TAFSIR makna islam sebenarnya yang tedapat di dalam Al qur’an
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Agama islam berasal dari Allah. Memahami islam secara benar akan mengantarkan umatnya untuk mengamalkannya secara benar pula. Sekarang ini problematika umat yang mendasar yaitu ketidak fahaman terhadap Al-islam sebagaimana yang dikehendaki Allah dan rasul-Nya. Oleh karena itu memahami “Dinul islam” adalah suatu keharusan bagi umat Islam.
Terminologi
islam secara bahasa memiliki beberapa makna. Makna-makna tersebut ada kaitannya
dengan sumber data dari “islam” itu sendiri, yang notabene berasal
dari bahasa Arab. Islam terdiri dari huruf dasar ( dalam bahasa arab ): “sin”,
“lam”, dan “mim”. Beberapa kata dalam bahasa Arab yang memiliki
huruf dasar yang sama mengetahui makna islam bahasa . jadi, makna-makna islam
secara bahasa antara lain : islamul wajh (menundukkan wajah), Al
istislam (berserah diri), As salamah (suci bersih), As salam (selamat
dan sejahtera), As silmu (perdamaian), dan sullam (tangga,bertahap,
atau taddaruj).
Dalam
makalah ini kami akan membahas tentang beberapa ayat suci Al-qur’an yang
mengandung makna Islam.
B. Rumusan masalah
Makalah ini membahas tentang ayat-ayat tentang makna islam dalam Al qur’an. Dan juga menjelaskan bagaimana keterkaitannya ajaran-ajaran yang disampaikan oleh para nabi sebelum Nabi Muhammad saw.
C. Tujuan makalah
Adapun tujuan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana makna islam sebenarnya yang tedapat di dalam Al qur’an. Dan juga meluruskan pandangan tentang makna islam yang timbul di kalangan umat.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Tafsir Surat Ali Imran (3) Ayat 19
إِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ
الله الإسلاَم وَ مَا اخْتلَفَ الذِينَ أوتوا الكِتَابَ إلا مِنْ بعْد مَا جَاءهُم
العلمُ بغياً بينهُم ومن يكفر بايات اللهِ فاِنّ الله سريعُ الحِساب
”sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu. Karena kedengkian di antara mereka. Barang siapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah maka sungguh Allah sangat cepat perhitungan-Nya”
”sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu. Karena kedengkian di antara mereka. Barang siapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah maka sungguh Allah sangat cepat perhitungan-Nya”
Kata din دِيْنٌ ) ) mempunyai banyak arti, antara lain
kedudukan, ketaatan, perhitungan, balasan. Juga berarti agama, karena dengan
agama seeseorang bersikap tunduk dan taat, serta akan diperhitungkan seluruh
amalnya, yang atas dasar itu ia memperoleh balasan dan ganjaran. Sesungguhnya
agama yang disyariatkan di sisi Allah adalah islam. Kemudian
demikian terjemahan yang populer.
Terjemahan atau makna itu, walau tidak keliru, belum sepenuhnya jelas, bahkan
dapat menimbulkan kerancuan. Untuk memahaminya dengan lebih jelas, mari kita
lihat hubungan ayat ini dengan ayat sebelumnya. Ayat yang lalu menjelaskan bahwa
tiada Tuhan, yakni tiada penguasa yang memiliki dan mengatur seluruh alam,
kecuali Dia, yang maha perkasa lagi bijaksana. Jika demikian, ketundukan dan
ketaatan kepada-Nya adalah keniscayaan yang tidak terbantah, sehingga jika
demikian, hanya keislaman, yakni penyerahan diri secara penuh kepada Allah,
yang diakui dan diterima di sisi-Nya.
Allah
tidak menerima agama selain agama islam dari seorangpun. Islam yang berarti
ketundukan, ketaatan, dan mengikuti peraturan-Nya. Oleh karena itu, Allah tidak
menerima agama seseorang yang semata-mata hanya berupa ide-ide dan gambaran
dalam pikirannya. Dia juga tidak menerima keberagamaan seseorang yang Cuma
semata-mata sikap pembenaran dalam hati saja. Akan tetapi, agama yang diterima
Allah ialah keyakinan dan pengakuan dengan disertai pembuktiannya. Yaitu
memberlakukan manhaj’ peraturan Allah dalam semua urusan hamba, menaati
hukum dan peraturan-Nya, dan mengikuti sunnah Rasul-Nya yang menjalankan manhaj-Nya
itu[1].
Agama,
atau ketaatan kepada-Nya, ditandai oleh penyerahan diri secara mutlak kepada
Allah SWT. Islam dalam arti penyerahan diri adalah hakikat yang ditetapkan
Allah dan diajarkan oleh para nabi sejak Nabi Adam as. Hingga Nabi Muhammad
saw. Ayat ini menurut Ibnu Katsir mengandung pesan dari Allah, bahwa tiada
agama di sisi-Nya, dan yang diterima-Nya dari seorangpun kecuali Islam, yaitu
mengikuti Rasul-rasul yang diutus-Nya setiap saat hingga berakhir dengan
Muhammad saw. Dengan kehadiran beliau, telah tertutup semua jalan menuju Allah
kecuali jalan dari arah beliau, sehingga siapa yang menemui Allah setelah
diutusnya Muhammad saw. Dengan menganut satu agama selain syariat yang beliau
sampaikan, maka tidak diterima oleh-Nya, sebagaimana firman-Nya: “barang
siapa mencari agama selain islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”(QS.Ali
imran 3 : 85).
Sekali lagi, jika demikian, Islam adalah agama para nabi. Istilah muslimin
digunakan juga untuk umat-umat para nabi terdahulu, karena itu –tulis
Asy-sya’rawi- islam tidak terbatas hanya pada risalah sayyidina Muhammad saw.
Saja. Tetapi islam adalah ketundukan makhluk kepada Tuhan yang maha esa dalam
ajaran yang dibawa oleh para rasul, yang didukung oleh mu’jizat dan bukti-bukti
yang meyakinkan. Hanya saja –lanjut Asy-sya’rawi- kata islam untuk ajaran para
nabi yang lalu merupakan sifat, sedang umat nabi Muhammad saw. Memiliki
keistimewaan dari sisi kesinambungan sifat itu bagi agama umat Muhammad, sekaligus
menjadi tanda.
Teks dan
Terjemahan QS. Ali Imran (3) : 19
19.
Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada
berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab[115] kecuali sesudah datang
pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka.
Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat
cepat hisab-Nya.
[115]
Maksudnya ialah Kitab-Kitab yang diturunkan sebelum Al Quran.
Ad-Din : secara literal mempunyai beberapa makna :
pembalasan, taat dan tunduk. Atau kumpulan tugas yang dijalankan oleh hamba
Karena Allah. Dan apa yang dibebankan kepada hamba dinamakan syariat, jika
dilihat dari segi letak dan peranannya dalam memberikan penjelasan kepada
manusia.
Dinamakan juga Din, juga dilihat dari segi yang
harus ditaati dan berarti taat kepada pentasyri’. Pengertian millah,
karena dianggap sebagai yang di imlakkan dan dituliskan.
Al-Islam : terkadang berarti taat dan menyerahkan diri. Berarti
juga melaksanakan (menunaikan). Dikatakan, Aslamtusy Syaia Ila Fulanin
(bila Anda menunaikan padanya). Bisa pula diartikan masuk ke dalam silm
(perdamaian), atau damai dan selamat. Penamaan dinul haq menjadi islam
adalah sesuai dengan semua pengertian tadi. Sedang nama yang pertama adalah
lebih sesuai. Hal ini ditunjukkan oleh Firman Allah QS. An-Nisa’ (4) : 125 :
125. dan
siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan
dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti
agama Ibrahim yang lurus? dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.
“Sesungguhnya
agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam”
Sesungguhnya semua agama dan syariat yang didatangkan
oleh para Nabi, ruh atau intinya adalah Islam (menyerahkan diri), tunduk
dan menurut. Meskipun dalam beberapa kewajiban dan bentuk amal agak berbeda,
hal ini pulalah yang selalu diwasiatkan oleh para nabi. Orang Muslim hakiki
adalah orang yang bersih dari kotoran syirik, berlaku ikhlas dalam amalnya, dan
disertai keimanan, tanpa memandang dari agama mana dan dalam zaman apa ia
berada. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah SWT QS. Ali-Imran (3) : 85 :
85.
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang
rugi.
Disyariatkannya
Din Karena Dua Hal :
Allah SWT mensyariatkan agama karena dua hal :
a. Untuk memebersihkan rohani dan
membebaskan akal dari berbagai kotoran akidah, yang menganggap hal-hal gaib itu
berkuasa atas diri makhluk. Sehingga dengan kekuatan gaib tersebut, seseorang
bisa mengatur makhluk hidup sekehendaknya yang bertujuan agar orang tunduk dan
menyembah siapa saja yang dianggap semisal (artinya, bukan Tuhan).
b. Meluruskan hati dengan cara
memperbaiki amal dan ikhlas dalam berniat baik Karena Allah atau untuk menolong
sesame.
Masalah ibadah disyariatkan untuk mendidik ruh akhlak
agar si empunya mudah melaksanakan kewajiban-kewajiban agama.
Ibnu Jarir meriwayatkan sebuah hadits dari Qatadah,
Rasulullah SAW, bersabda :
“Yang dinamakan Islam adalah bersaksi bahwa tiada
Tuhan selain Allah dan mengakui apa-apa yang datang dari sisi Allah . Islam
merupakan agama Allah SWT, yang disyariatkan untuk diri-Nya dan mengutus
dengannya para Rasul-Nya, dan dibuktikan oleh kekasih-kekasih-Nya, Allah tidak
akan menerima agama selain Islam, dan Allah SWT, tidaklah memberi agama kecuali
melalui-Nya.”
Ali ra. berkhutbah, “Agama Islam adalah menyerahkan
diri dan menyerahkan diri adalah keyakinan, dan keyakinan ialah percaya,
percaya ialah berikrar, dan berikrar ialah melaksanakan, sedang melaksanakan
adalah mengamalkan,” Selanjutnya beliau mengatakan, “Sesungguhnya
seorang mukmin mengambil agamanya dari Tuhannya bukan mengambilnya dari
pendapatnya sendiri. Orang yang beriman diketahui keimanannya dari amal
perbuatannya, dan orang kafir diketahui kekafirannya dari keingkarannya. Wahai
umat manusia, berhati-hatilah terhadap agamamu, sebab sesungguhnya kejelekan di
dalam agama ini (Islam) adalah lebih baik dari pada kebaikan yang lainnya.
Sebab kejelekan di dalamnya akan diampuni, sedang kebaikan selainnya tidaklah
diterima.”
“Tiada
berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang
pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka.”
Orang-orang Ahlul Kitab tidak keluar dari Islam yang
dibawa oleh para Nabi mereka, sehingga mereka terpecah menjadi beberapa sekte
yang saling bermusuhan dalam masalah agama. Padahal agama adalah satu, tidak
ada persengketaan atau pertengkaran, kecuali karena kelakuan aniaya dan
melewati batas yang dilakukan para pemimpin mereka.
Bila saja
tidak ada unsur aniaya dan fanatisme mereka terhadap sebagian lainnya dalam
masalah sekte, dan upaya mereka menyesatkan orang-orang yang menentangnya
dengan cara menafsirkan nas-nas agama berdasarkan pendapat dan hawa nafsu,
serta mentakwilkan sebagian atau merubahnya, maka tidak akan terjadi
perselisihan antar mereka.
“Barangsiapa
yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat
hisab-Nya.”
Barang siapa mengingkari ayat-ayat Allah yang
menunjukkan kewajiban berpegang teguh kepada agama-Nya dan kesatuan, serta
diharamkannya perselisihan dan perpecahan, juga diharamkan tidak tunduk pada
ayat-ayat Allah, maka Allah akan membalas dan menghukum. Sebab Allah Maha cepat
hisab-Nya.
Yang dimaksud ayat-ayat Allah disini adalah ayat-ayat
kebesaran-Nya yang diilustrasikan dengan alam semesta, dalam diri mereka dan di
seluruh penjuru bumi yang luas ini. Termasuk katagori tidak tunduk pada
ayat-ayat Allah, yaitu seperti memalingkan arti yang sebenarnya dan
menyesuaikan dengan sekte-sekte sesat, bahkan atheis dalam menafsirkan
ayat-ayat syariat yang diturunkan Allah SWT, kepada para Rasul-Nya.
Untuk ayat ini, terdapat dua pembahasan :
Pertama : Firman Allah SWT :
“Sesungguhnya
agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.”
Abu Al-Aliyah mengatakan bahwa kata Ad-Din pada ayat
ini bermakna ajaran dan ketaatan, sedangkan kata Al-Islam bermakna keimanan.
Pendapat ini juga diikuti oleh para ahli ilmu Kalam.
Pada awalnya, sebutan iman dan islam itu adalah dua
hal yang berbeda. Dalilnya adalah hadits yang mengisahkan pertanyaan malaikat
Jibril kepada Nabi SAW. Namun bisa juga keduanya bermakna sama, maksudnya
sebutan Islam dapat digunakan untuk makna Iman, dan sebutan Iman dapat
digunakan untuk makna Islam. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan mengenai
Abdul Qais. Yaitu pada saat para delegasi itu diperintahkan untuk beriman
kepada Allah semata, Nabi SAW bertanya kepada mereka, “Apakah kalian
mengetahui makna Iman?” mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih
mengetahui.” Lalu Nabi bersabda, “(Iman adalah) bersyahadat bahwa tiada
tuhan melainkan Allah, dan Muhammad utusan Allah, mendirikan sholat, membayar
zakat, berpuasa di bulan Ramadhan…” Al-Hadits… (HR. Muslim pada pembahasan
tentang Keimanan (1/47-48).
Begitu juga dengan sabda Nabi SAW,
“Iman itu tujuh puluh sekian bagian, dan bagian yang
paling rendah adalah menyingkirkan duri (dari jalan), dan bagian yang paling
tinggi adalah ucapan, Laa ilaaha illallah (Tiada tuhan melainkan Allah).” (HR. At-Tirmidzi, Dalam riwayat
imam Muslim ditambahkan, “rasa malu itu salah satu bagian dari keimanan.”)
Atau bisa juga keduanya bermakna samar, maksudnya yang
disebutkan salah satunya namun yang dimaksudkan adalah yang lainnya, seperti
yang terjadi pada ayat ini, dimana yang disebutkan adalah kata islam namun
makna yang tersirat adalah pembenaran akidah.
Dan diantara makna ini adalah sabda Rasulullah SAW :
“Keimanan adalah meyakini dengan hati, mengucapkan
dengan lisan, dan mengerjakan rukun-rukunnya.” HR. Ibnu Majah (seperti yang telah
kami sebutkan sebelumnya). Akan tetapi, makna yang sebenarnya tetap makna yang
pertama, secara syariat dan pemberitahuan langsung. Adapun makna yang lainnya
hanya penambahan dan perluasan maknanya saja. Wallahu A’lam.
Kedua : Firman Allah SWT :
“Tiada
berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang
pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka.
Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat
cepat hisab-Nya.”
Pada ayat ini Allah SWT memberitahukan tentang
perselisihan yang terjadi pada Ahlul Kitab, padahal mereka telah
diberikan pengetahuan. Mereka melakukannya hanya karena kedengkian dan
mengharapkan keduniaan semata. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Umar dan
ulama lainnya.
Sebenarnya pada firman ini terdapat taqdim dan ta’khir
(ada kalimat yang dimajukan dan diakhirkan). Perkiraannya adalah, “Tiada
berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab karena kedengkian (yang ada)
di antara mereka kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka.”
Pendapat ini disampaikan oleh Al-Akhfasy.
Muhammad bin Ja’far bin Zubair mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan para Ahlul Kitab disini ialah orang-orang Nasrani. Sedangkan
Rabi’ bin Anas mengatakan bahwa yang dimaksud ayat ini adalah orang-orang
Yahudi.
Namun Lafadz Ahlul Kitab adalah umum untuk orang-orang
Yahudi dan orang-orang Nasrani. Maksudnya, makna firman Allah SWT, “Tiada
berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab” mereka berselisih
mengenai Muhammad SAW sebagai seorang Nabi.
“Kecuali setelah datang pengetahuan kepada mereka”, maksudnya, setelah dijelaskan
dalam kitab mereka mengenai sifat-sifat kenabian Muhammad SAW dan segala
cirri-cirinya.
Ada juga yang menafsirkan, “Tiada berdebat dan
berselisih orang-orang yang telah diberi kitab Injil mengenai Nabi Isa kecuali
setelah mereka diberitahukan bahwa Allah SWT adalah Tuhan satu-satunya, dan
bahwa Isa adalah hamba Allah dan Rasul-Nya”
Kata Din mempunyai banyak arti, antara lain
ketundukan, ketaatan, perhitungan, balasan. Juga berarti agama karena dengan
agama seseorang bersikap tunduk dan taat serta akan diperhitungkan seluruh
amalnya, yang atas dasar itu ia memperoleh balasan dan ganjaran.
Sesungguhnya agama yang disyariatkan disisi Allah
adalah Islam. Demikian
terjemahan yang popular.
Terjemahan atau makna itu, walau tidak keliru, belum
sepenuhnya jelas, bahkan dapat menimbulkan kerancuan. Untuk memahaminya dengan
lebih jelas, mari kita lihat hubungan ayat ini dengan ayat sebelumnya.
Ayat yang lalu menegaskan bahwa tiada Tuhan, yakni
tiada Penguasa yang memiliki dan mengatur seluruh alam, kecuali Dia, Yang Maha
Perkasa lagi Bijaksana. Jika demikian, ketundukan dan ketaatan kepada-Nya
adalah keniscayaan yang tidak terbantah, jika demikian, hanya keislaman, yakni
penyerahan diri secara penuh kepada Allah, yang diakui dan diterima disisi-Nya.
Agama, atau ketaatan kepada-Nya, ditandai oleh
penyerahan diri secara mutlak kepada Allah SWT. Islam dalam arti penyerahan
diri adalah hakikat yang ditetapkan Allah dan diajarkan oleh para nabi sejak
Nabi Adam as. hingga Nabi Muhammad SAW.
Ayat ini, menurut Ibn Katsir, mengandung pesan dari
Allah bahwa tiada agama di sisi-Nya dan yang diterima-Nya dari seorang pun
kecuali Islam, yaitu mengikuti rasul-rasul yang diutus-Nya setiap saat hingga
berakhir dengan Muhammad SAW. Dengan kehadiran beliau, telah tertutup semua
jalan menuju Allah kecuali jalan dari arah beliau sehingga siapa yang menemui
Allah setelah diutusnya Nabi Muhammad SAW dengan menganut satu agama selain
syariat yang beliau sampaikan, tidak diterima oleh-Nya, sebagaimana firman-Nya
: “ Barang siapa mencari agama selain dari Islam, maka sekali-kali tidaklah
akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang
rugi” (QS. Ali Imran (3) : 85)
Sekali lagi, jika demikian, Islam adalah agama para
nabi. Istilah muslimin digunakan juga untuk umat-umat para nabi terdahulu,
karena itu-tulis asy-Sya’rawi- Islam tidak terbatas hanya pada risalah
Sayyidina Muhammad SAW saja. Tetapi, Islam adalah ketundukan makhluk kepada
Tuhan Yang Maha Esa dalam ajaran yang dibawa oleh para rasul, yang di dukung
oleh mukjizat dan bukti-bukti yang meyakinkan. Hanya saja- lanjut
asy-Sya’rawi-kata Islam untuk ajaran para nabi yang lalu merupakan sifat,
sedang umat Nabi Muhammad SAW memiliki keistimewaan dari sisi kesinambungan
sifat itu bagi agama umat Muhammad, sekaligus menjadi tanda dan nama baginya.
Ini Karena Allah tidak lagi menurunkan agama sesudah datangnya Nabi Muhammad
SAW. Selanjutnya, ulama Mesir kenamaan itu mengemukakan bahwa nama ini telah
ditetapkan jauh sebelum kehadiran Nabi Muhammad SAW. Firman Allah SWT yang
disampaikan oleh Nabi Ibrahim dan di abadikan al-Qur’an menyatakan: “Dia
(Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu
pula) dalam (al-Qur’an) ini… (QS. Al-Hajj (22) : 78). Karena itu pula
agama-agama lain tidak menggunakan nama ini sebagaimana kaum muslimin tidak
menamai ajaran agama mereka dengan Muhammadinisme.
Di sisi lain diamati bahwa dalam al-Qur’an tidak
ditemukan kata Islam sebagai nama agama kecuali setelah agama ini sempurna
dengan kedatangan Nabi Muhammad SAW. Dari semua yang dijelaskan diatas, tidak
keliru jika kata Islam pada ayat ini dipahami sebagai ajaran yang dibawa oleh
Nabi Muhammad SAW, karena, baik dari tinjauan agama maupun sosiologis, itulah
nama ajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. Dan, secara akidah
Islamiyah, siapapun yang mendengar ayat ini dituntut untuk menganut ajaran yang
dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, walaupun disisi Allah semua agama yang dibawa
oleh para rasul adalah Islam sehingga siapapun sejak Adam hingga akhir zaman
yang tidak menganut agama sesuai yang diajarkan oleh rasul yang diutus kepada
mereka, Allah tidak menerimanya.
Allah telah mengutus rasul-rasul membawa ajaran Islam,
tetapi ternyata banyak yang tidak menganutnya. Banyak yang berselisih tentang
agama dan ajaran yang benar, bahkan yang berselisih adalah pengikut para nabi
yang diutus Allah membawa ajaran itu. Sebenarnya para nabi dan rasul yang
diutus itu tidak keliru atau salah, tidak juga lalai menjelaskan agama itu
kepada para pengikut mereka karena tidak berselisih orang-orang yang telah
diberi al-Kitab pada suatu kondisi atau pun waktu kecuali sesudah dating
pengetahuan kepada mereka. Nah, jika demikian, mengapa mereka berselisih ?
tentu ada penyebabnya. Benar, mereka berselisih karena kedengkian yang
ada di antara mereka. Bukan kedengkian antara mereka dan orang lain,
tetapi antara mereka satu dan yang lain.
Kedengkian yang merupakan terjemahan dari kata baghyan,
yang digunakan ayat diatas, adalah ucapan atau perbuatan yang dilakukan untuk
tujuan mencabut nikmat yang dianugerahkan Allah kepada pihak lain disebabkan
rasa iri hati terhadap pemilik nikmat itu.
Ayat diatas menegaskan bahwa mereka telah mengetahui
kebenaran, namun demikian mereka tetap dikecam bahkan diancam. Ini karena
keberagamaan bukan sekedar pengetahuan, tetapi ketundukan dan ketaatan, atau,
dengan kata lain, pengetahuan yang membuahkan ketaatan. Keberagamaan
membutuhkan buah, sedang tumbuhan tidak akan berbuah jika tidak ada lahan yang
subur berupa kesucian hati. Bukankah air yang tercurah dari langit tidak
menghasilkan buah tanpa ada lahan subur yang digarap ? Mereka yang
berselisih karena enggan menerima ajaran para rasul, apalagi setelah mereka
ketahui, pada hakikatnya adalah orang-orang kafir terhadap ayat-ayat Allah, dan
barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka Allah akan
menjatuhkan sanksi atasnya. Jangan menduga bahwa sanksi itu masih lama. Tidak!
Sebentar lagi akan mereka alami karena sesungguhnya Allah sangat cepat
hisab-Nya dan dengan demikian, cepat pula jatuhnya sanksi Allah terhadap
orang-orang yang kafir.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Setelah pemakalah menguraikan penafsiran QS. Ali Imran
(3) : 19 menurut tiga Mufassir; M. Quraish Shihab dalam tafsir al-Mishbah,
Ahmad Mushthofa al-Maraghi dalam tafsir al-Maraghi dan Syaikh Imam al-Qurthubi
dalam tafsir al-Qurthubi, dapat diambil setidaknya dua poin kesimpulan sbb :
1. Dengan ayat kesembilan belas Allah
memberi tahu kepada hamba-Nya bahwa tiada suatu agama selain agama Islam yang
diterima oleh-Nya dari seseorang. Dan dimaksud dengan Islam ialah mengikuti
jejak pesuruh-pesuruh Allah dalam segala hal yang telah diwahyukan kepada
mereka dari masa ke masa sampai diakhiri dengan kenabian Muhammad SAW, yang
telah menutup segala jalan kepada-Nya melainkan lewat ajaran beliau. Maka
barangsiapa sesudah kerasulan Nabi Muhammad SAW datang kepada Allah dengan
Agama selain agama Muhammad dan syariatnya tidaklah akan diterima sebagaimana
firman Allah SWT :
85. Barangsiapa mencari agama selain
agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya,
dan Dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi.
2. Kemudian Allah memberi tahu dalam
ayat ini bahwa orang-orang yang telah diberi kitab-kitab sebelum Al-Qur’an
telah berselisih setelah datang pengetahuan kepada mereka tentang kerasulan
beberapa rasul dan penurunan beberapa kitab. Mereka berselisih karena kedengkian
dan kebencian diantara sesama mereka yang menjadikan sebagian dari mereka
menentang sebagian yang lain dalam segala kata-kata dan perbuatan walaupun
kata-kata dan perbuatan itu benar. Kemudian Allah berfirman bahwa
barangsiapa yang kafir, mengingkari apa yang diturunkan oleh Allah dalam
kitab-Nya, maka Allah Maha Cepat akan membalasnya dan menghukumnya atas
pengingkarannya serta pelanggarannya terhadap kitab Allah.
DAFTAR
PUSTAKA
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir
al-Mishbah : Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an.
Jakarta : Lentera Hati.
Al-Qurthubi, Syaikh Imam. 2008. Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an.
Terj. Dudi Rosyadi, dkk. Jakarta : Pustaka Azzam.
Mushthafa Al-Maraghi, Ahmad. 1993. Tafsir
Al-Maraghi . Terj. Bahrun Abubakar, Lc.,dkk. Semarang : PT.
Karya Toha Putra Semarang.
Mansur, Sufa’at. 2011. Agama-Agama Besar Masa Kini.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
[1]
Syahid Sayyid Quthb: Penj, As’ad Yasin, Ahmad
Aziz Salim Basyarahil, Muchotob Hamzah;, Tafsir fi zhilalil Quran, Jilid 2,
(Jakarta: Gema Insani Press ,2001), hal,45
[2]
Ahmad Mushthafa Al-Maraghi. Tafsir
Al-Maraghi Juz 3. Terj. Bahrun Abubakar, Lc.,dkk. Semarang : PT. Karya Toha
Putra Semarang. 1993. Hlm. 205-206.
[3] Ahmad Mushthafa Al-Maraghi. Tafsir
Al-Maraghi Juz 3. Terj. Bahrun Abubakar, Lc.,dkk. Semarang : PT. Karya Toha
Putra Semarang. 1993. Hlm. 208-211.
[4]
Syaikh Imam al-Qurthubi. Al-Jami’ li
Ahkam al-Qur’an. Terj. Dudi Rosyadi, dkk. Jakarta : Pustaka Azzam. 2008. Hlm.
119-123.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda