Monday, July 10, 2017

SPI



BAB I
PENDAHULUAN
Sejak 1980-an, perkembangan Islam di Indonesia ditandai oleh munculnya fenomena menguatnya religiusitas umat islam. Fenomena yang sering ditengarai sebagai Kebangkitan Islam (Islamic Revivalism) ini muncul dalam bentuk meningkatnya kegiatan peribadatan, menjamurnya pengajian, merebaknya busana yang islami, serta munculnya partai-partai yang memakai platform islam. Fenomena mutakhir yang mengisyaratkan menguatnya kecenderungan ini adalah tuntutan formalisasi Syariat Islam.
Selain fenomena diatas, setelah Reformasi, kebangkitan islam ini juga ditandai oleh munculnya aktor gerakan islam baru. Aktor baru ini berbeda dengan aktor gerakan islam yang lama, seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, Al-Washliyah, Jamaat Khair dan sebagainya. Gerakan mereka berada diluar kerangka mainstream proses politik, maupun wacana dalam gerakan islam dominan. Fenomena munculnya aktor baru ini sering disebut “Gerakan Islam Baru” (New Islamic Movement). [1]
Organisasi-organisasi baru ini memiliki basis ideologi, pemikiran, dan strategi gerakan yang berbeda dengan ormas-ormas islam yang ada sebelumnya. Mereka ditengarai berhaluan puritan, memiliki karakter yang lebih militant, radikal, skripturalis, konservatif, dan eksklusif. Berbagai ormas baru tersebut memang memiliki platform yang beragam, tetapi pada umumnya memiliki kesamaan visi, yakni pembentukan “Negara islam” (daulah islamiyah) dan mewujudkan penerapan syariat islam, baik dalam wilayah masyarakat, maupun negara.
Meskipun spektrum berbagai gerakan ini cukup luas dan kompleks, tetapi secara ideologis, kelompok ini secara keseluruhan menganut paham “salafisme radikal”, yakni berorientasi pada penciptaan kembali masyarakat salaf (generasi Nabi Muhammad dan para sahabatnya) dengan cara-cara keras dan radikal. Bagi mereka, Islam pada masa kaum salaf inilah yang merupakan Islam paling sempurna. Masih murni dan bersih dari berbagai tambahan atau campuran (bid’ah) yang dipandang mengotori islam. Radikalisme religio-historis ini diperkuat dengan pemahaman terhadap ayat-ayat Al-qur’an dan hadis secara harfiah.
Gerakan Islamisasi versi mereka lebih bercorak konfrontatif terhadap sistem social dan politik yang ada. Gerakan ini menghendaki adanya perubahan mendasar terhadap sistem yang ada saat ini (yang mereka sebut sistem sekuler atau “jahiliyah modern”) dan kemudian berupaya menggantinya dengan sistem baru yang mereka anggap sebagai sistem islam (nizam islami).  Agenda iqamah dawlah islamiyah (mendirikan Negara islam) dan formalisasi syariat islam, merupakan muara dari semua aktivitas yang mereka lakukan[2]
 
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Organisasi Islam (ORMAS)
Organisasi massa atau disingkat ormas adalah suatu istilah yang digunakan di Indonesia untuk bentuk organisasi berbasis massa yang tidak bertujuan politis. Bentuk organisasi ini digunakan sebagai lawan dari istilah partai politik. Ormas dapat dibentuk berdasarkan beberapa kesamaan atau tujuan, misalnya: agama, pendidikan, sosial. Maka ormas Islam dapat kita artikan sebagai organisasi berbasis massa yang disatukan oleh tujuan untuk memperjuangkan tegaknya agama Islam sesuai al-qur’an dan as-sunnah serta memajukan umat Islam dalam bidang agama, pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya.[3]
                                 
1. Beberapa Contoh Ormas, Sejarah dan Ajarannya
Berikut ini merupakan contoh-contoh Ormas Islam yang eksis di Indonesia sebagai gambaran adanya gerak ormas di kalangan umat Islam dalam melakukan dakwahnya.
a.      Nahdlatul Ulama (NU)
Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam), disingkat NU, adalah sebuah organisasi Islam besar di Indonesia. Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi. Sebab jauh sebelum NU lahir dalam bentuk jam’iyyah (organisasi), ia terlebih dahulu mewujud dalam bentuk jama’ah (community) yang terikat kuat oleh aktivitas sosial keagamaan yang mempunyai karakter tersendiri (Ridwan, 2004: hal.169).
Dalam Anggaran Dasar hasil Muktamarnya yang ketiga pada tahun 1928 M, secara tegas dinyatakan bahwa kehadiran NU bertujuan membentengi artikulasi fiqh empat madzhab di tanah air. Sebagaimana tercantum pada pasal 2 Qanun Asasi li Jam’iyat Nahdhatul al-Ulama (Anggaran Dasar NU), yaitu :
a. Memegang teguh pada salah satu dari madzhab empat (yaitu madzhabnya Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi’I, Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah an-Nu’man, dan Imam Ahmad bin Hanbal);
b. Menyelenggarakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama Islam.

b.      Manhaj Fikrah Nahdliyah (Metode berpikir ke-NU-an)
Dalam merespon persoalan, baik yang berkenaan dengan persoalan keagamaan maupun kemasyarakatan, Nahdlatul Ulama memiliki manhaj Ahlis Sunnah Wal-Jama’ah sebagai berikut :
1. Dalam bidang Aqidah/teologi, Nahdlatul Ulama mengikuti Manhaj dan pemikiran Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi.
2. Dalam bidang Fiqih/Hukum Islam, Nahdlatul Ulama bermadzhab secara qauli dan manhaji kepada salah satu al-Madzahib al-‘Arba’ah (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali)
3. Dalam Bidang Tasawuf, Nahdlatul Ulama mengikuti Imam al-Junaid al-Baghdadi (w.297H) dan Abu Hamid al-Ghazali (450-505 H/1058-1111 M).[4]

c.       Muhammadiyah (MD)
Muhammadiyah merupakan sebuah organisasi Islam modern yang berdiri di Yogyakarta pada 18 November 1912. Organisasi ini terbentuk karena masyarakat islam yang berpandangan maju menginginkan terbentuknya sebuah organisasi yang menampung aspirasi mereka dan menjadi sarana bagi kemajuan umat islam. Keberadaan tokoh-tokoh Islam yang berpandangan maju tersebut terbentuk karena pendidikan serta pergaulan dengan kalangan Islam di seluruh dunia melalui ibadah haji. Salah seorang tokoh tersebut ialah KH. Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan organisasi ini.
Muhammadiyah didirikan atas dasar agama dan bertujuan untuk melepaskan agama Islam dari adat kebiasaan yang jelek yang tidak berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Rasul
·         Macam Paham Muhammadiyah
Hal-hal yang berkaitan dengan paham agama dalam Muhammadiyah secara garis besar dan pokok-pokoknya ialah sebagai berikut:
a) ‘Aqidah; untuk menegakkan aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid’ah dan khurafat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam;
b) Akhlaq; untuk menegakkan nilai-nilai akhlaq mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran Alquran dan Sunnah Rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia;
c) ‘Ibadah; untuk menegakkan ‘ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah S.A.W. tanpa tambahan dan perubahan dari manusia;
d)  Mu’amalah dunyawiyat; untuk terlaksananya mu’amalah dunyawiyat (pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat) dengan berdasarkan ajaran Agama serta menjadikan semua kegiatan dalam bidang ini sebagai ‘ibadah kepada Allah SWT.

d.      Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII)
Penggagas dan penghimpun tertinggi pertama LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) adalah Al-Imam NurHasan Ubaidah Lubis Amir (nama kebesaran dalam jama’ahnya). Nama kecilnya ialah Madekal/Madigol atau Muhammad Madigol, keturunan asli pribumi Jawa Timur.
Faham yang dianut oleh LDII telah dilarang oleh Jaksa Agung Republik Indonesia pada tahun 1971. Setelah aliran tersebut dilarang, kemudian berganti nama dengan Lembaga Karyawan Islam (LEMKARI) pada tahun 1972. Lalu pada tahun 1981 berganti nama dengan Lembaga Karyawan Dakwah Islam yang juga di singkat dengan LEMKARI.
Kemudian LEMKARI berganti nama lagi sesuai keputusan kongres/muktamar tahun 1990 dengan nama Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Perubahan nama tersebut dengan maksud menghilangkan citra lama LEMKARI yang tidak baik dimata masyarakat.[5]

·         Ajaran-Ajaran LDII
Sebagian ajaran-ajaran dan konsepsi LDII :
1. Kalau disuatu wilayah (negara) minimal ada 3 orang dan salah satunya tidak mau mengangkat imam, maka dikatakan bahwa hidupnya tidak halal (nafasnya haram, shalatnya haram, hajinya haram, dan bahkan jima’nya haram), dan kemudian statusnya disamakan dengan orang-orang kafir.
2. Dikatakan bahwa presiden bukanlah seorang imam, karena presiden hanya mengurusi masalah dunia saja, tidak pernah mengajak rakyatnya, meramut rakyatnya untuk mengaji Al-Qur’an dan al-Hadits yang hal itu berbeda dengan imam-imam mereka.
3. Mengharamkan taqlid dalam fiqh.
4. Mengharamkan budaya-budaya seperti yasinan, tahlilan, maulid Nabi Muhammad dan lain-lain.
5. Mereka hanya mau mendengar pengajian isi kandungan/arti Al-Qur’an dan Al-Hadis hanya dari orang-orang yang mengaji dengan guru/imam mereka. Bagi mereka arti yang disampaikan oleh imamnya adalah bak wahyu yang tidak boleh dibantah. Keluar dari pemahaman yang diartikan oleh imamnya adalah sesat.

e.       Salafi
Kata Salafi adalah sebuah bentuk penisbatan  kepada as-salaf. Kata as-salaf sendiri secara bahasa bermakna orang-orang yang mendahului atau hidup sebelum zaman kita.
Adapun makna teminologis As-Salaf adalah generasi yang dibatasi oleh sebuah penjelasan Rasulullah SAW. Dalam haditsnya, “Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di masaku, kemudian yang mengikuti mereka (tabi’in), kemudian yang mengikuti mereka (tabi’at-tabi’in).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kelompok yang sekarang mengaku-aku sebagai Salafi ini, dahulu dikenal dengan nama Wahabi. Tidak ada perbedaan antara Salafi yang ini dengan Wahabi. Mereka lebih tepat jika disebut Salafi Wahabi, yakni pengikut Muhammad ibnu Abdul Wahab yang lahir di Uyainah, Najd, Saudi Arabia tahun 1115 H (1703 M) dan wafat tahun 1206 H (1792 M). Pendiri Wahabi ini sangat mengagumi Ibnu Taimiyah, seorang ulama kontroversial yang hidup di abad ke-8 H dan banyak mempengaruhi cara berpikirnya
                
·         Ajaran-Ajaran Salafi
1. Mengkafirkan sufi seperti Ibnu Arabi, Ibnu Sab’in, Ibnu Faridh, Abu Yazid al-Busthami, Ma’ruf al-Karkhi dan lain-lain.
2. Mengkafirkan dan menganggap sesat pengikut madzab Asy’ariyah dan Maturidiyyah.
3. Sebagian dari mereka ada yang anti qiyas.
4. Menolak segala bentuk bid’ah meskipun yang kategori baik (hasanah), karena menurut mereka, semua bid’ah adalah sesat.
5. Menolak sholat qabliyah jum’at, yang menurut mereka tidak ada dalil dan hadisnya.
6. Mereka menilai acara yasinan dan tahlilan adalah ritual bid’ah.
7. Mereka juga ada yang menolak ziarah kubur,
8. Mereka menolak qunut subuh, dengan alas an hadist tentang qunut adalah dhaif semua.
9. Mereka memvonis syirik akbar terhadap pengamal tawassul dengan lewat manusia

f.       Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA)
Majelis Tafsir Al-qur’an adalah kelompok islam yang berpusat di kota Solo yang didirikan oleh Abdullah Thufail Saputra pada tanggal 19 September 1972. Karena tidak ada kecocokan dengan ajaran Muhammadiyah, ia mendirikan sekolah organisasi MTA. Dan Abdullah Thufail pun menjabat sebagai ketuanya. Dan ajaran NU, seperti yasinan, membaca maulid Nabi, adalah objek utama mereka dalam berdakwah.
Dalam menyampaikan dakwahnya, mereka memang tidak pernah mengkritik NU secara langsung, amaliyyah Nahdhiyyin yang sudah mengakar erat di masyarakat lah yang mereka kritik dan cela dengan ungkapan yang sangat menyakiti pengamalnya.
·         Faham-Faham MTA
Berikut beberapa faham MTA :
1. Menolak semua hadist dhaif secara mutlak.
2. Mengharamkan maulidan, yasdinan dan tahlilan.
3. Mengharamkan walimah kematian 7 hari, 40 hari, 100 hari, dll.
4. Memahami hadist dan Al-qur’andengan pemahaman pribadinya sehingga banyak sekali hukum yang dicetuskan secara ngawur.
5. Tidak percaya adanya ilmu santet dan tenung (sihir).
6. Menghalalkan anjing dan memperbolehkan memakannya, meski akhir-akhir lebih melunak karena mendapat kritikan hebat.
7.  Memperbolehkan zakat diberikan orang kafir.
8. Mengharamkan adzan dan iqamah saat bayi dilahirkan

g.      Persatuan Islam (Persis)
Persatuan Islam (Persis) berdiri pada permulaan tahun 1920-an, tepatnya tanggal 12 September 1923 di Bandung. Idenya bermula dari seorang alumnus Dâr al-‘Ulûm Mekkah bernama H. Zamzam yang sejak tahun 1910-1912 menjadi guru agama di sekolah agama Dâr al-Muta'alimîn.
Persatuan Islam menghendaki apa yang seharusnya disakralkan dan apa yang tidak seharusnya disakralkan oleh umat Islam. Karena penilaian terhadap sesuatu yang bersifat sakral itu berkaitan erat dengan kualitas ketauhidan dan bahkan pula berkaitan dengan wawasan keislaman yang dimiliki. Jika setiap berbahasa Arab identik dengan Islam, disitu wawasan keislaman yang dimiliki seseorang adalah tergolong awam.[6]
·         Metode Ijtihad Persis
1. Mendahulukan zhahîr ayat al-Qur’an daripada ta’wîl dan memilih cara-cara tafwîdl dalam hal-hal yang menyangkut masalah i’tiqâdiyah.
2. Menerima dan meyakini isi kandungan al-Qur’an sekalipun tampaknya bertentangan dengan ‘aqli dan ‘ady, seperti masalah Isra dan Mi’raj.
3. Mendahulukan makna haqîqi daripada makna majâzi kecuali jika ada alasan (qarînah), seperti kalimat: “Aw lamastumun nisa” dengan pengertian bersetubuh.
4. Apabila ayat al-Qur’an bertentangan dengan al-Hadits, maka didahulukan ayat al-Qur’an sekalipun Hadits tersebut diriwayatkan oleh Muttafaq ‘Alaih, seperti dalam hal menghajikan orang lain.
5. Menerima adanya nasîkh dalam al-Qur’an dan tidak menerima adanya ayat-ayat yang mansûkh (naskh al-kulli).
6. Menerima tafsîr  dari para  sahabat dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an (tidak hanya penafsiran ahl al-bait), dan mengambil penafsiran sahabat yang lebih ahli jika terjadi perbedaan penafsiran di kalangan para sahabat.
7. Mengutamakan tafsîr bi al-Ma’tsûr dari pada bi al-Ra’yi.
8. Menerima Hadits-hadits sebagai bayan terhadap al-Qur’an, kecuali ayat yang telah diungkapkan dengan shighat hasr, seperti ayat tentang makanan yang diharamkan [7]

2. Peran Ormas Dalam Islam
1) Melakukan pemurnian akidah umat Islam yang selama ini mengalami penyimpangan dan menjurus kepada kesyirikan yang dilakukan dengan menyebarkan kesadaran dan pemahaman tentang akidah Islam yang benar di tengah-tengah kaum Muslimin.
2) Membentengi umat Islam untuk tetap berpegang teguh pada aqidah salimah dengan ilmu syar’i yang mantap dari serangan musuh-musuh Islam yang ingin menghancurkan umat Islam lewat pemikiran mereka.
3) Membentengi umat Islam dari serangan kristenisasi.
4) Mengarahkan umat Islam kepada peningkatan keilmuan ummat agar mereka mampu membela Islam dan menjaga identitas keislaman dan akidah mereka secara benar.
5) Menyelamatkan umat Islam dari rencana-rencana penyebar aliran-aliran sesat dan menghadapi mereka dengan cara-cara yang legal dan berusaha menyingkap tujuan-tujuan mereka dan membedah kesalahan ideologi mereka.
6) Melakukan penyadaran kepada umat Islam mengenai bahaya dan kesalahan keyakinan aliran-aliran sesat itu serta mengungkapkannya kepada publik dengan argumen yang jelas dan atas dasar pemahaman dan ilmu yang benar.
7) Membentengi semua kalangan baik generasi muda wanita orang dewasa atau anak-anak yang menjadi incaran budaya-budaya pendatang yang mengajak orang kepada permisifme dan memberontak terhadap nilai-nilai akhlak yang luhur dan mendorong terjadinya kekerasan tindak kejahatan dan prilaku amoral lainnya.
8) Meningkatkan kualitas hidup umat Islam dalam bidang agama, pendidkan, ekonomi, sosial, dan budaya.[8]

3. Sikap Umat Islam Terhadap Munculnya Ormas
1) Sikap fanatik, Menolak atau membenci organisasi lain. Sikap ini ditujukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang menganggap bahwa organisasi lain yang diluar organisasinya sendiri itu tidak benar dan merasa bahwa hanya organisasinya sendirilah yang benar baik dalam pergerakan, pemahaman, manhaj, dan lain sebagainya.
2)  Lebih membanggakan organisasi lain daripada organisasinya sendiri. Sikap ini ditujukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang menganggap bahwa organisasi lain selain organisasinya sendiri itu lebih baik dari pada organisasinya sendiri, hal ini terjadi karena ada kekecewaan atau ketidakpuasan yang ia dapatkan dalam organisasinya yang ia berkecimpung di dalamnya.
3) Sikap pertengahan. Yaitu tidak mengklaim hanya organisasinya sendiri yang benar (fanatik) dan tidak mengklaim bahwa organisasi lain itu tidak benar. Sikap pertengahan ini diawali dengan sebuah kesadaran penuh bahwa perbedaan dalam berorganisasi masyarakat itu adalah sebuah rahmat yang perlu disatukan dalam bentuk kerjasama dan menjalin hubungan yang baik antar ormas-ormas islam, tidak menganggap mereka adalah lawan.
B.     Partai Islam Masa pemerintahan soeharto
Orde Baru sebagai satu babakan sejarah dari mata rantai sejarah Indonesia tidaklah luput dari filosofi sejarah pada umumnya, yakni berada pada kisaran hukum refleksi, dan interaksi dialeksi. Lahirnya orde Baru di pertengahan tahun 1966 yang kemudian mengidentifikasi dirinya sebagai orde pembangunan, telah membawa perubahan di hampir semua bidang kehidupan bangsa, baik di bidang politik, ekonomi maupun sosial budaya.  Dalam Pemilu pertama sejak Orde Baru yang berlangsung pada tahun 1971, partai-partai Islam hanya mendapatkan suara sekitar 29% dan Perti hanya 0,7%. Sedangkan Golkar memperoleh suara 62,8%, PNI 6,4%, Perkindo dan Partai Katholik 2,45%.
Pada tahun 1973, dilakukan kebijakan penyederhanaan partai melalui fusi, dari 10 partai menjadi 3 partai, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang merupakan gabungan dari partai-partai Islam seperti NU, Permusi, PSII dan Perti. Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan dari PNI, Parkindo, Partai Katholik, Murba, dan IPKI. Serta satu Golongan Karya (Golkar). Fusi bukanlah ide dari pemimpin partai, melainkan berasal dari pemerintah. Dan meskipun para pemimpin partai dari keempat partai tersebut sudah bersepakat untuk meleburkan diri dalam sebuah partai yang disebut atau diberi nama PPP, namun latar belakang kulturalnya yang berbeda tetap menjadi faktor potensial bagi perpecahan, sebagaimana yang pernah terjadi pada masa lalu, yakni ketika PSII yang kemudian disusul oleh NU memisahkan diri dari Masyumi.
Menjelang Pemilu tahun 1982, semakin nampak perbedaan yang tajam antara unsur-unsur di dalam tubuh PPP. Faktor utama penyebabnya, karena J. Naro yang menggeser calon-calon dari golongan NU dalam daftar calon anggota DPR. Sikap yang membawa kekacauan dalam tubuh partai politik ini telah mengakibatkan berkurangnya jumlah kursi PPP di DPR yakni sebanyak 6 kursi dibandingkan dari jumlah kursi yang diperoleh pada tahun 1977 yang memperoleh 99 kursi. Sejak inilah PPP berada dalam posisi yang semakin tidak menentu dengan adanya sikap otoriter yang ditampilkan J. Naro terhadap setiap pimpinan partai yang berbeda dengannya. Bukan itu saja, sikap otoriter itu juga diterapkan terhadap mereka yang berasal dari golongan yang sama dengan dirinya (Permusi). Sikap ini berdampak tidak menguntungkan partai, yang dapat dilihat dari hasil Pemilu tahun 1987 dengan perolehan PPP hanya 61 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Jadi meskipun pada awalnya Orde Baru itu memberikan peluang dan posisi memungkinkan bagi umat Islam untuk memperkuat dan menentukan sikap politiknya, namun pada perjalanannya telah dikacaukan oleh munculnya ambisius kelompok dan pribadi. Makanya orientasi politik dan implementasinya oleh umat Islam telah menimbulkan konflik internal yang serius, sehingga menyudutkan umat yang mayoritas menjadi veriferian dalam percaturan pembangunan secara nasional.
Gerakan pemahaman Islam secara kritis dan empirik terjadi pada awal tahun 70-an pada saat Nurcholis Madjid melontarkan gagasan “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. Dengan peran media yang demikian intens, gagasan itu tersebar dengan cepat dan menyentak suasana yang telah terkondisi. Wajarlah jika reaksi dari berbagai kalangan segera bermunculan baik yang pro dan kontra. Muatan isi yang ditonjolkan oleh pemikiran baru itu adalah seputar liberalisasi pandangan, sekularisasi, kebebasan berpikir, idea of progress, inklusifisme, pemisahan Islam sebagai nilai dan partai Islam sebagai alat. Secara substansial gerakan itu telah menawarkan landasan-landasan dasar dalam kerangka mengembalikan daya gerak psikologis (psycholo-striking force) umat Islam melalui titik pandang yang realistic dan tidak apologetik. Arah yang menjadi bidikannya paling tidak tercermin pada analisis bahwa supaya umat Islam tidak dapat mengenali dan mengarahkan gejala-gejala modernitas, tidak terasing dari padanya dan tidak lagi berada pada posisi marginal dalam dinamika pembangunan, khususnya ikut dan melakukan pengambilan kebijakan politik bangsa. Untuk ke arah itu diperlukan prasyarat dasar berupa pembenahan—kalau tidak perombakan pola-pola pandang, kebebasan berpikir, keterbukaan sikap dan meletakkan Islam menjadi membumi sebagai sistem nilai.[9]


C.    Partai Islam di Era Reformasi
Sejalan dengan adanya pembaharuan pemikiran, telah terjadi pula perubahan orientasi organisasi dari para pemimpin Islam. Sebelumnya format perjuangan Islam lebih difokuskan melalui jalur politik, dalam perkembangan selanjutnya format perjuangan meliputi bidang yang lebih luas dan konkrit, terutama upaya-upaya untuk membebaskan umat Islam dari kebodohan dan kemiskinan. Dahulu ormas-ormas Islam dengan segenap underbow-nya lebih berperan sebagai penggalang masa dan pemimpinnya berorientasi pada politik praktis seperti menjadi anggota DPR, dan kalau bergerak di bidang pendidikan atau sosial misalnya itupun hanya terbatas, maka pada saat ini ormas-ormas itu berperan untuk membina umat dalam bidang yang lebih luas.
Pada era reformasi, terdapat banyak partai Islam atau partai yang berbasis dukungan umat Islam, seperti Partai Persatuan Pembangnunan (PPP), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Umat Islam (PUI), Partai Masyumi Baru, Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan (PK), Partai Nahdhatul Ummat (PNU), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan yang lainnya. Fenomena maraknya partai Islam dan partai berbasis dukungan umat Islam merupakan refleksi dari kemajemukan umat Islam dan keragaman kepentingan kelompok Islam. Kelahiran partai-partai tersebut merupakan buah eforia politik yang tidak terelakkan dari proses reformasi. Proses reformasi yang terjadi memang memberikan angin segar kebebasan bagi warga negara untuk berserikat dan berkelompok yang selama 30 tahun telah terkungkung oleh kekuasaan absolut sentralistik.
Dimensi kultural pada berbagai kelompok Islam mengakibatkan mereka sulit bersatu dalam kehidupan politik. Oleh karena itu, penggabungan partai-partai Islam ke dalam satu wadah tunggal nyaris menjadi utopia. Eksperimen pada masa Orde Baru melalui fusi beberapa partai Islam nyatanya belum sepenuhnya berhasil mengkristalkan kepentingan unsur-unsur yang bersatu. Politik Islam di Indonesia secara umum belum berhasil mencapai efektifitas politik. Salah satu pangkal efektifitas politik menurut Allan A. Samson adalah kepemimpinan. Kepemimpiman partai politik belum mampu memfungsikan partai sebagai medium artikulasi kepentingan politik umat Islam.
Kenyataan di atas mengidentifikasikan bahwa tantangan yang dihadapi umat Islam semakin variatif, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Sementara persoalan-persoalan traumatis pun belum dapat dihilangkan seluruhnya yang merupakan benturan antara tradisionalisme dan modernisme, antara ikatan-ikatan keagamaan dan kebangsaan, dan antara santri dan abangan. Tantangan eksternal yang tak bisa dielakkan adalah cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang kuat pengaruhnya terhadap kehidupan politik, ekonomi, dan sosial budaya yang semakin sekular.
Eksistensi Islam di Indonesia sangat ditentukan oleh kondisi objektif yang dibangun umat Islam itu sendiri melalui kualifikasi dan kapasitas politik yang berwawasan pembentukan intelektualitas umatnya. Kondisi umat Islam dewasa ini memang telah mengalami kemajuan, namun secara institusi politik telah mengalami kemunduran. Oleh karena itu, membicarakan persoalan Islam dan politik dirasakan semakin urgen oleh umat Islam itu sendiri. Rekayasa pembicaraan dan implementasinya meliputi pemahaman Islam doktrinal yang kontekstual dengan pertumbuhan politik bangsa, sistem pembinaan yang dapat membebaskan umat dari keterbelakangan material maupun spiritual, serta kepemimpinan yang tidak saja kharismatik, melainkan juga dedikatif dan profesional. Dengan demikian, keberadaan Islam akan dapat memberi arti bagi pertumbuhan bangsa, paling tidak bagi pemeluknya, atau dengan istilah al-Qur’an adalah Rahmatan lil ‘alamin.[10]


BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Hampir semua ormas Islam yang muncul di dunia Islam dilatarbelakangi oleh faktor kebutuhan yang mendesak dalam bidang keagamaan. Di antaranya adalah adanya penyimpangan yang dilakukan oleh umat Islam sendiri dari agama yang lurus (Islam) maupun serangan dari pihak luar yang berusaha mencemari pemikiran umat Islam dengan akidah-akidah sesat serta budaya yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Keterbelakangan umat Islam inilah yang mendorong para tokoh Muslim membentuk organisasi untuk menghimpun kekuatan demi mengembalikan umat Islam ke jalan yang lurus sesuai Al-Qur’an dan As-Sunnah. Begitu juga pada partai islam Secara substansial gerakan itu telah menawarkan landasan-landasan dasar dalam kerangka mengembalikan daya gerak psikologis (psycholo-striking force) umat Islam melalui titik pandang yang realistic dan tidak apologetik.  Eksistensi Islam di Indonesia sangat ditentukan oleh kondisi objektif yang dibangun umat Islam itu sendiri melalui kualifikasi dan kapasitas politik yang berwawasan pembentukan intelektualitas umatnya. Kondisi umat Islam dewasa ini memang telah mengalami kemajuan, namun secara institusi politik telah mengalami kemunduran.

B.  Saran
Sikap merasa diri paling berhak dalam menafsirkan Al-Qur’an atau hadits semaunya, merasa dialah yang paling benar dan yang lain salah, menganggap pemahaman umat Islam tentang agama selama ini keliru, pandangan bahwa kebenaran itu milik Allah dan hanya Dia yang berhak memvonis sesat, sampai kepada faham bahwa Allah tidak menilai ibadah seseorang melainkan hatinya sehingga cenderung meremehkan agama dan sekuler, dan lain sebagainya, semua dalih itu telah menyebabkan perbedaan pendapat yang memicu perpecahan di kalangan umat Islam.

Pertimbangan:
1.      Kerajinan dalam perkuliahan=> selalu datang dalam perkuliahan (tidak pernah absen)
2.      Keaktifan dalam diskusi=> ikut serta dalam diskusi (seperti memberikan tanggapan dalam diskusi)
3.      Hasil-hasil bacaan terhadap referensi=> memiliki referensi standar (sesuai ketentuan yang berlaku)
4.      Kemampuan saya menulis makalah dan tugas lainnya=> ikut serta dalam mengerjakankan tugas-tugas kelompok, terlebih tugas individu
5.      Ketaatan dan kepatuhan terhadap peraturan UIN-SU=> disiplin dan taat pada aturan yang ad

No comments:

Post a Comment

TUGAS MAHASISWA

Rollplay

Rollplay Berdasarkan Model Keperawatan Imogene M King “KOMUNIKASI ANTARA PERAWAT DENGAN IBU WINDA YANG MENGALAMI LUKA BAKAR TERMAL PADA BAG...