat Islam
dalam bidang agama, pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya.[3]
1.
Beberapa Contoh Ormas, Sejarah dan Ajarannya
Berikut ini merupakan contoh-contoh Ormas Islam
yang eksis di Indonesia sebagai gambaran adanya gerak ormas di kalangan umat
Islam dalam melakukan dakwahnya.
a.
Nahdlatul
Ulama (NU)
Nahdlatul Ulama (Kebangkitan
Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam), disingkat NU, adalah sebuah organisasi Islam besar di Indonesia.
Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi. Sebab
jauh sebelum NU lahir dalam bentuk jam’iyyah
(organisasi), ia terlebih dahulu mewujud dalam bentuk jama’ah (community) yang
terikat kuat oleh aktivitas sosial keagamaan yang mempunyai karakter tersendiri
(Ridwan, 2004: hal.169).
Dalam
Anggaran Dasar hasil Muktamarnya yang ketiga pada tahun 1928 M, secara tegas
dinyatakan bahwa kehadiran NU bertujuan membentengi artikulasi fiqh empat
madzhab di tanah air. Sebagaimana tercantum pada pasal 2 Qanun Asasi li Jam’iyat Nahdhatul al-Ulama (Anggaran Dasar NU),
yaitu :
a. Memegang teguh pada salah satu dari
madzhab empat (yaitu madzhabnya Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi’I, Imam Malik
bin Anas, Imam Abu Hanifah an-Nu’man, dan Imam Ahmad bin Hanbal);
b. Menyelenggarakan apa saja yang menjadikan
kemaslahatan agama Islam.
b.
Manhaj
Fikrah Nahdliyah (Metode berpikir ke-NU-an)
Dalam merespon persoalan, baik yang berkenaan
dengan persoalan keagamaan maupun kemasyarakatan, Nahdlatul Ulama memiliki manhaj Ahlis Sunnah Wal-Jama’ah sebagai
berikut :
1. Dalam bidang Aqidah/teologi, Nahdlatul Ulama
mengikuti Manhaj dan pemikiran Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi.
2. Dalam bidang Fiqih/Hukum Islam,
Nahdlatul Ulama bermadzhab secara qauli dan manhaji kepada salah satu
al-Madzahib al-‘Arba’ah (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali)
3. Dalam Bidang Tasawuf, Nahdlatul Ulama
mengikuti Imam al-Junaid al-Baghdadi (w.297H) dan Abu Hamid al-Ghazali (450-505
H/1058-1111 M).[4]
c.
Muhammadiyah
(MD)
Muhammadiyah merupakan sebuah organisasi Islam
modern yang berdiri di Yogyakarta pada 18 November 1912. Organisasi ini
terbentuk karena masyarakat islam yang berpandangan maju menginginkan
terbentuknya sebuah organisasi yang menampung aspirasi mereka dan menjadi
sarana bagi kemajuan umat islam. Keberadaan tokoh-tokoh Islam yang berpandangan
maju tersebut terbentuk karena pendidikan serta pergaulan dengan kalangan Islam
di seluruh dunia melalui ibadah haji. Salah seorang tokoh tersebut ialah KH.
Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan organisasi ini.
Muhammadiyah didirikan atas dasar agama dan
bertujuan untuk melepaskan agama Islam dari adat kebiasaan yang jelek yang
tidak berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Rasul
·
Macam
Paham Muhammadiyah
Hal-hal yang berkaitan dengan paham agama dalam
Muhammadiyah secara garis besar dan pokok-pokoknya ialah sebagai berikut:
a) ‘Aqidah; untuk menegakkan aqidah Islam
yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid’ah dan khurafat, tanpa
mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam;
b) Akhlaq; untuk menegakkan nilai-nilai
akhlaq mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran Alquran dan Sunnah Rasul,
tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia;
c) ‘Ibadah; untuk menegakkan ‘ibadah yang
dituntunkan oleh Rasulullah S.A.W. tanpa tambahan dan perubahan dari manusia;
d) Mu’amalah dunyawiyat; untuk
terlaksananya mu’amalah dunyawiyat (pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat)
dengan berdasarkan ajaran Agama serta menjadikan semua kegiatan dalam bidang
ini sebagai ‘ibadah kepada Allah SWT.
d.
Lembaga
Dakwah Islam Indonesia (LDII)
Penggagas dan penghimpun tertinggi pertama LDII
(Lembaga Dakwah Islam Indonesia) adalah Al-Imam NurHasan Ubaidah Lubis Amir
(nama kebesaran dalam jama’ahnya). Nama kecilnya ialah Madekal/Madigol atau
Muhammad Madigol, keturunan asli pribumi Jawa Timur.
Faham yang dianut oleh LDII telah dilarang oleh
Jaksa Agung Republik Indonesia pada tahun 1971. Setelah aliran tersebut
dilarang, kemudian berganti nama dengan Lembaga Karyawan Islam (LEMKARI) pada
tahun 1972. Lalu pada tahun 1981 berganti nama dengan Lembaga Karyawan Dakwah
Islam yang juga di singkat dengan LEMKARI.
Kemudian LEMKARI berganti nama lagi sesuai
keputusan kongres/muktamar tahun 1990 dengan nama Lembaga Dakwah Islam
Indonesia (LDII). Perubahan nama tersebut dengan maksud menghilangkan citra
lama LEMKARI yang tidak baik dimata masyarakat.[5]
·
Ajaran-Ajaran
LDII
Sebagian ajaran-ajaran dan konsepsi LDII :
1. Kalau disuatu wilayah (negara) minimal ada 3
orang dan salah satunya tidak mau mengangkat imam, maka dikatakan bahwa
hidupnya tidak halal (nafasnya haram, shalatnya haram, hajinya haram, dan
bahkan jima’nya haram), dan kemudian statusnya disamakan dengan orang-orang
kafir.
2. Dikatakan bahwa presiden bukanlah seorang
imam, karena presiden hanya mengurusi masalah dunia saja, tidak pernah mengajak
rakyatnya, meramut rakyatnya untuk mengaji Al-Qur’an dan al-Hadits yang hal itu
berbeda dengan imam-imam mereka.
3. Mengharamkan taqlid dalam fiqh.
4. Mengharamkan budaya-budaya seperti
yasinan, tahlilan, maulid Nabi Muhammad dan lain-lain.
5. Mereka hanya mau mendengar pengajian
isi kandungan/arti Al-Qur’an dan Al-Hadis hanya dari orang-orang yang mengaji
dengan guru/imam mereka. Bagi mereka arti yang disampaikan oleh imamnya adalah
bak wahyu yang tidak boleh dibantah. Keluar dari pemahaman yang diartikan oleh
imamnya adalah sesat.
e.
Salafi
Kata Salafi
adalah sebuah bentuk penisbatan kepada as-salaf. Kata as-salaf sendiri secara bahasa bermakna orang-orang yang mendahului
atau hidup sebelum zaman kita.
Adapun
makna teminologis As-Salaf adalah
generasi yang dibatasi oleh sebuah penjelasan Rasulullah SAW. Dalam haditsnya, “Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di
masaku, kemudian yang mengikuti mereka (tabi’in), kemudian yang mengikuti
mereka (tabi’at-tabi’in).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kelompok
yang sekarang mengaku-aku sebagai Salafi ini, dahulu dikenal dengan nama
Wahabi. Tidak ada perbedaan antara Salafi yang ini dengan Wahabi. Mereka lebih
tepat jika disebut Salafi Wahabi, yakni pengikut Muhammad ibnu Abdul Wahab yang
lahir di Uyainah, Najd, Saudi Arabia tahun 1115 H (1703 M) dan wafat tahun 1206
H (1792 M). Pendiri Wahabi ini sangat mengagumi Ibnu Taimiyah, seorang ulama
kontroversial yang hidup di abad ke-8 H dan banyak mempengaruhi cara
berpikirnya
·
Ajaran-Ajaran
Salafi
1. Mengkafirkan sufi seperti Ibnu Arabi,
Ibnu Sab’in, Ibnu Faridh, Abu Yazid al-Busthami, Ma’ruf al-Karkhi dan
lain-lain.
2. Mengkafirkan dan menganggap sesat
pengikut madzab Asy’ariyah dan Maturidiyyah.
3. Sebagian dari mereka ada yang anti
qiyas.
4. Menolak segala bentuk bid’ah meskipun
yang kategori baik (hasanah), karena menurut mereka, semua bid’ah adalah sesat.
5. Menolak sholat qabliyah jum’at, yang
menurut mereka tidak ada dalil dan hadisnya.
6. Mereka menilai acara yasinan dan tahlilan
adalah ritual bid’ah.
7. Mereka juga ada yang menolak ziarah kubur,
8. Mereka menolak qunut subuh, dengan alas
an hadist tentang qunut adalah dhaif semua.
9. Mereka memvonis syirik akbar terhadap
pengamal tawassul dengan lewat manusia
f.
Majelis
Tafsir Al-Qur’an (MTA)
Majelis Tafsir Al-qur’an adalah kelompok islam
yang berpusat di kota Solo yang didirikan oleh Abdullah Thufail Saputra pada
tanggal 19 September 1972. Karena tidak ada kecocokan dengan ajaran
Muhammadiyah, ia mendirikan sekolah organisasi MTA. Dan Abdullah Thufail pun
menjabat sebagai ketuanya. Dan ajaran NU, seperti yasinan, membaca maulid Nabi,
adalah objek utama mereka dalam berdakwah.
Dalam menyampaikan dakwahnya, mereka memang
tidak pernah mengkritik NU secara langsung, amaliyyah Nahdhiyyin yang sudah
mengakar erat di masyarakat lah yang mereka kritik dan cela dengan ungkapan
yang sangat menyakiti pengamalnya.
·
Faham-Faham
MTA
Berikut beberapa faham MTA :
1. Menolak semua hadist dhaif secara
mutlak.
2. Mengharamkan maulidan, yasdinan dan
tahlilan.
3. Mengharamkan walimah kematian 7 hari,
40 hari, 100 hari, dll.
4. Memahami hadist dan Al-qur’andengan
pemahaman pribadinya sehingga banyak sekali hukum yang dicetuskan secara
ngawur.
5. Tidak percaya adanya ilmu santet dan
tenung (sihir).
6. Menghalalkan anjing dan memperbolehkan
memakannya, meski akhir-akhir lebih melunak karena mendapat kritikan hebat.
7. Memperbolehkan zakat diberikan
orang kafir.
8. Mengharamkan adzan dan iqamah saat bayi
dilahirkan
g.
Persatuan
Islam (Persis)
Persatuan Islam (Persis) berdiri pada permulaan
tahun 1920-an, tepatnya tanggal 12 September 1923 di Bandung. Idenya bermula
dari seorang alumnus Dâr al-‘Ulûm Mekkah bernama H. Zamzam yang sejak tahun
1910-1912 menjadi guru agama di sekolah agama Dâr al-Muta'alimîn.
Persatuan Islam menghendaki apa yang seharusnya
disakralkan dan apa yang tidak seharusnya disakralkan oleh umat Islam. Karena
penilaian terhadap sesuatu yang bersifat sakral itu berkaitan erat dengan
kualitas ketauhidan dan bahkan pula berkaitan dengan wawasan keislaman yang
dimiliki. Jika setiap berbahasa Arab identik dengan Islam, disitu wawasan
keislaman yang dimiliki seseorang adalah tergolong awam.[6]
·
Metode
Ijtihad Persis
1. Mendahulukan zhahîr ayat
al-Qur’an daripada ta’wîl dan memilih cara-cara tafwîdl dalam hal-hal yang
menyangkut masalah i’tiqâdiyah.
2. Menerima dan meyakini isi
kandungan al-Qur’an sekalipun tampaknya bertentangan dengan ‘aqli dan ‘ady,
seperti masalah Isra dan Mi’raj.
3. Mendahulukan makna haqîqi
daripada makna majâzi kecuali jika ada alasan (qarînah), seperti kalimat: “Aw
lamastumun nisa” dengan pengertian bersetubuh.
4. Apabila ayat al-Qur’an
bertentangan dengan al-Hadits, maka didahulukan ayat al-Qur’an sekalipun Hadits
tersebut diriwayatkan oleh Muttafaq ‘Alaih, seperti dalam hal menghajikan orang
lain.
5. Menerima adanya nasîkh
dalam al-Qur’an dan tidak menerima adanya ayat-ayat yang mansûkh (naskh
al-kulli).
6. Menerima tafsîr dari
para sahabat dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an (tidak hanya penafsiran
ahl al-bait), dan mengambil penafsiran sahabat yang lebih ahli jika terjadi
perbedaan penafsiran di kalangan para sahabat.
7. Mengutamakan tafsîr bi al-Ma’tsûr dari pada bi al-Ra’yi.
8. Menerima Hadits-hadits sebagai bayan terhadap al-Qur’an, kecuali ayat
yang telah diungkapkan dengan shighat hasr, seperti ayat tentang makanan yang
diharamkan [7]
2. Peran Ormas Dalam Islam
1) Melakukan pemurnian akidah
umat Islam yang selama ini mengalami penyimpangan dan menjurus kepada
kesyirikan yang dilakukan dengan menyebarkan kesadaran dan pemahaman tentang
akidah Islam yang benar di tengah-tengah kaum Muslimin.
2) Membentengi umat Islam
untuk tetap berpegang teguh pada aqidah salimah dengan ilmu syar’i yang
mantap dari serangan musuh-musuh Islam yang ingin menghancurkan umat Islam
lewat pemikiran mereka.
3) Membentengi umat Islam dari
serangan kristenisasi.
4) Mengarahkan umat Islam kepada peningkatan keilmuan ummat agar mereka
mampu membela Islam dan menjaga identitas keislaman dan akidah mereka secara
benar.
5) Menyelamatkan umat Islam dari rencana-rencana penyebar aliran-aliran
sesat dan menghadapi mereka dengan cara-cara yang legal dan berusaha menyingkap
tujuan-tujuan mereka dan membedah kesalahan ideologi mereka.
6) Melakukan penyadaran kepada umat Islam mengenai bahaya dan kesalahan
keyakinan aliran-aliran sesat itu serta mengungkapkannya kepada publik dengan
argumen yang jelas dan atas dasar pemahaman dan ilmu yang benar.
7) Membentengi semua kalangan baik generasi muda wanita orang dewasa
atau anak-anak yang menjadi incaran budaya-budaya pendatang yang mengajak orang
kepada permisifme dan memberontak terhadap nilai-nilai akhlak yang luhur dan
mendorong terjadinya kekerasan tindak kejahatan dan prilaku amoral lainnya.
8) Meningkatkan kualitas
hidup umat Islam dalam bidang agama, pendidkan, ekonomi, sosial, dan budaya.[8]
3. Sikap Umat Islam Terhadap
Munculnya Ormas
1) Sikap
fanatik, Menolak atau membenci organisasi lain. Sikap ini ditujukan oleh
seseorang atau sekelompok orang yang menganggap bahwa organisasi lain yang
diluar organisasinya sendiri itu tidak benar dan merasa bahwa hanya
organisasinya sendirilah yang benar baik dalam pergerakan, pemahaman, manhaj,
dan lain sebagainya.
2) Lebih
membanggakan organisasi lain daripada organisasinya sendiri. Sikap ini
ditujukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang menganggap bahwa organisasi
lain selain organisasinya sendiri itu lebih baik dari pada organisasinya
sendiri, hal ini terjadi karena ada kekecewaan atau ketidakpuasan yang ia
dapatkan dalam organisasinya yang ia berkecimpung di dalamnya.
3) Sikap pertengahan. Yaitu tidak
mengklaim hanya organisasinya sendiri yang benar (fanatik) dan tidak mengklaim
bahwa organisasi lain itu tidak benar. Sikap pertengahan ini diawali dengan
sebuah kesadaran penuh bahwa perbedaan dalam berorganisasi masyarakat itu adalah
sebuah rahmat yang perlu disatukan dalam bentuk kerjasama dan menjalin hubungan
yang baik antar ormas-ormas islam, tidak menganggap mereka adalah lawan.
B.
Partai Islam Masa pemerintahan soeharto
Orde Baru sebagai satu babakan sejarah dari
mata rantai sejarah Indonesia tidaklah luput dari filosofi sejarah pada
umumnya, yakni berada pada kisaran hukum refleksi, dan interaksi dialeksi.
Lahirnya orde Baru di pertengahan tahun 1966 yang kemudian mengidentifikasi
dirinya sebagai orde pembangunan, telah membawa perubahan di hampir semua
bidang kehidupan bangsa, baik di bidang politik, ekonomi maupun sosial
budaya. Dalam Pemilu pertama sejak Orde
Baru yang berlangsung pada tahun 1971, partai-partai Islam hanya mendapatkan
suara sekitar 29% dan Perti hanya 0,7%. Sedangkan Golkar memperoleh suara
62,8%, PNI 6,4%, Perkindo dan Partai Katholik 2,45%.
Pada tahun 1973, dilakukan kebijakan
penyederhanaan partai melalui fusi, dari 10 partai menjadi 3 partai, yakni
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang merupakan gabungan dari partai-partai
Islam seperti NU, Permusi, PSII dan Perti. Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
yang merupakan gabungan dari PNI, Parkindo, Partai Katholik, Murba, dan IPKI.
Serta satu Golongan Karya (Golkar). Fusi bukanlah ide dari pemimpin partai, melainkan
berasal dari pemerintah. Dan meskipun para pemimpin partai dari keempat partai
tersebut sudah bersepakat untuk meleburkan diri dalam sebuah partai yang
disebut atau diberi nama PPP, namun latar belakang kulturalnya yang berbeda
tetap menjadi faktor potensial bagi perpecahan, sebagaimana yang pernah terjadi
pada masa lalu, yakni ketika PSII yang kemudian disusul oleh NU memisahkan diri
dari Masyumi.
Menjelang Pemilu tahun 1982, semakin nampak
perbedaan yang tajam antara unsur-unsur di dalam tubuh PPP. Faktor utama
penyebabnya, karena J. Naro yang menggeser calon-calon dari golongan NU dalam
daftar calon anggota DPR. Sikap yang membawa kekacauan dalam tubuh partai
politik ini telah mengakibatkan berkurangnya jumlah kursi PPP di DPR yakni
sebanyak 6 kursi dibandingkan dari jumlah kursi yang diperoleh pada tahun 1977
yang memperoleh 99 kursi. Sejak inilah PPP berada dalam posisi yang semakin
tidak menentu dengan adanya sikap otoriter yang ditampilkan J. Naro terhadap
setiap pimpinan partai yang berbeda dengannya. Bukan itu saja, sikap otoriter
itu juga diterapkan terhadap mereka yang berasal dari golongan yang sama dengan
dirinya (Permusi). Sikap ini berdampak tidak menguntungkan partai, yang dapat
dilihat dari hasil Pemilu tahun 1987 dengan perolehan PPP hanya 61 kursi di
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Jadi meskipun pada awalnya Orde Baru itu
memberikan peluang dan posisi memungkinkan bagi umat Islam untuk memperkuat dan
menentukan sikap politiknya, namun pada perjalanannya telah dikacaukan oleh
munculnya ambisius kelompok dan pribadi. Makanya orientasi politik dan
implementasinya oleh umat Islam telah menimbulkan konflik internal yang serius,
sehingga menyudutkan umat yang mayoritas menjadi veriferian dalam percaturan
pembangunan secara nasional.
Gerakan pemahaman
Islam secara
kritis dan empirik terjadi pada awal tahun 70-an pada saat Nurcholis Madjid
melontarkan gagasan “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah
Integrasi Umat”. Dengan peran media yang demikian intens, gagasan itu tersebar
dengan cepat dan menyentak suasana yang telah terkondisi. Wajarlah jika reaksi
dari berbagai kalangan segera bermunculan baik yang pro dan kontra. Muatan isi
yang ditonjolkan oleh pemikiran baru itu adalah seputar liberalisasi pandangan,
sekularisasi, kebebasan berpikir, idea of progress, inklusifisme,
pemisahan Islam sebagai nilai dan partai Islam sebagai alat. Secara
substansial gerakan itu telah menawarkan landasan-landasan dasar dalam
kerangka mengembalikan daya gerak psikologis (psycholo-striking force)
umat Islam melalui titik pandang yang realistic dan tidak apologetik. Arah yang
menjadi bidikannya paling tidak tercermin pada analisis bahwa supaya umat Islam
tidak dapat mengenali dan mengarahkan gejala-gejala modernitas, tidak terasing
dari padanya dan tidak lagi berada pada posisi marginal dalam dinamika
pembangunan, khususnya ikut dan melakukan pengambilan kebijakan politik bangsa.
Untuk ke arah itu diperlukan prasyarat dasar berupa pembenahan—kalau tidak
perombakan pola-pola pandang, kebebasan berpikir, keterbukaan sikap dan
meletakkan Islam menjadi membumi sebagai sistem nilai.[9]
C.
Partai Islam di Era Reformasi
Sejalan dengan adanya pembaharuan pemikiran,
telah terjadi pula perubahan orientasi organisasi dari para pemimpin Islam.
Sebelumnya format perjuangan Islam lebih difokuskan melalui jalur politik,
dalam perkembangan selanjutnya format perjuangan meliputi bidang yang lebih
luas dan konkrit, terutama upaya-upaya untuk membebaskan umat Islam dari
kebodohan dan kemiskinan. Dahulu ormas-ormas Islam dengan segenap underbow-nya
lebih berperan sebagai penggalang masa dan pemimpinnya berorientasi pada
politik praktis seperti menjadi anggota DPR, dan kalau bergerak di bidang
pendidikan atau sosial misalnya itupun hanya terbatas, maka pada saat ini
ormas-ormas itu berperan untuk membina umat dalam bidang yang lebih luas.
Pada era reformasi, terdapat banyak partai
Islam atau partai yang berbasis dukungan umat Islam, seperti Partai Persatuan
Pembangnunan (PPP), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Umat Islam
(PUI), Partai Masyumi Baru, Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan (PK),
Partai Nahdhatul Ummat (PNU), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB), dan yang lainnya. Fenomena maraknya partai Islam dan partai
berbasis dukungan umat Islam merupakan refleksi dari kemajemukan umat Islam dan
keragaman kepentingan kelompok Islam. Kelahiran partai-partai tersebut
merupakan buah eforia politik yang tidak terelakkan dari proses reformasi.
Proses reformasi yang terjadi memang memberikan angin segar kebebasan bagi
warga negara untuk berserikat dan berkelompok yang selama 30 tahun telah
terkungkung oleh kekuasaan absolut sentralistik.
Dimensi kultural pada berbagai kelompok Islam
mengakibatkan mereka sulit bersatu dalam kehidupan politik. Oleh karena itu, penggabungan
partai-partai Islam ke dalam satu wadah tunggal nyaris menjadi utopia.
Eksperimen pada masa Orde Baru melalui fusi beberapa partai Islam nyatanya
belum sepenuhnya berhasil mengkristalkan kepentingan unsur-unsur yang bersatu.
Politik Islam di Indonesia secara umum belum berhasil mencapai efektifitas
politik. Salah satu pangkal efektifitas politik menurut Allan A. Samson adalah
kepemimpinan. Kepemimpiman partai politik belum mampu memfungsikan partai
sebagai medium artikulasi kepentingan politik umat Islam.
Kenyataan di atas mengidentifikasikan bahwa
tantangan yang dihadapi umat Islam semakin variatif, baik yang bersifat
internal maupun eksternal. Sementara persoalan-persoalan traumatis pun belum
dapat dihilangkan seluruhnya yang merupakan benturan antara tradisionalisme dan
modernisme, antara ikatan-ikatan keagamaan dan kebangsaan, dan antara santri
dan abangan. Tantangan eksternal yang tak bisa dielakkan adalah cepatnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang kuat pengaruhnya terhadap
kehidupan politik, ekonomi, dan sosial budaya yang semakin sekular.
Eksistensi Islam di Indonesia sangat ditentukan
oleh kondisi objektif yang dibangun umat Islam itu
sendiri melalui kualifikasi dan kapasitas politik yang berwawasan pembentukan
intelektualitas umatnya. Kondisi umat Islam dewasa ini memang telah mengalami
kemajuan, namun secara institusi politik telah mengalami kemunduran. Oleh
karena itu, membicarakan persoalan Islam dan politik dirasakan semakin urgen
oleh umat Islam itu sendiri. Rekayasa pembicaraan dan implementasinya meliputi
pemahaman Islam doktrinal yang kontekstual dengan pertumbuhan politik bangsa,
sistem pembinaan yang dapat membebaskan umat dari keterbelakangan material
maupun spiritual, serta kepemimpinan yang tidak saja kharismatik, melainkan
juga dedikatif dan profesional. Dengan demikian, keberadaan Islam akan dapat
memberi arti bagi pertumbuhan bangsa, paling tidak bagi pemeluknya, atau dengan
istilah al-Qur’an adalah Rahmatan lil
‘alamin.[10]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hampir semua ormas Islam yang muncul di dunia
Islam dilatarbelakangi oleh faktor kebutuhan yang mendesak dalam bidang
keagamaan. Di antaranya adalah adanya penyimpangan yang dilakukan oleh umat
Islam sendiri dari agama yang lurus (Islam) maupun serangan dari pihak luar
yang berusaha mencemari pemikiran umat Islam dengan akidah-akidah sesat serta
budaya yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Keterbelakangan umat
Islam inilah yang mendorong para tokoh Muslim membentuk organisasi untuk
menghimpun kekuatan demi mengembalikan umat Islam ke jalan yang lurus sesuai
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Begitu juga pada partai islam Secara substansial gerakan itu
telah menawarkan landasan-landasan dasar dalam kerangka mengembalikan daya
gerak psikologis (psycholo-striking force) umat Islam melalui titik
pandang yang realistic dan tidak apologetik.
Eksistensi Islam di Indonesia sangat ditentukan oleh kondisi objektif
yang dibangun umat Islam itu
sendiri melalui kualifikasi dan kapasitas politik yang berwawasan pembentukan
intelektualitas umatnya. Kondisi umat Islam dewasa ini memang telah mengalami
kemajuan, namun secara institusi politik telah mengalami kemunduran.
B.
Saran
Sikap merasa diri paling berhak dalam
menafsirkan Al-Qur’an atau hadits semaunya, merasa dialah yang paling benar dan
yang lain salah, menganggap pemahaman umat Islam tentang agama selama ini
keliru, pandangan bahwa kebenaran itu milik Allah dan hanya Dia yang berhak
memvonis sesat, sampai kepada faham bahwa Allah tidak menilai ibadah seseorang
melainkan hatinya sehingga cenderung meremehkan agama dan sekuler, dan lain
sebagainya, semua dalih itu telah menyebabkan perbedaan pendapat yang memicu
perpecahan di kalangan umat Islam.
Pertimbangan:
1. Kerajinan
dalam perkuliahan=> selalu datang dalam perkuliahan (tidak pernah absen)
2. Keaktifan
dalam diskusi=> ikut serta dalam diskusi (seperti memberikan tanggapan dalam
diskusi)
3. Hasil-hasil
bacaan terhadap referensi=> memiliki referensi standar (sesuai ketentuan
yang berlaku)
4. Kemampuan
saya menulis makalah dan tugas lainnya=> ikut serta dalam mengerjakankan
tugas-tugas kelompok, terlebih tugas individu
5. Ketaatan
dan kepatuhan terhadap peraturan UIN-SU=> disiplin dan taat pada aturan yang
ad
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda